Inilah Lima Persoalan Pokok Ekonomi Indonesia

Wakil Sekretaris Jenderal Komite Pimpinan Pusat Partai Rakyat Demokratik (KPP-PRD) Rudi Hartono membeberkan lima persoalan pokok yang membelit ekonomi Indonesia saat ini.

“Pertama, Indonesia berhadapan tiga defisit sekaligus, yaitu defisit anggaran, defisit transaksi berjalan, dan defisit neraca pembayaran,” kata Rudi dalam diskusi tentang ancaman krisis ekonomi yang digelar oleh Komite Pimpinan Pusat Partai Rakyat Demokratik (KPP-PRD) di Hote Acacia, Jumat (4/9/2015).

Dia mengungkapkan, defisit anggaran untuk tahun ini melebar menjadi 2,23 persen dari PDB dari batas aman yang disepakati 2 persen. Defisit transaksi berjalan (CAD) pada kuartal ke-II 2015 sebesar 2,1 persen dari PDB. Sedangkan neraca pembayaran Indonesia (NPI) pada kuartal II 2015 mengalami defisit sebesar US$ 2,93 miliar.

Persoalan kedua, ungkap Rudi, beban utang luar negeri yang sudah masuk ‘lampu kuning’. Kata dia, kendati rasio utang terhadap PDB masih 25 persen, tetapi rasio pembayaran utang dan bunganya terhadap jumlah penerimaan ekspor atau sering disebut debt to service ratio (DSR) sudah mencapai 56,08 persen.

“Artinya, lebih dari separuh penerimaan ekspor Indonesia habis dipakai untuk membayar bunga dan cicilan pokok utang luar negeri,” tegasnya.

Disamping itu, beber dia, beban utang itu menggerus cadangan devisa negara. Untuk diketahui, hingga akhir Juli 2015, cadangan devisa Indonesia tinggal 107,6 milyar dollar AS, turun dibanding bulan sebelumnya yang masih 108,3 milyar dollar.

Lalu, beban pembaran bunga dan cicilan pokok utang membebani APBN. Ini memperkecil ruang fisal dan sekaligus mengurangi kemampuan negara membelanjai sektor-sektor ekonomi yang strategis.

“Sebagai contoh, dalam kurun waktu tahun 2005-2011, Indonesia mengeluarkan Rp 1.323,8 triliun untuk membayar cicilan utang dan bunganya. Di sisi lain, pada periode yang sama, alokasi untuk fungsi sektor pertanian, perikanan, kehutanan, dan kelautan hanya Rp 66,8 triliun,” terangnya.

Persoalan ketiga, lanjut Rudi, adalah pelemahan nilai tukar rupiah yang sudah di atas Rp 14.000 per dollar AS. Kata dia, seharusnya situasi itu membawa berkah bagi ekspor Indonesia. Tetapi hal itu tidak terjadi karena sebagian besar ekspor indonesia masih mengandalkan bahan mentah, sementara harga komoditas primer dunia sedang menurun.

“Pelemahan rupiah ini berpotesi menambah akumulasi utang Indonesia hanya karena selisih nilai tukar. Setiap rupiah depresiasi sebesar 100 rupiah per dollar AS, beban tambahan ke kewajiban utang bertambah 4,9 triliun,” jelasnya.

Persoalan keempat dominasi kapital asing dalam penguasaan sumber daya dan aset nasional strategis. Dominasi ini terjadi melalui liberalisasi investasi tanpa batas dan privatisasi perusahaan negara serta layanan publik.

Pemimpin redaksi berdikarionline.com ini menjelaskan, ketergantungan terhadap kapital asing membawa sejumlah dampak, seperti makin dominannya penguasaan asing terhadap kekayaan ekonomi nasional, tampuk produksi dipegang asing, meningkatnya konflik sumber daya antara rakyat versus korporasi, dan mengalirnya keuntungan dari aktivitas ekonomi ke luar melalui kantong perusahaan asing.

Sedangkan persoalan kelima adalah ketergantungan terhadap impor yang sangat tinggi. Situasi ini, jelas Rudi, diperparah oleh kebijakan ekonomi pemerintah yang sangat berbau neoliberal, yakni liberalisasi perdagangan.

“Walhasil, hampir semua kebutuhan dalam negeri, baik untuk industri maupun kebutuhan dasar rakyat, didapatkan melalui impor. Termasuk impor produk pangan. Pembiayaan impor juga membengkak karena melemahnya nilai tukar rupiah,” jelasnya.

Diskusi bertajuk “Sanggupkah Pemerintahan Jokowi-JK Menyelamatkan Bangsa Dari Ancaman Krisis?” menghadirkan empat pembicara, yaitu Budi Arie Setiadi (DPP PROJO), Hendrajit (pengamat), Arif Budimanta (Staf Khusus Menkeu), dan Rudi Hartono (KPP PRD).

Mahesa Danu

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid