Ganja, Tanaman Korban Stigma?

Tanggal 1 Mei telah luas dikenal dan rutin diperingati sebagai Hari Buruh Sedunia (May Day). Namun ternyata, pada hari yang sama, sejumlah kalangan juga menetapkannya sebagai hari Global Marijuana March, atau bisa juga disebut hari Aksi Global untuk Legalisasi Ganja. Dukung legalisasi ganja? Ya, aksi ini memang untuk mendukung ganja sebagai tanaman legal, agar bisa dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh umat manusia. Meski tak sebesar perayaan hari buruh, aksi Global Marijuana March ini pun terjadi hampir di seluruh dunia.

Di Indonesia, pertama kali dalam sejarah terjadi aksi mendukung legalisasi ganja pada 1 Mei 2010. Di pagi hari itu, sebelum massa kaum buruh berdatangan, puluhan orang berbaju putih tampak telah berkumpul di sekitar bundaran Hotel Indonesia (Kempinsky). Mereka kemudian berjalan membawa spanduk, poster, dan berbagai perlengkapan lainnya yang berisi informasi tentang manfaat ganja. Aksi simpatik ini dilakukan oleh para aktivis yang tergabung dalam Grup Dukung Legalisasi Ganja (DLG), sebuah grup yang beranggotakan lebih dari 37.000 orang di situs jejaring sosial facebook.

Ari Wibowo, salah satu pelopor DLG mengatakan tujuan aksi ini untuk mensosialisasikan sisi lain dari manfaat tanaman ganja kepada masyarakat luas. Bahwa tanaman ganja memiliki manfaat yang luar biasa, baik batang, daun, maupun bijinya. “Kami yakin tanaman ini (bila dilegalkan) bisa membawa manfaat secara ekonomis maupun medis. Batang ganja bisa digunakan sebagai bahan baku serat yang sangat baik. Bahkan lebih ekologis dan ekonomis dibanding tanaman serat lain, seperti kapas, rami, maupun pepohonan-yang saat ini dikuasai korporasi-korporasi perkebunan. Sementara biji dan daunnya bisa digunakan untuk kebutuhan medis, menambah nutrisi pada makanan dan minuman, serta sumber bahan baku energi biofuel. Masih banyak manfaat lainnya yang bisa diperoleh.” Ujar Ari.

Pelarangan tanaman ganja menjadi kontroversi di seluruh dunia. Ganja hadir sebagai persoalan ekonomi, politik, medis, dan sosial budaya sekaligus. Sejumlah negara seperti Cina, Kanada, dan beberapa di Eropa melegalkan tanaman ini, dan memanfaatkan berbagai hasilnya untuk kebutuhan industri serta medis. Amerika Serikat, negara yang pertamakali menerapkan larangan pada tanaman ganja (pada 1910 sampai 1920-an), pernah memproduksi ganja secara besar-besaran dalam Perang Dunia Kedua sebagai bahan baku pakaian yang dikenakan para prajurit maupun berbagai perlengkapan militer lainnya. Saat ini ganja telah dilegalkan oleh sejumlah negara bagian di AS.

Bagi masyarakat Indonesia, selama ini ganja lebih dikenal sebagai bahan narkotika, sehingga melekat stigma kriminal dan tak bermoral terhadap segala sesuatu yang berhubungan dengan tanaman ini. Dalam UU anti-narkotika yang baru, ganja telah dimasukkan sebagai jenis narkotika kelas satu, yang disejajarkan dengan heroin. Padahal, menurut berbagai penelitian yang dipaparkan Ari, tidak pernah sekalipun kejadian orang mati karena menghisap ganja. “Bila dibandingkan, rokok banyak menjadi penyebab kematian tapi tetap legal.”

Apa yang disuarakan oleh para aktivis DLG memang patut mendapat perhatian kita semua, khususnya pemerintah. Sebagai gambaran, pemerintah sendiri mengakui, bahwa Indonesia masih mengimpor 99% bahan baku industri serat, atau sebanyak 700 ribu ton dengan nilai mencapai 1 miliar USD setiap tahun. Apakah kita rela terus mengimpor? Sementara bahan baku ini mudah tumbuh subur di negeri tropis seperti Indonesia, berkualitas lebih baik, dan sangat ekologis dibandingkan akasia. Mungkin ada benarnya, pernyataan dari Kepala Bidang Riset Indonesian National Institute on Drug Abuse (INIDA), Tomi Hardjatno, bahwa ganja selama ini lekat dengan nilai negatif karena tidak ada upaya untuk mengembangkan ke arah positif. Mari, periksa bersama.***

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid