UU HPP dan Isu Pajak Berkeadilan

Awal Oktober 2021, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah mengesahkan Undang-undang tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). UU ini diharapkan bisa mereformasi sistem perpajakan Indonesia agar lebih berkeadilan.

Ada aspek positif yang perlu disambut dari UU HPP yang baru ini, seperti pemberlakuan pajak karbon dan penambahan lapisan (layer) baru untuk penghasilan di atas Rp 5 miliar per tahun dengan tarif pajak 35 persen.

Namun, ada beberapa poin dalam UU ini yang belum mencerminkan rasa keadilan. Misalnya, besaran penghasilan tidak kena pajak (PTKP) sebesar Rp 4,5 juta atau Rp 54 juta per tahun masih terlalu rendah. Angka itu hanya beda tipis dari upah minimum. PTKP yang rendah akan memberi beban pajak pada mereka yang berpendapatan rendah dan masih kesulitan memenuhi kebutuhan dasarnya.

Di sisi lain, penambahan layer baru untuk pendapatan Rp di atas Rp 5 miliar per tahun sebetulnya belum progresif. Seharusnya ada beberapa layer tambahan lagi, dengan tarif antara 40-45 persen, untuk menyasar kelompok terkaya di Indonesia.

Merujuk ke data Credit Suisse yang terbit pada Juli 2021 lalu, jumlah penduduk Indonesia dengan kekayaan bersih di atas 1 juta dollar (Rp 14 milyar) mencapai 171.740 orang di tahun 2020. Angka ini naik 61,69 persen dibanding tahun 2019. Kemudian ada 417 orang dengan kekayaan di atas 100 juta dollar ( Rp 1,4 triliun) di tahun 2020. Angka itu naik 22,29 persen dibanding 2019.

Bayangkan, dalam situasi pandemi yang menghentikan denyut ekonomi di banyak negara, kekayaan orang terkaya Indonesia justru bertambah signifikan. Di sisi lain, kita berhadapan dengan ketimpangan ekonomi yang cukup mendalam.

Sudah begitu, UU HPP juga masih memberi kelonggaran pada kelompok super kaya lewat pengungkapan sukarela (voluntary disclosure program). Kebijakan yang menyerupai tax amnesty ini memberi keringanan pajak kepada orang kaya yang tidak mematuhi kewajiban pajaknya.

Upaya UU HPP untuk menaikkan kepatuhan membayar pajak, misalnya dengan menggantikan NPWP dengan NIK, juga berkontradiksi dengan kenyataan sejumlah pejabat Negara yang justru diduga punya harta tersembunyi di negara suaka pajak. Misalnya, dalam skandal Pandora Papers, ada dua nama Menteri yang disebut, yaitu Luhut Binsar Panjaitan dan Airlangga Hartarto.

Baru-baru ini, laporan Majalah TEMPO juga menyingkap hilangnya potensi pendapatan negara dari pajak perusahaan-perusahaan sawit. Menurut laporan itu, Indonesia kehilangan Rp 20 triliun per tahun dari pajak sawit. Ada banyak perusahaan sawit yang beroperasi di hutan tanpa membayar pajak.

Dari berbagai persoalan itu, isu “pajak yang berkeadilan” menjadi relevan untuk terus digaungkan. Pertama, mereka yang punya penghasilan atau aset lebih besar membayar pajak lebih banyak dibanding mereka yang penghasilannya kecil. Kedua, pajak berfungsi sebagai mekanisme redistribusi kekayaan agar berkeadilan. Ketiga, pajak bermanfaat bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Lapisan  Rentang Penghasilan  Tarif
I  < 60 juta 5%
II 60 – 250 juta 15%
III 250 – 500 juta 25%
IV 500 juta -5 milyar 35%
V > 5 milyar 40%

Dalam konteks ini, selain penambahan layer baru untuk penghasilan di atas Rp 5 miliar dengan tarif 40-45 persen, perlu mempertimbangkan perlunya pajak kekayaan. Sebab, warisan merupakan salah satu mekanisme akumulasi kekayaan antar generasi. Tanpa pajak warisan, pewarisan kekayaan akan memperlebar ketimpangan.

Selain itu, perlu mempertimbangkan penerapan pajak Capital Gain untuk keuntungan penjualan aset (saham,obligasi, dan properti) sebesar 20-25 persen.

Bisa juga, demi mendorong produktivitas aset, ada pajak tambahan untuk aset yang menganggur atau tidak termanfaatkan, terutama tanah dan bangunan. 

Kita berharap, pajak bisa berkontribusi besar bagi pembangunan dan mendorong redistribusi kekayaan. Agar cita-cita masyarakat adil dan makmur bisa lekas terwujud.

RUDI HARTONO

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid