Urgensi Nasionalisme dan Representasi Anak Muda pada Pucuk Eksekutif di Indonesia

Survey Populix pada Oktober 2023 menunjukkan penilaian masyarakat bahwa sekitar 65 persen anak muda di Indonesia tidak lagi memiliki jiwa nasionalisme. Permasalahan menurunnya jiwa nasionalisme ini dimulai dari tidak mengenalnya nama Ibu Kota Provinsi, lagu daerah hingga lagu nasional dan yang paling akut adalah gelombang anak muda yang pindah kewarganegaraan ke negara tetangga. Faktor utama yang menyebabkan penurunan jiwa nasionalisme atau sense of belonging kepada NKRI adalah pengaruh sosial media, di samping pengaruh lain yang juga signifikan seperti minimnya pendidikan kenegaraan di sekolah-sekolah tingkat dasar hingga menengah atas, termasuk faktor intervensi pemerintah yang kurang dalam menggelorakan semangat nasionalisme.

 

Dalam perspektif popular culture and geopolitics, penurunan semangat kebangsaan atau nasionalisme dapat ditangkap sebagai sinyal pertanda melemahnya negara secara internal. Salah satu medium yang paling efektif dalam menghilangkan semangat kebangsaan adalah media massa, yang dapat menggiring opini, membangun diskursus, hingga membentuk polarisasi dalam masyarakat. Di akhir tahun 90-an hingga pertengahan tahun 2000, media massa seperti koran, televisi dan radio menjadi medium efektif bagi negara adidaya seperti Amerika Serikat dalam menumpas pengaruh komunisme. Produksi film-film Hollywood menunjukkan perperangan yang dimenangkan Amerika Serikat, memburukkan (demonizing) pihak musuh, dan membangun opini bahwa komunisme merupakan musuh yang harus bersama-sama ditumpas secara radikal. Komunisme adalah necessary evil yang bagi pemerintahan Amerika Serikat dimusuhi namun juga dibutuhkan untuk mengingatkan masyarakatnya bahwa ideologi liberalisme harus dipegang teguh dan ditegakkan di Negeri Paman Sam tersebut. Lebih jauh, media massa juga digunakan untuk menjustifikasi tindakan pemerintah dalam mengintervensi negara lain yang dianggap ancaman bagi keamanan nasional. Media massa juga menjadi basis untuk menginfiltrasi otak-otak masyarakat negara lain untuk dapat menerima paham atau ideologi yang akan ditancapkan di negara tersebut.

 

Lahirnya internet dan mega industri seperti facebook, twitter (sekarang X), Tik Tok, Instagram dan lainnya, menjadi medium baru untuk melakukan operasi penetrasi ideologi ini. Para pengguna sosial media ini rata-rata adalah generasi Millenial dan Gen Z yang mungkin tidak mengetahui dan mempelajari bagaimana perspektif popular culture and geopolitics yang dijelaskan di atas bekerja untuk kepentingan negara adidaya.

 

Hilangnya semangat nasionalisme pada anak muda menjadi krusial ketika isu ini dihubungkan dengan semangat membela kedaulatan negara. Tanpa nasionalisme, karakter anak muda menjadi pragmatis dan transaksional, yang mana ajakan membela negara tidak lagi dilihat penting karena secara materil tidak menguntungkan. Kondisi ini kemudian menjadi snowball effect atau efek bola salju, di mana anak muda kemudian tidak menghiraukan pondasi kebangsaan seperti Pancasila dan Bhineka Tungga Ika, sehingga identitas nasional pun tergerus oleh karakter pragmatis dan transaksional ini. Ketika identitas nasional menghilang, maka kemungkinan untuk identitas “asing” pun masuk, karena tidak ada lagi sekat-sekat yang menyaring paham, ideologi, nilai, norma dan identitas “asing” tersebut mulai dari radikalisme agama, komunisme, liberalisme, dan berbagai macam isme lainnya yang tidak sesuai dengan nilai-nilai Pancasila. Kondisi ini yang kemudian menjadi green light bagi operasi intelijen dapat dilakukan di Indonesia dalam upaya merusak dan mengganggu stabilitas nasional, sehingga kepentingan mereka dapat diterima oleh masyarakat;  jika perlu, pemerintahan yang dipilih secara sah dapat digulingkan demi kepentingan “asing” tersebut ditegakkan.

 

Indonesia yang berada di alam kebijakan luar negeri yang bebas-aktif dilirik oleh beberapa negara adidaya. Posisi ini dapat menjadi strategis, namun dapat juga membahayakan. Di sini disebutkan beberapa negara, karena Amerika Serikat tidak lagi satu-satunya hegemon yang menjadi polisi dunia, juga terdapat China dan Russia yang memiliki pengaruh kuat dari segi ekonomi dan militer. Dalam situasi dunia multipolar ini, Indonesia perlu sangat berhati-hati terhadap upaya-upaya negara asing tersebut dalam mengganggu stabilitas nasional Indonesia. Perperangan tidak lagi dan tidak perlu dilakukan secara konvensional, namun juga dapat dilakukan melalui media sosial yang secara masif digunakan oleh anak muda saat ini. “Perang pengaruh” dari negara-negara adidaya tersebut dapat membahayakan Indonesia dan mengganggu stabilitas nasional jika anak muda tidak berpegang teguh kepada nilai-nilai Pancasila.

 

Oleh karena itu, Indonesia saat ini membutuhkan figur anak muda untuk membangkitkan jiwa nasionalisme, memberikan harapan idealisme Pancasila, dan memotivasi anak-anak muda untuk mempertahankan kedaulatan negara dari pengaruh “asing” yang tidak terbendung. Figur ini diharapkan dapat menjadi contoh dan membangun figur-figur lain bahwa anak muda mampu menghadapi peliknya politik, menyalurkan aspirasi dan pemikiran segar dari pemuda. Kemudian figur ini juga mampu memformulasikan kebijakan yang dapat aplikatif bagi kondisi anak muda saat ini.

 

Representasi anak muda di pemerintahan akan berdampak positif bagi semangat kepemudaan dan nasionalisme di Indonesia. Namun, perlu menjadi catatan, bahwa hal ini bisa menjadi paradoks kekuasaan. Figur anak muda di pemerintahan harus mampu menghapuskan narasi elitisme di perpolitikan Indonesia, jangan sampai munculnya anak muda dari kalangan elit dan tidak merangkul organisasi kepemudaan yang bersifat akar rumput dinilai berlawanan dengan semangat kepemudaan. Figur pemimpin muda di pucuk eksekutif Indonesia diharapkan dapat mendistribusikan semangat kepemudaan kepada generasi Millenial dan Gen Z yang nantinya menjadi masa depan bangsa, tidak terlarut dalam kepentingan elit dan tergerus oleh sistem. Dengan demikian, secara linear Indonesia mampu bertahan di tengah destabilisasi politik global yang mengancam identitas nasional melalui sosial media yang digunakan oleh anak-anak muda.

 

Pada kesimpulannya, urgensi dibutuhkannya semangat nasionalisme di Indonesia disebabkan karena tren tergerusnya identitas nasional. Situasi ini menjadi membahayakan ketika Indonesia berhadapan dengan perang kepentingan di level global yang bisa berdampak pada stabilitas nasional. Anak muda adalah pintu masuknya pengaruh “asing” yang dapat merusak stabilitas tersebut, atau anak muda bisa menjadi kunci dalam melawan upaya “asing” dalam melemahkan Indonesia dari dalam. Hal ini dapat didistribusikan melalui figur pemimpin muda di puncak eksekutif pemerintahan yang merangkul anak-anak muda dan organisasinya di akar rumput, memformulasikan kebijakan yang aplikatif dan relevan bagi anak muda saat ini, dan menjadi kanal aspirasi bagi kepentingan kepemudaan, sehingga muncul sense of belonging kepada NKRI yang secara otomatis memperkuat sekat-sekat bernama Pancasila dalam menghalangi pengaruh “asing” yang berupaya merusak stabilitas Indonesia.

 

 

Ulta Levenia

Pendiri Millenial untuk Pertahanan dan Keamanan (MAPAN)

Catatan: artikel ini rencananya disampaikan dalam diskusi “Peta Jalan Kaum Muda Menuju Indonesia Emas” yang diselenggarakan oleh Berdikari Online dan LMND, Minggu, 12 Mei 2024 di Kelakar Coffee, Jakarta. Karena sesuatu hal, Ulta tidak bisa hadir.

[post-views]