Imperialisme di Indonesia(2)

Zaman Cultuurstelsel

Begitulah gambaran imperialisme-tua dari Oost-Indische Compagnie. Sesudah Oost-Indische Compagnie pada kira-kira tahun 1800 mati, maka tidak ikut mati sistem monopoli, tidak ikut mati sistem mengaut untung bersendi pada paksaan. Malahan…….sesudah habis zaman komisi-komisi dan pemerintahan Inggris, yang mengisi tahun-tahun 1800-1830; sesudah habis zaman “tergoyang-goyang” antara ideologi-tua dan ideologi-baru, sebagai yang disebar-sebarkan oleh revolusi Prancis; sesudah habis “tijdvak van den twijfel”[1] ini, maka datanglah sistem kerja paksa yang lebih kejam lagi, lebih mengungkung lagi, lebih memutuskan nafas lagi, –yakni sistem kerja paksa dari cultuurstelsel, yang sebagai cambuk jatuh diatas pundak dan belakangnya rakyat kami! Juga cultuurstelsel ini, Tuan-tuan Hakim, tidak usah kami beberkan panjang lebar kekejamannya; juga cultuurstelsel ini sudah diakui jahatnya oleh hampir setiap kaum yang mengalaminya dan oleh kaum terpelajar yang mempelajarinya riwayatnya.

Tetapi, juga tentang cultuurstelsel ini, yang bekas-bekasnya sampai hari ini belum juga hilang dan mempengaruhi susunan PNI itu (sebagai nanti akan kami uraikan), marilah kami ulangi satu dua pendapat ahli-ahli itu.

“Pemerasan penduduk, yang tiada batasnya lagi selain tahan tidaknya badannya, berjalan dengan tiada alangan apa-apa,” begitu kata Prof. Gonggrijp[2] .

Dan di lain tempat pujangga ini menulis pula:

“Jadi sistem ini tidak hanya bersendikan paksaan; paksaan itu, di dalam dua puluh tahun pertama yang gelap dari jangka waktu yang dibicarakan di sini, lebih berat dari beban contingenten yang penagihannya terutama diserahkan kepada Kepala-kepala Bumiputra. Cultuurstelsel menjadi lebih berat oleh kegiatan Ambtenaar Eropa: ini berarti bertambah beratnya tekanan sistem itu dan berarti pula perbaikan teknis dan keuntungan besar.”

“Tidak ada tanaman yang begitu menjadi gangguan seperti nila.[3]Tatkala nila ini akan dalam tahun 1830 dengan cara yang sembrono dimasukkan di tanah Priangan, maka tanaman itu sungguh-sungguh menjadi bencana bagi penduduk. Di dalam distrik Simpur di daerah itu, orang laki-laki dari beberapa desa dipaksa mengerjakan kebun-kebun nila, 7 bulan lamanya dengan tidak putus-putusnya, jauh dari rumahnya; dan selama itu mereka harus mencari makanannya sendiri. Tatkala mereka kembali ke rumahnya, didapatinya tanaman padinya sudah rusak. Selama lima bulan yang pertama dari tahun 1831, 5000 orang laki-laki dan 3000 kerbau dari distrik itu juga, dipaksa mengerjakan tanah untuk suatu pabrik yang telah didirikan. Sesudah pekerjaan itu selesai, batang-batang nila tidak ada. Dua bulan kemudian, sesudah alang-alang, rumput yang ditakuti itu, tumbuh di atas lapangan yang telah dikerjakan itu, baru diterima untuk mengolah sekali lagi ladang-ladang itu. Kerap kali terjadi bahwa perempuan-perempuan yang hamil melahirkan anak waktu bekerja keras”………

Dan Stokvis menceritakan:[4]

“Sampai-sampai tahun 1886 masih ada daerah-daerah, dimana si penanam kopi mendapat 4-5 sen sehari, sedang ia memerlukan 30 sen buat hidup. Di dalam perkebunan nila kerap kali dibayarkan f8[5] setahun……..Di dalam perkebunan kopi ada pembayaran f4,50 setahun buat satu keluarga,jadi 90 sen buat satu orang…..”Penulis (Vitalis) itu juga melihat di tanah Priangan orang-orang tersebut kelaparan seperti kerangka kurusnya terhuyung-huyung sepanjang jalan. Beberapa orang begitu letih, sehingga mereka tidak bisa makan makanan yang diberikan kepada mereka sebagai persekot; mereka meninggal….”

……….”pengungsian penduduk banyak juga kejadian di perkebunan-perkebunan itu dan dengan cara besar-besaran. Inilah jalan satu-satunya untuk keluar dari kesengsaraan. “ Pukulan dengan pentungan dan labrakan dengan cambuk terjadi sehari-hari dan di banyak ladang nila biasa saja orang melihat tiang-tiang untuk menyiksa orang.” “Di sini kita melihat suatu bangsa yang tidak secara undang-undang hidup dalam perbudakan tapi secara kenyataan. Ketakutan kepada para bangsawannya telah merasuk ke dalam jiwa mereka; para bangsawan itu belajar pula takut kepada kaum penjajah. Segala keberanian dan semangat  merdeka yang tadinya masih hidup dalam hati sanubari bangsa Jawa, kini hilang lenyap oleh laku Kompeni yang kasar dan kesalahan yang fatal dari Van den Bosch[6]ialah, bahwa ia menghisap lagi rakyat yang sudah rusak itu, penghisapan yang pada hakikatnya sama betul dengan sistem Kompeni. Malahan lebih jahat dan lebih salah lagi! Kompeni tidak harus memikul tanggungjawab dan tidak pernah mau memikul tanggungjawab itu, Kompeni berdagang dengan cara-cara orang dagang yang keras. Van den Bosch mewakili negara sendiri, negara induk, yang begitu banyak masih yang harus diperbaikinya. Segala cara yang membikin perhubungan jajahan lebih memuakkan lagi dari yang sudah menjadi sifatnya, telah dipergunakan olehnya dan oleh penggantinya-penggantinya. Memaksakan suatu cara produksi Barat, jadi suatu cara produksi yang lebih banyak syarat-syaratnya, kepada suatu masyarakat negeri panas yang hidup bertani, sudah merupakan suatu tekanan, tapi lebih berat lagi dukacita yang dibawa oleh nafsu kuasa si bangsa asing”…….

Dua dalil lagi, Tuan-tuan Hakim, lantas kami tutup kami punya dalil-dalil berhubung dengan cultuurstelsel ini: dua dalil lagi dari Prof. Kielstra dan Prof. Veth:

“Di negeri Belanda orang tidak tahu, atau pura-pura tidak tahu, bahwa di Hindia semua pengeluaran buat pengajaran, pekerjaan umum, polisi dan sebagainya itu, selalu dikecilkan sampai-minimum yang paling kecil, supaya “keuntungan bersih” bisa bertambah besar; dan, yang lebih jahat lagi, oleh paksaan yang dibebankan kepada mereka, penduduk begitu terhalang-alangi dalam memelihara sawah dan ladangnya sendiri, sehingga dalam beberapa daerah timbul kemiskinan dan kesengsaraan, bahaya kelaparan dan pengungsian.[7] dan “bahkan buat mereka yang melihat dalam cultuurstelsel itu suatu kebaikan buat Jawa dan juga buat negeri Belanda;–buat Jawa oleh karena mengajar orang Jawa bekerja, buat negeri Belanda oleh karena kas negeri jadi berisi–, bahkan buat mereka saya kira kemunafikan yang menjadi alasan untu memasukkannya, mestinya menjijikkan,[8] begitulah kedua profesor itu menulis.

Tuan-tuan Hakim yang terhormat! Oost-Indische Compagnie mengoar-ngacirkan rumah   tangga Indonesia, cultuurstelsel mengoar-ngacirkan rumah tangga Indonesia. Tuan-tuan barangkali bisa juga lantas mempunyai pikiran: “Benar VOC dan cultuurstelsel jahat, benar VOC dan cultuurstelsel memasukkan rakyat Indonesia ke dalam kesengsaraan dan kehinaan, tetapi buat apa membongkar-bongkar hal-hal yang sudah kuno?”

Betul Tuan-tuan Hakim, kejahatan VOC dan kejahatan cultuurstelsel adalah kejahatan kuno, tetapi hati-nasional tak gampang melupakannya.

‘Ingatan orang kepada kelaliman yang dideritanya lama hilangnya; kelaliman yang orang lakukan, lekas lupa olehnya,”

begitulah Sanders berkata. Lagi pula, sebagai tadi telah kami katakan, sebagai pula telah dikatakan oleh Prof. Snouck Hurgronje yang kami kutip tadi, –akibat-akibat VOC dan cultuurstelsel itu, naweeen[9] VOC dan cultuurstelsel itu, yang keduanya bersistem monopoli, sampai ini hari belum hilang, sampai ini hari masih terbayang dalam wujud susunan pergaulan hidup Indonesia, sehingga politik dan gerakan Partai Nasional Indonesia, sebagai nanti akan kami terangkan, terpengaru oleh karenanya!

Pada pertengahan abad ke-19 “kapitalisme-modern” yang bersendi kepada “bisnis liberal” dan “persaingan liberal”, di negeri Belanda mulai timbul. Toh……cultuurstelsel yang bersendi kepada “kerja paksa” dan yang terutama memberi untung kepada negara Belanda itu, yang telah begitu menggemukkan kantong kapitalis Belanda partikelir itu, cultuurstelsel itu tidak lekas-lekas dihapuskan. Bukan oleh karena negara Belanda tak mempedulikan kepentingan kaum pemodal partikelirnya, bukan oleh karena kepentingan negara itu lebih ditinggikan dari kepentingan borjuis, tetapi tak lain tak bukan ialah karena borjuis Belanda pada masa itu butuh pada cultuurstelsel itu sebagai pembayar segala yang perlu diadakan lebih dulu bagi suburnya kapitalisme di negeri Belanda sendiri! Henriette Roland Holst[10] di dalam bukunya “Kapital en Arbeid in Nederland” menuliskan seperti berikut:

“Perbuatan kaum borjuis disekitar tahun lima puluh[11] adalah praktis dan menunjukkan kesadaran kelas yang sehat, yakni perbuatan mereka tidak melemparkan cultuurstelsel ke sudut, sebelum mereka mengambil daripadanya segala yang bisa diambilnya…..Ada bahaya, bahwa orang-orang yang tidak sabar dan lekas mau maju, terlalau lekas mau memberikan orang Jawa berkah-berkah pekerjaan liberal dan menggantikan cultuurstelsel, warisan otokrasi itu, dengan inisiatif pertikelir. Tetapi mungkin beberapa orang berpendapat demikian, –borjuis pada umumnya mengetahui. Sebagai golongan, mereka itu terutama merasa berkepentingan dalam hal, pertama, pelunasan utang. Kedua, liberalisasi perdagangan dan perusahaan dengan mengurangi bea-bea dan pajak-pajak, yang hanya bisa terlaksana oleh yang tersebut dibawah! Ketiga, pembikinan jalan-jalan kereta-api dan jalan-jalan airm dengan tidak membebani rakyat dengan ongkos-ongkos yang besar, suatu hal yang tentu akan mengobarkan semangat konsevatisme pada orang-orang Belanda yang selalu hemat itu. Semua ini perlu, sebelum bisa dimulai eksploitasi pertikelir di Hindia, sebab kredit nasional, jalan-jalan kereta-api dan pelabuhan-pelabuhan di negeri Belanda, harus menjadi tumpuan eksploitasi itu. Semua hal yang baik-baik itu didapat dari keuntungan-keuntungan Hindia, jadi keuntungan-keuntungan Hindia buat sementara harus tetap ada.”[12]


[1] tijdvak van den twijfei=masa ragu-ragu

[2] Prof.Gonggrijp dalam bukunya “Economische Nederlandsch Indie” hal.123.

[3] nila= sejenis tanaman yang daunnya dibikin cat warna (disebut juga indigo).

[4] H.J Stokvis dalam bukunya “Van Wingewest naar Zelfbestuur In Nederlandsch Indische” (Dari daerah rampasan ke pemerintah sendiri) hal. 27

[5] ) f= rupiah zaman Belanda dulu, disebut juga gulden.
[6] Van den Bosch, Gubernur Jenderal Hindia Belanda tahun 1830-1833, perencana cultuuralstelsel. Menjadi menteri jajahan 1835-1837.

[7] Prof. Kielstra dalam “De Vestiging”, hal.38

[8] Prof. Veth dalam “Java” II, hal.410.

[9] naweeen=akibat

[10] Henriette Roland Holst, seorang penyair wanita Belanda yang berjuang di sayap sosialis.

[11] Lima puluh, maksudnya di sini adalah tahun 1850.

[12] Yang dimaksud di sini adalah modal lebihan dari keuntungan yang ditanam di Indonesia.

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid