Kementan, 2019, mencatat bahwa luas Perkebunan Kelapa Sawit mencapai 16 juta Ha, dengan porsi 51% dikuasai oleh Perkebunan Swasta, 41% dikuasai Petani Swadaya dan 2% dikuasai Negara atau BUMN. Dengan rata-rata produksi CPO (Crude Palm Oil ) sebanyak 25 s.d 30 Juta Ton/pertahun.
Di 2017, Indonesia mendapatkan penghasilan 250 Triliun per-tahun dari Pajak Ekspor Sawit. Ironisnya, kondisi Petani Swadaya sampai hari ini tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan pupuk di lahan perkebunannya. Selama 2019 s.d 2022, kenaikan pupuk sudah 300%. Karena itu Petani Sawit tidak akan mampu menaikkan nilai produksi TBS alias petani hanya mampu memupuk 1 kali dalam setahun.
Berdasarkan temuan-temuan saya bersama petani, produksi normal dengan tanaman produktif di atas 5 tahun ke atas hanya mendapatkan 1-2,5 Ton /bulan.
Sangat kompleks tantangan dan masalah Petani Sawit Swadaya di Indonesia khususnya yang saya jalani di Kalimantan Barat.
Di 2016, Pemerintah sudah mendorong adanya STDB atau Surat Tanda Daftar Berkebun. Dengan itu pemerintah berupaya mendorong adanya status lahan petani, bibit apa yg beredar, jumlah produksi pertahun, legalitas lahan. Petani Swadaya pun pada tahun 2025, harus memiliki ISPO (Indonesia Sustainable Palm Oil) agar Perkebunan Kelapa Sawit kelapa Petani tersertifikasi, berkelanjutan dan mendorong adanya rantai pasok alih-alih menambah nilai ekonomi Sawit petani di tingkat pasar.
Lalu apa kendalanya? Catatan saya untuk kabupaten Sanggau saja Luas lahan Perkebunan Sawit Swadaya ada 94.000 Ha, yang HPL ada 75.000 Ha, masuk kawasan kurang lebih 18.000 Ha. Nah pertanyaannya: bagaimana dengan nasib Petani Sawit yang masuk dalam kawasan Hutan dan HGU ?
Jelas pada tahun 2025 nanti ketika pemberlakuan dan mewajibkan petani harus memiliki STDB dan memiliki Sertifikasi ISPO/RSPO. Jika petani tidak memiliki itu, bisa dibayangkan bagaimana nasib Petani Swadaya dalam kawasan itu. Padahal dalam syarat untuk ISPO, petani harus memiliki legalitas lahan dengan adanya STDB itu.
Belum lagi capaian untuk STDB bagi Petani Swadaya untuk Kabupaten Sanggau ini saja paling maksimal hanya mencapai 1000 s.d 2000 persil /tahun. Jadi agar Petani Swadaya terdaftar dalam STDB, memerlukan waktu 75 Tahun. Lantas bagaimana nasib Petani Swadaya yang masuk dalam lingkaran kawasan hutan itu?
Tidak ada solusi sampai saat ini terkait itu. Hal ini akan menjadi bola panas bagi Pemerintah ke depan. Bagaimana nasib Petani Swadaya dan keluarganya?
Lalu apa urgensi Hilirisasi bagi Petani Swadaya ?
HIlirisasi bagi Petani Sawit Swadaya adalah sebuah keharusan jika petani ingin berdaulat, mandiri dan sejahtera.
Bagaimana menjalankannya, menguatkan dan memperdayakan kelembagaan desa, koperasi dan memperkuat Koptan, Gapoktan dan Serikat Tani yang adalah keharusan?
Pertama, memberdayakan Petani Sawit adalah keharusan dengan masih lemahnya SDM petani terkait komoditas Sawit dan pola budidayanya.
Kedua, petani harus aktif mendorong desa sebagai ruang bersama untuk membangun pabrik-pabrik skala mini rumah tangga untuk berani memproduksi Sawit dengan turunannya; membangun relasi rantai pasok yang berkeadilan dan berkelanjutan. Juga mendorong pasar sendiri atau hubungan dengan PKS yang berelasi baik dengan petani dengan dukungan pemerintahan yang kuat dan bersih.
Hilirasasi sangat membutuhkan banyak tenaga produktif. Hilirisasi menjawab tantangan nilai produktivitas Sawit Indonesia dengan target 35 Ton pertahun dan 26% rendemen CPO yang ditargetkan oleh Pemerintah Indonesia.
Hilirisasi juga menjawab persoalan-persoalan Petani Swadaya yang ada di kawasan hutan, membangun pasar sendiri, membangun solidaritas petani secara nasional akan kebutuhan lokal yang sejatinya ke depan mampu dipenuhi oleh petani itu sendiri.
Harapan itu ada ketika komitmen itu dijaga dengan baik.
Binsar Tua Ritonga, PW STN KALBAR
Foto : Illustrasi Petani Kelapa Sawit Astra Agro Lestari
- Fascinated
- Happy
- Sad
- Angry
- Bored
- Afraid