Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Satya W Yudha mengatakan, kebijakan pemerintah terkait pungutan Dana Ketahanan Energi sebaiknya ditunda hingga ada pendiskusian dengan pihak DPR.
“Saya menyarankan dana ketahanan energi ditunda hingga masa pembahasan APBN-P yang dilaksanakan tidak lama dari sekarang,” kata Satya di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu (2/1/2016).
Satya mengingatkan pemerintah agar tidak menganggap pungutan Dana Ketahanan Energi dari masyarakat ini sebagai persoalan sederhana. Sebab, pungutan tersebut belum jelas kategorinya.
Selain itu, dia menjelaskan, pungutan tersebut seharusnya juga tertuang dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
“Misalkan dengan mencatatkan kepada APBN. Itu jadi bingung. Mencatatkan pada APBN tapi tidak pernah dibahas. Orang sekarang kita membelanjakan pendapatan pajak saja untuk beberapa kementerian itu dibicarakan kok sama DPR. Masa sekarang DKE dicatatkan dalam APNBP, lantas dimasukkan dalam APBN tanpa dibahas dengan DPR,” jelasnya.
Menurut dia, DPR harus mengetahui berapa potensi pendapatan dari pungutan dana pengurasan energi fosil tersebut serta peruntukannya. Selain itu, dana ketahanan energi tersebut pun perlu dipertanggungjawabkan pemerintah dalam setiap pembahasan dengan anggota dewan.
“Padahal DPR perlu tahu potensi pendapatan (pungutan Dana Ketahanan Energi) itu, dan digunakan untuk apa yang masuk dalam kolom pembelanjaan. Dan nanti akan dipertanggungjawabkan dalam setiap APBN ke APBN. Serapannya bagaimana, apa itu terjadi atau tidak,” jelasnya.
Masih kata Satya, pemungutan Dana Ketahanan Energi itu juga belum punya payung hukum yang jelas. Kata dia, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang energi belum secara eksplisit menjelaskan mekanisme pemungutan dana tersebut.
“Dalam Pasal 29 dan 30 UU Energi, tidak eksplisit mencantumkan mekanisme pemungutan dana energi dari masyarakat. Yang ada adalah mendanai pengembangan energi baru dan terbarukan dari uang yang dihasilkan dari sumber daya alam yang tak bisa diperbaharui dalam hal ini adalah minyak dan gas alam,” imbuhnya.
Dalam UU tersebut dijelaskan, negara berkewajiban mendanai penelitian dan pengembangan energi terbarukan dari penerimaan negara di sektor minyak dan gas. Artinya, dananya berasal dari penerimaan sektor migas.
Sementara, dalam skema Menteri ESDM Sudirman Said, pungutan DKE diambil melalui premi deplesi atau pengurasan seluruh bahan bakar fosil, termasuk minyak mentah, batubara, dan gas alam.
Seperti diberitakan sebelumnya, Menteri ESDM Sudirman Said akan melakukan pungutan Dana Ketahahan Energi melalui setiap pembelian premium dan solar.
Besaran dana yang dipungut, yakni yakni sebesar Rp200 per liter premium dan Rp300 per liter solar. Kebijakan ini akan mulai berlaku tanggal 5 Januari nanti.
Muhammad Idris

