Gelora Nasionalisme Bulu Tangkis Indonesia

Tahun 1992, di Olimpiade Bercelona, Spanyol, Indonesia menorehkan sejarah baru. Dan sejarah itu dipersembahkan oleh Bulu Tangkis.

Untuk pertama kalinya dalam sejarah, kontingen Indonesia merebut medali emas. Dan itu berarti, lagu Indonesia Raya untuk pertama kali berkumandang di perhelatan olahraga paling bergengsi di dunia itu.

Memang, selain sepak bola, bulu tangkis merupakan olahraga yang sangat populer di Indonesia. Di tahun 1990-an, hampir setiap kampung punya lapangan bulu tangkis.

Dalam sejarahnya, bulu tangkis juga paling banyak menorehkan prestasi. Di ajang piala Thomas (beregu putra), Indonesia merebut juara paling banyak: 13 kali. Sedangkan di piala Uber (beregu putri), Indonesia juara 3 kali.

Dibakar api Nasionalisme

Sejarah bulutangkis di Indonesia sudah merentang sudah cukup lama. Ada versi menyebut sejak 1930-an. Saat itu, bulu tangkis dinaungi oleh Ikatan Sport Indonesia (ISI).

Bulutangkis makin berkembang pasca kemerdekaan. Pada tahun 1947, di Jakarta, berdiri persatuan olahraga bernama Persatuan Olahraga Republik Indonesia (PORI). Dan, pada 5 Mei 1951, terbentuklah Persatuan Bulutangkis Seluruh Indonesia (PBSI).

PBSI lahir di tengah gejolak revolusi. Saat itu, sebagai bangsa yang baru lahir, Indonesia berjuang keras agar punya prestasi di tingkat dunia. Presiden Sukarno sendiri menggelorakan “Nation Building”. Ia bermimpi besar menjadikan olahraga sebagai mercusuar untuk mengenalkan Indonesia pada dunia.

Tahun 1963, Sukarno menerbitkan Kepres No. 263/1963 untuk mencanangkan Indonesia jadi 10 besar dalam bidang olahraga. Tim bulutangkis segera menerjemahkan keinginan Sukarno itu. Dan bentuk konkretnya, PBSI pun berpartisipasi dalam IBF tahun 1953.

Tahun 1958, Indonesia ikut serta di piala Thomas di Singapura. Awalnya, tim bulutangkis Indonesia belum “direken”. Jaman itu, tahun 1950-an, raksasa bulu tangkis ada di tangan Amerika Serikat, Malaya (Malaysia), Inggris, Denmark, dan Thailand. 

Namun, siapa sangka, Indonesia justru tampil perkasa. Dua bintang Indonesia, Tan Joe Hok dan Ferry Sonnevile, tampil di “All Indonesian Final”.

Yang patut dicatat, saat itu masih jaman susah. Tidak ada anggaran yang melimpah untuk pembinaan olahraga. Bahkan, untuk memulangkan Ferry Sonnevile yang sedang belajar di Negeri Belanda, PBSI harus mengumpulkan dana melalui “Dompet Ferry Sonnevile” untuk beli tiket pesawat.

“Oleh karena itu, maka pada saat saya memberi restu kepada regu Thomas Cup pertama kali saya telah berkata, hai, anak-anakku, kau pergilah kepertandingan Thomas cup itu. Aku tidak bisa memberi bekal kepadamu daripada restuku dan daripada permintaan kepadamu, supaja engkau sekalian dedicate engkau-punja hidup itu kepada sesuatu hal yang luhur dan suci,” pesan Sukarno kepada kontingen Indonesia untuk Thomas Cup.

Tahun 1961, tim bulutangkis Indonesia kembali merebut piala. Indonesia menumbangkan raksasa Thailand di final. Lalu, di piala Thomas 1964 di Tokyo, Jepang, Indonesia kembali menang setelah menumbangkan Denmark. Namun, saat piala Thomas 1967 di Jakarta, Indonesia justru gagal. Penyebabnya, Indonesia diskor karena insiden penonton. Namun, di piala Thomas 1970 di Kuala Lumpur, Malaysia, Indonesia berhasil membalasnya.

