Tanpa Pemilu Jurdil, Tidak Ada Pemerintahan Bersih dan Kemakmuran Rakyat.

Pemerintahan bersih dan kemakmuran rakyat adalah cita-cita Indonesia merdeka. Pemerintahan bersih dan mewujudkan kemakmuran rakyat itu mengandaikan pemerintahan yang melayani rakyat tanpa korupsi dan diskriminasi sehingga terwujud keadilan sosial.

Pada masa penjajahan Belanda, perlakuan diskriminatif terhadap warga terjadi dan terlihat nyata. Demikian juga perampasan sumber daya alam dan tenaga rakyat. Pendidikan rakyat biasa hanya sampai kelas Ongko Loro (baca juga: pendidikan dasar) dengan target bisa membaca dan menulis, yang diperlukan untuk kebutuhan tenaga kerja Industri, sementara kelas ningrat bisa memasuki pendidikan lebih tinggi namun tidak lebih tinggi dari Sang Penjajah.

Kita ingat Pemerintah kolonial memberlakukan strata sosial berdasarkan ras atau bangsa-bangsa: warga kelas utama adalah Eropa, warga kelas kedua adalah Bangsa-Bangsa Timur seperti Arab dan China dan warga kelas tiga adalah yang berjumlah paling banyak yang disebut pribumi, yaitu suku-suku yang telah lama menempati Nusantara. Karena itu tidak salah bila slogan-slogan sosialistik memenuhi udara perlawanan terhadap kolonialisme seperti “Sama Rasa Sama Rata”.

Strata sosial yang diskriminatif dan hanya memperkaya Asing: penjajah kolonial dan antek-anteknya berhasil didobrak dan dihancurkan melalui perjuangan rakyat yang menuntut kemerdekaan pada tahun 1945, dan membangunkan Negara baru bernama Republik Indonesia.

Melalui konsitusi yaitu UUD 1945 yang menjadi dasar dan landasan hidup berbangsa dan bernegara yang baru tampak jelas bahwa semangatnya adalah memberi akses dan melayani rakyat dalam pemerintahan yang bersih demi keadilan sosial dan kemakmuran rakyat. Secara khusus, dituangkan dalam Pasal 33 UUD 1945: “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat…” serta Pasal 34: “Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara.”

Sarana untuk mencapai akses kesejahteraan, mewujudkan kemakmuran rakyat itu disandarkan pada demokrasi sehingga rakyat yang masih memperjuangkan kesejahteraaan dengan kekuatan bersenjata atau kekerasan pun disingkirkan.

Pemilu 1955 digelar dengan semangat memberikan dan mendorong rakyat untuk terlibat bukan untuk membuat satu golongan rakyat agar tidak terlibat atau tersingkir dari arena demokrasi. Pemilu 1955, sebagai pemilu pertama pasca penjajahan, di tengah suasana kemerdekaan, yaitu keberhasilan dalam memperjuangkan kemerdekaan sehingga akses dan ruang terhadap kesejahteraan rakyat makin terbuka dibanding pada masa kolonial yang menerapkan diskriminasi sosial berdasarkan ras, dipandang sebagai pemilu yang jujur dan tidak diniati untuk diakali atau dicurangi.

Pada pemilu-pemilu Orde Baru, kecurangan tampak nyata tapi rakyat belum berdaya menghadapi rejim yang membatasi partisipasi politik rakyat dengan kekerasan yang tingkat kekerasannya telah mendapatkan reputasi yang jelas yaitu setidak-tidaknya sudah membunuhi lawan politiknya berkisaran antara 500.000 sampai 1 juta orang. Pada pemilu Orde Baru, agitasi politik dibatasi, jumlah partai dibatasi dan disuruh bersaing dalam pemilu dengan entitas politik yang tidak mau disebut Partai tetapi menjadi alat politik kekuasaan. Kecurangan yang inheren dan sistemik dalam pemilu-pemilu Orde Baru itu berhasil diakhiri dengan tumbangnya rejim pada Mei 1998.

Memasuki era reformasi, ada harapan bahwa pemilu yang jujur dan adil bisa kembali diselenggarakan sebagaimana pemilu pertama 1955. Partisipasi luas rakyat untuk terlibat kembali dalam pemilu meluas dan antusias. Juga diselenggarakan pemilu secara langsung untuk memilih Presiden dan kepala daerah bahkan hingga memilih Ketua RT.

Tapi, di balik meluasnya partisipasi politik rakyat itu, niat untuk mengakali dan bermain curang dalam pemilu juga berlangsung dan semakin jelimet dan sistematik dengan kemampuan intelejen yang tidak biasa. Akibatnya secara umum diketahui bahwa pemilu yang diselenggarakan pasti curang tapi juga tidak ada niat politik atau kemampuan politik rakyat untuk menghentikan dan men-set ulang sistem pemilu. Kecurangan dianggap hal biasa dalam pemilu seakan itu bagian dari kelihaian berpolitik saja sebagaimana dulu sempat ribut soal kriteria calon presiden yang mengharuskan lulusan sarjana strata 1. Tetapi bersepakat bahwa presiden harus sehat jasmani dan rohani yang seakan kriteria itu hanya untuk mencurangi atau menyingkirkan Gus Dur saja.

Begitu juga pada Pemilu 2024 yang mendekat, kita pun malah dihadapkan pada perlakuan penyelenggara pemilu yang curang. Kecurangan pemilu yang semakin telanjang.

Soal indikasi KPU berlaku curang, tidak adil, dalam menyeleksi partai-partai mana yang harus diloloskan dalam Pemilu 2024 sebenarnya sudah menjadi kegelisahan banyak pihak. Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) Yusril Ihza Mahendra, misalnya, dalam Rakornas PBB di Kepala Gading, Jakarta, Rabu (11/1/2023), menyatakan semestinya tidak ada satupun partai politik yang lolos menjadi peserta pemilihan umum (pemilu) bila verifikasi faktual benar-benar dilaksanakan.

Kelolosan menjadi peserta pemilu 2024 ternyata tidak semata-mata bahwa partai tersebut telah memenuhi syarat sebagaimana yang telah ditetapkan untuk menjadi peserta pemilu 2024 tetapi juga karena faktor politik. KPU tidak harus menjadi panitia yang independen sebagaimana seharusnya dalam menyelenggarakan hajatan pemilu 2024 tetapi bisa juga KPU menjadi alat kekuatan politik tertentu sehingga memungkinkan oknum KPU terlibat atau menjadi bagian dari politik yang dikehendaki kekuatan politik tertentu itu dalam hajatan Pemilu 2024.

Ketua KPU RI Hasyim Asy’ari, misalnya, telah mendapatkan sanksi sebanyak dua kali karena melanggar kode etik dan mendapatkan peringatan keras dari DKPP. Pertama, terkait ucapannya yang mengomentari sistem pemilu proporsional tertutup. Kedua, terkait perjalanan ziarah dengan Ketua Umum Partai Republik Satu Hasnaeni alias Wanita Emas yang dinilai terkait dengan nasib Partai Republik Satu dalam Pemilu 2024.

Kita tentu bertanya-tanya: apakah terlibatnya KPU, “cawe-cawe” KPU itu murni kehendak oknum-oknum KPU sendiri atau memang Lembaga KPU ini telah menjadi alat kekuatan politik tertentu yang tidak ingin hasrat politiknya terganjal atau terhambat oleh partai-partai yang dianggap tidak sejalan dengan kekuatan politik tertentu itu.

Dalam hal ini, Partai Rakyat Adil Makmur — PRIMA- yang sementara gagal menjadi peserta Pemilu 2024, telah menjadi korban politik KPU yang tidak independen dan curang alias tidak adil tersebut. Akibatnya jelas “cawe-cawe” PRIMA dalam turut menyelesaikan problem berbangsa dan bernegara melalu Pemilu masih harus menempuh jalan berliku dan “berbahaya” sebagaimana slogan Bung Karno di tahun revolusi: Vivere Pericoloso! Sebab, Kasasi Prima ke MA bisa berakibat penundaan atau pemunduran Pemilu 2024.

Sampai batas mana kecurangan dalam penyelenggaraan pemilu itu bisa ditoleransi rakyat? Jawabannya ya tergantung pada sejauh mana akses kesejahteraan bisa diperoleh rakyat sebab demokrasi hanyalah sarana untuk mewujudkan dan mencapai kesejahteraan.

Literasi politik atau pendidikan politik kini seakan menjadi sesuatu tindakan politik yang penting sebab politik bukan lagi soal memilih dan dipilih tetapi apa yang bisa diperoleh dalam setiap hajatan politik. Apa yang bisa diperoleh dalam setiap hajatan politik yang berlangsung itu tergantung dari seberapa besar melek literasi politiknya. Seakan tak ada yang salah dalam era demokrasi seperti ini ketika setiap suara rakyat misalnya dihargai Rp 100. 000, atau Rp 10.000 dan dianggap saja orang-orang seperti ini adalah golongan pasukan bayaran yang juga dibutuhkan dalam setiap usaha memenangkan perang.

Tetapi kita pun berhak bertanya lebih jauh: “Apakah mungkin pemerintahan bersih yang melayani rakyat dan sanggup mewujudkan keadilan sosial dan kemakmuran rakyat itu bisa tercapai dengan pemilu yang penuh kecurangan?”

Jawaban kami:
“Tanpa Pemilu jujur dan adil, tidak akan ada Pemerintahan Bersih dan Kemakmuran Rakyat.”

Lukisan karya Ki Suhardie – [2008)

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid