Sukarno Dan Sepak Bola

Membayangkan Indonesia tanpa sepak bola itu tidak mungkin. Bayangkan, dari 270 juta penduduknya, sebanyak 70 persen diantaranya menyukai sepak bola. 

Bahkan, merujuk ke hasil riset Nielsen Sport, 17 persen penduduk Indonesia aktif bermain bola. Jumlah itu nyaris sama dengan jumlah perolehan suara partai pemenang pemilu 2019.

Anggaplah 17 persen itu dari populasi orang dewasa (pakai data DPT 2019), maka jumlahnya orang Indonesia yang suka bermain bola berkisar 32,6 juta orang.

Pertanyannya, dari 32,6 juta orang itu, mosok nggak ada 30-40 orang yang bisa membawa Indonesia ke pentas piala dunia?

Sudah sedari dulu, manusia Indonesia menggemari sepak bola. Tak terkecuali deretan para pendiri bangsa. Sukarno suka bola. Hatta sering bermain bola. Tan Malaka tak ketinggalan.

Masa kecil Sukarno di Mojokerto tak banyak bersentuhan dengan sepak bola. Ia lebih banyak bermain jangkrik, sumpit, memanjat pohong, dan adu gasing.

Saat itu, sepak bola mulai populer di Hindia-Belanda, termasuk di kalangan bumiputera. Sayang, Sukarno tak gandrung dengan permainan yang konon berasal dari negeri Tiongkok itu.

“Ada permainan di mana seorang anak bangsa Indonesia dari jamanku tidak dapat menunjukkan keahliannya. Misalnya perkumpulan sepak bola,” kenang Sukarno dalam otobiografinya yang ditulis oleh Cindy Adams, Bung Karno : Penyambung Lidah Rakyat.

Sukarno kecil pernah ikut klub sepak bola, tetapi tak lama. Ia tak betah dihujani ejekan oleh anak-anak keturunan Belanda. Selain itu, sepak bola kala itu tersusup praktik diskriminasi: anak-anak Belanda tidak mau bermain dengan anak-anak bumiputera. 

Tidak jarang tertempel tulisan “Verboden voor Honden en Inlander” atau “Dilarang Masuk untuk Pribumi dan Anjing” di setiap pintu lapangan sepak bola.

Tak mau menyerah, kaum bumiputera membuat klub sendiri. Mereka kerap membuat kompetisi sendiri. Dari sinilah cikal bakal berdirinya Persatoean Sepakraga Seloeroeh Indonesia (sekarang PSSI). Perkumpulan ini dipimpin oleh Ir Soeratin Sosrosoegondo.

Saat sepak bola menjelma menjadi alat pergerakan, Sukarno kembali bersentuhan dengan sepak bola. Saat itu, sekitar tahun 1932, ketika Sukarno baru keluar dari penjara Banceuy, dia mendapat ajakan untuk meramaikan sebuah turnamen sepak bola yang dihelat oleh PSSI.

Saat itu PSSI sedang menggelar kompetisi yang disebut Stedenwerd II di Jakarta. Sebelum laga antara Voetbal Indonesia Jakarta (VIJ) versus Persatuan Sepakbola Indonesia Mataram (PSIM), Sukarno didaulat menyampaikan orasi politik sekaligus sepakan pertama.

Tahun bulan Mei 1932, PSSI menggelar kongresnya yang kedua. Pucuk dicinta ulam pun tiba. Kongres itu menyepakati bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi. Sukarno menyambut keputusan itu dengan sukacita.

Usai Indonesia merdeka, perhatian Sukarno pada sepak bola tidak surut. Sempat berdiri organisasi untuk mengurusi olahraga, yaitu Gerakan Latihan Olahraga (Gelora), yang kelak berganti menjadi Persatuan Olahraga Republik Indonesia (PORI)–cikal bakal KONI.

Tahun 1951, begitu perang fisik usai, sepak bola kembali menggeliat. Sebuah pertandingan sepak bola digelar di lapangan Bataviase Voetbal Club (BVC). Sukarno didaulat untuk memberi sepakan pertama untuk menandai dibukanya pertandingan.

Tahun itu juga, Indonesia mengirim Timnas di Asian Games pertama di New Delhi, India. Hanya ada negara yang berlaga di cabang sepak bola: India, Indonesia, Burma, Iran, Jepang, dan Afghanistan.

Sukarno sadar, olahraga bisa menjadi mercusuar untuk mengenalkan Indonesia pada dunia. Termasuk lewat sepak bola. Karena itu, Sukarno makin bersemangat untuk memajukan sepak bola Indonesia.

Tahun 1954, Indonesia mendatangkan mantan pemain timnas Yugoslavia, Antun “Toni” Pogacnik. Di tangan pelatih bertubuh tinggi langsing itu, cikal bakal timnas Indonesia dilatih teknik-teknik sepak bola modern.

Dari gemblengan Pogacnik, muncul nama-nama besar sepak bola Indonesia, seperti Kwee Kiat Sek, Maulwi Saelan, Ramang, Rukma Sudjana, dan Wowo Sunaryo.

Konon ceritanya, keberhasilan Indonesia mendatangkan Pogacnik tak terlepas dari perkawanan Sukarno dengan pemimpin Yugoslavia kala itu, Josip Broz Tito.

Tahun 1954, di Asian Games Manila, timas asuhan Pogacnik diuji. Hasilnya luar biasa. Indonesia bisa menjadi juara grup, menyingkirkan Jepang dan India. Sayang, di semifinal, Indonesia dikalahkan Tiongkok. Di perebutan perunggu, Indonesia juga ditekuk Burma.

Tahun 1956, Pogacnik membawa timnas Indonesia melakukan pemusatan latihan di negara-negara Eropa timur, sebelum berlaga di Olimpiade Melbourne. 

Hasilnya juga luar biasa. Indonesia melaju ke perempat final. Sayang, di perempat final, Indonesia berhadapan dengan raksasa kala itu, Uni Soviet. Namun, di luar dugaan, Indonesia bisa menahan imbang Soviet. 

Namun, karena itu fase gugur, harus ada pemenang. Dalam pertandingan ulang yang digelar dua hari kemudian, Indonesia takluk 0-4 dari Soviet. Soviet sendiri menjadi peraih medali emas saat itu.

Prestasi timnas Indonesia berlanjut di Asian Games 1958 di Tokyo, Jepang. Indonesia memimpin grup B, yang di dalamnya ada India dan Burma. Di perempat final, Indonesia menyingkirkan Filipina. Sayang, di semi-final, Indonesia takluk 0-1 dari Tiongkok. Tetapi timnas Indonesia berhasil mempersembahkan perunggu.

Di kualifikasi Piala Dunia 1958, Indonesia juga sebetulnya punya harapan. Indonesia bisa melewat penyisihan dan putaran pertama. Tidak main-main, Indonesia menyingkirkan Taiwan (menolak bertanding) dan Tiongkok.

Sayang, di penyisihan kedua, karena satu grup dengan Israel, Indonesia memilih mundur. Mesir dan Sudan juga ikut mundur. Akhirnya, Israel maju ke babak selanjutnya tanpa bertanding sekali pun.

Menjelang Asian Games 1962, yang kebetulan dilangsungkan di Jakarta, semangat timnas Indonesia makin menggelora. Disamping karena Indonesia baru saja punya stadion olahraga terbesar di Asia kala itu.

Sayang, gelora itu menguap. Timnas justru rontok di penyisihan grup, di hadapan para pendukungnya sendiri yang sudah terlanjur menaruh harapan besar. Bahkan dilibas oleh Malaysia. Belakangan diketahui penyebabnya: suap. 

“Skandal senayan 1962” bukan hanya memukul Pogacnik, tetapi juga Sukarno. Dia marah besar. Para pemain bukan cuma dicoret dari timnas, tetapi juga digiring ke meja hijau. Tahun 1963, para pemain itu meringkuk di penjara.

Pogacnik tak lagi melatih Timnas sejak 1963. Bersamaan dengan itu, prestasi sepak bola Indonesia pelan-pelan mulai surut. Beriringan dengan hari-hari yang penuh ketegangan politik dan berujung pada penggulingan Sukarno di pengujung 1965.

MAHESA DANU

Catatan: Artikel ini terbit pertama pada 12 Juni 2012, lalu mengalami pemutakhiran pada 9 Juni 2021.

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid