Untuk Negeriku
Aku dilahirkan dari rahim kesedihan yang belum menemukan penghiburan
Lima puluh enam tahun yang lalu
Air mata kesedihan masih memenuhi negeri
Mengalir bagai sungai tak berarah
Membentur tiang-tiang kepongahan yang terus tumbuh
Tak ada jalan keluar
Bertaruh nyawa bagi yang berlawan
Di sana pulau pembuangan
Di sini penjara yang tak tunduk
Syairku syair perjuangan Negeriku
Seperti kawanku yang Mencari Tanah Lapang
Walau pukulan kuasa dan bui sampai juga padaku
Si Tetap tak mengubah jalanku
Hingga tiang-tiang kepongahan runtuh
Air mata yang jatuh tak lagi bisa dibedakan antara kesedihan atau kebahagiaan
Di sini, sambil memandang lima puluh enam tahun berlalu
Tak cukup hanya duduk di kursi goyang yang didambakan kaum ambtenaar
Syairku masih syair perjuangan Negeriku
yang tak henti-hentinya mencari pembebasan
….
Pedang di kanan, keris di kiri
Berselempang semangat yang tak bisa mati
….
Bagimu Negeri
Menyediakan api
….
Di masa pembangunan ini
Tuan hidup kembali
….
Hari kemarin dan yang akan datang masih juga harus dilalui dari kesedihan ke kesedihan
Waktu menua tongkat Musa belum juga bisa ditinggalkan di Gunung Sinai
linangan air mata mengalir di antara;
Menjelajahi sungai yang dipercaya akan sampai pada muara kemakmuran
Sanghyang, AJ Susmana, Jum’at, 16 Mei 2025
Dirgahayu Ketua Umum PRIMA Agus Jabo Priyono