Penetapan tersangka atas Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), Rudi Rubiandini, makin menyingkap betapa busuknya tata-kelola migas di negeri ini.
Seperti kita ketahui, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap Rudi Rubiandini di kediamannya, Jalan Brawijaya VIII, Jakarta Selatan, Selasa (13/8/2013) malam. Ia diduga menerima suap sebesar US$700 ribu (sekitar Rp7,2 miliar) dari perusahaan asing.
Selama ini, kita sudah kerap mendengar cerita miris dari tata-kelola migas kita: suap, korupsi, perusahaan migas yang mengemplang pajak, biaya cost-recovery yang tidak transparan, hingga pejabat pemerintah yang rela menjadi jongos perusahaan asing.
Sebelumnya, kita sempat bersuka cita dengan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) membubarkan BP Migas. Maklum, BP Migas ini memang salah satu biang kerok dari buruknya tata kelola migas di Indonesia. Lembaga ini kerap memihak asing. Akibatnya, hampir semua ladang migas Indonesia jatuh ke tangan asing. Pengelolaan migas di bawah BP Migas juga buruk dan tidak efisien: produksi anjlok, cost recovery melonjak, karyawan BP Migas melonjak 10 kali lipat, korupsi tetap merajalela dan lain-lain.
Tapi, ada saja pihak yang tak setuju dengan keputusan MK itu. Salah satunya Rudi Rubiandini. “Rudi ini adalah salah seorang dari BP Migas yang sangat kebakaran jenggot. Dia tidak terima sama sekali vonis MK,” ungkap mantan Ketua MK Mahfud MD. Memang, rezim neoliberal ini sangat tidak mau tata-kelola Migas ditangan negara. Karena itu, begitu BP Migas bubar, mereka segera membentuk lembaga baru bernama SKK Migas. Pada kenyataannya, BP Migas dan SKK Migas ini tidak ada bedanya.
Selama menjadi mengepalai SKK Migas, Rudi cenderung menjadi pembela kepentingan korporasi asing. Ini nampak sangat jelas dalam kasus Blok Mahakam. Dengan dalih biaya dan resiko investasi yang besar, Rudi menghendaki Blok Mahakam tetap diserahkan ke Total E&P Indonesie (Perancis). Padahal, Pertamina sudah berulangkali menyatakan menyanggupi blok migas tersebut.
Dalam wawancara dengan Vivanews, 3 Juni 2013, Rudi mengemukakan dalih yang sama. Menurutnya, kalau melakukan eksplorasi, belum tentu dapat minyak alias dry hole. Rasio sukses eksplorasi itu 30-40 persen. Sementara biaya eksplorasi per sumur itu berkisar Rp 1 Trilyun. “Pemerintah membatasi Pertamina untuk masuk dalam bisnis yang beresiko tinggi,” ujarnya.
Pada kenyataannya, kendati biaya dan resiko eksplorasi sangat tinggi, perusahaan asing justru berlomba-lomba menanamkan investasinya di Indonesia. Selain itu, guna mengecilkan resiko dry hole, pemerintah seharusnya memperkuat riset. Selain itu, untuk kebutuhan biaya investasi, pemerintah seharusnya bisa menyisihkan sebagian keuntungan dari penerimaan migas tiap tahunnya.
Pada kenyataannya, ketergantungan terhadap perusahaan asing ini membawa berkah tersendiri bagi pemerintah dan pejabat yang mengurusi tata-kelola migas ini. Kita tahu, urusan perijinan dan perpanjangan kontrak migas sarat dengan kongkalikong antara pejabat pemerintah dan perusahaan asing.
Pada tahun 2012 lalu, misalnya, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan adanya adanya kontraktor migas yang memanipulasi perhitungan senilai US$ 1,7 miliar (Rp 16,1 triliun). Tak hanya itu, hasil pemeriksaan BPK terhadap laporan keuangan pemerintah pusat 2010 menunjukkan adanya kekurangan bayar pajak kontraktor migas senilai Rp 5,24 triliun.
Sebelumnya, pada tahun 2011 lalu, KPK juga mengungkapkan adanya 14 perusahaan asing di sektor minyak dan gas (migas) yang tidak pernah membayar pajak selama puluhan tahun. Akibatnya, negara dirugikan hingga lebih dari Rp 1,6 triliun. Juga, pada tahun 2011 lalu, KPK juga mengendus dugaan korupsi senilai Rp 76 milyar terkait penyewaan gedung kantor BP Migas.
Malahan, baru-baru ini Ketua KPK Abraham Samad mengungkapkan, bahwa bahwa sekitar 60 persen perusahaan tambang di Indonesia tak membayar pajak dan royalti kepada negara.
Selain itu, ketidakmampuan kita mengelola kekayaan migas secara berdikari juga menciptakan lubang bagi ekonomi rente dan korupsi besar-besaran. Keengganan kita membangun kilang-kilang minyak sendiri menyebabkan minyak mentah kita harus dijual ke Singapura untuk diolah di sana. Muncullah perusahaan-perusahan trader minyak mentah dan produk minyak bumi yang berebut tender. Tak jarang, supaya menang tender, perusahaan asing itu menyuap pejabat kita. Itulah yang menimpa Rudi Rubiandini. Padahal, gaji Rudi sebagai Kepala SKK Migas sudah sangat besar, yakni di atas Rp 150 juta per bulan.
Minyak yang sudah diolah di luar kemudian kita impor lagi melalui anak perusahaan Pertamina, Petral. Ini pun memicu terjadinya praktik penggelembungan harga (mark up) dan permainan pengaturan tender yang membuat biaya pengadaan BBM semakin mahal.
Belum lagi, ketergantungan kita terhadap impor BBM menjadi ladang subur bagi pemburu rente; mulai dari yang bermain dalam pengadaan impor, termasuk broker, trader, atau pemilik tanker yang berkongkalikong dengan oknum di BUMN/pemerintahan, hingga pemain di jalur distribusi BBM di dalam negeri.
Pendek kata, banyak pihak yang menikmati keuntungan dari ketidakberdayaan kita mengelola migas secara berdikari. Tidak hanya perusahaan asing. Tetapi banyak juga elit politik, birokrat, dan partai-partai korup di dalam negeri. Inilah derita yang kita tanggung akibat pengabaian pemerintah terhadap konstitusi: pasal 33 UUD 1945.
- Fascinated
- Happy
- Sad
- Angry
- Bored
- Afraid