Era Kejayaan

Era 1960-an hingga 1990-an boleh disebut era kejayaan bulutangkis Indonesia. Jaman itu muncul legenda besar: Rudy Hartono. Namanya tercatat di Guinness Book of World Records sebagai pemegang rekor All-England.

Rudy Hartono merebut juara All-England sebanyak delapan kali. Tujuh kali berturut-turut, yaitu dari 1967 hingga 1974. Kemudian menang lagi di tahun 1976. Saingan terdekatnya, Erland Kops, meraih juara 7 kali.

Sementara tim ganda putra Indonesia, Tjuntjun/Johan Wahjudi, merebut juara ganda putra selama 6 kali. Prestasi itu menyamai rekor Fin Kobbero/Poul Erik Nielsen (Denmark).

Tahun 1980-an, Tiongkok mulai muncul sebagai saingan. Di kejuaraan All-England, Indonesia hanya menjadi juara di tahun 1981, yakni Liem Swie King. Sisanya didominasi oleh Tiongkok dan Denmark. Di ajang piala Thomas, Indonesia hanya menang saat piala Thomas 1984 di Kuala Lumpur. Sedangkan piala Uber diborong oleh Tiongkok.

Tahun 1990-an hingga 2000-an, Indonesia bangkit lagi. Tim Indonesia meraih juara di piala Thomas 5 kali berturut-turut: 1994, 1996, 1998, 2000, dan 2002. Sedangkan di kejuaraan All-England Indonesia juara tiga kali: Ardi Wiranata (1991) dan Haryanto Arbi (1993 dan 1994). Sedangkan di piala Uber, Indonesia menang dua kali: 1994 dan 1996.

Masa surut

Tahun 2000-an hingga sekarang, bulutangkis Indonesia seakan memasuki masa surut. Sejak 2004 hingga 2018, kontingen Indonesia tak pernah lagi membawa pulang piala Thomas dan Piala Uber.  

Di ajang All England, prestasi Indonesia juga meredup. Sepanjang 2000-an hingga sekarnag, kecuali di ganda putra dan ganda campuran, Indonesia juga tak pernah lagi tampil sebagai juara.

Prestasi yang paling ambruk adalah nomor tunggal, baik putra maupun putri. Setelah era Taufik Hidayat, Marleve Mainaky, dan Hendrawan, Indonesia nyaris tidak punya lagi unggulan tunggal putra yang mendunia. Apalagi di tunggal putri, bintang terakhirnya adalah Susi Susanti dan Mia Audina.

Belakangan, memang mulai muncul bintang baru, seperti Anthony Sinisuka Ginting dan Jonathan Cristie. Di ganda putra ada Kevin Sanjaya Sukomuljo dan Marcus Fernaldi Gideon. Sedang di ganda putri ada Greysia Polii dan Apriyani Rahayu

Namun, yaa, mereka belum bisa berbicara banyaknya, layaknya bintang-bintang besar Indonesia di zaman 1980-an hingga 1990-an.

Tentu ada banyak problem yang melilit potensi bulu tangkis Indonesia. Mulai dari kepengurusan PBSI yang melulu dipegang oleh triumvirat: politisi, birokrat dan petinggi militer.

Belum lagi, suap, korupsi, dan nepotisme yang kerap melilit lembaga-lembaga yang menaungi olahraga, mulai dari Kementerian hingga hingga organisasi-organisasi cabang olahraga, yang mengganggu pembangunan dan pengembangan olahraga nasional.

Namun, bagi saya, persoalan terbesarnya adalah bulu tangkis tak lagi sepopuler dulu sebagai olahraga rakyat. Kita makin sulit menemukan lapangan bulutangkis di kampung-kampung. Sementara, di sisi lain, beberapa fasilitas olahraga, seperti GOR, mulai berbayar.

Kita berharap, bulutangkis Indonesia bisa bangkit lagi. Dan kembali membuat bendera merah-putih berkibar di gelanggang dunia. Semoga!

MAHESA DANU

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid