Sudah Saatnya Memperbaiki Partai Politik dan Lembaga Perwakilan Kita

Membahas situasi kekinian Indonesia sekarang, merupakan hal yang lumrah untuk dikatakan bahwa negara kita dikuasai oleh segelintir orang yang mengendalikan sistem hukum dan politik negara.

Kita perlu garis bawahi, penyelenggaraan Negara, hukum dan demokrasi harusnya berjalan semestinya. Pemerintah sebagai penyelenggara Negara harusnya bisa menjamin kesejahteraan rakyat atau warga negaranya. Kemudian, timbulnya hukum atau aturan bukan tanpa alasan. Demi memberdayakan Sumber Daya Manusia (SDM) dengan baik agar tercapainya tujuan negara, hal itu membutuhkan aturan atau hukum itu sendiri. Bagaimana jenis hukum yang digunakan untuk menjalankan pemerintahan?

Kemudian, ada juga sistem demokrasi. Sejarah demokrasi sudah menjadi pembahasan besar oleh para pakar ahli hukum. Demokrasi, menurut saya, merupakan tentang cara penyelenggara kekuasaan pemerintah berdasarkan asas kedaulatan rakyat. Dalam hal ini, rakyat harus berperan besar dalam berjalannya penyelenggaraan Negara.

Sejarah demokrasi Indonesia sudah melalui banyak dinamika, mulai dari era demokrasi liberal (1950-1959), demokrasi terpimpin (1959-1967), dan kediktatoran Orde Baru, hingga demokrasi yang dilahirkan oleh reformasi 1998. Konsepsi demokrasi kita sampai empat kali mengalami perubahan untuk menentukan format ideal sistem demokrasi yang cocok dengan negara kita.

Perubahan konsepsi demokrasi itu, termasuk demokrasi pasca reformasi, turut mengubah bentuk kelembagaan politik dan pemerintahan kita. Kita tahu, Indonesia menerapkan Trias Politica untuk menata dan membagi kekuasaan Lembaga tinggi negara. Namun ketika berbicara pengalaman sejarah, terbukti bahwa model kekuasaan eksekutif yang begitu besar ternyata tidak mampu untuk membentuk masyarakat yang adil dan beradab. Bahkan kekuasaan pemerintah yang absolut seringkali menimbulkan banyaknya pelanggaran HAM di Indonesia.

Beragam isu yang muncul di publik belakangan ini, seperti pemindahan IKN, korupsi, penundaan Pemilu, penambahan periode masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden, dan persoalan ekonomi (kemiskinan, ketimpangan, utang luar negeri, dan lain-lain), menunjukkan ada yang bermasalah dalam sistem demokrasi saat ini.

Pengalaman “executive heavy”, yaitu kekuasaan eksekutif (Presiden) yang terlampau besar dan tak terbatas, seperti yang terjadi masa Orde Baru, sudah coba dikoreksi dengan konsep “check and balances”. Namun, kurang maksimalnya fungsi dan kualitas parpol membuat beberapa lembaga negara, terutama legislatif, kurang bekerja dengan maksimal.

Lembaga perwakilan merupakan inti dari demokrasi, karena lembaga ini menjadi representasi dari kehendak poltik rakyat. Segenap keinginan atau kemauan rakyat disalurkan melalui perwakilan rakyat, yang dipilih  secara demokratis melalui pemilu. Wakil-wakil rakyat lewat kendaraan partai politik (parpol) dipilih langsung oleh rakyat lewat mekanisme one man, one vote.

Para wakil itulah yang seharusnya menyuarakan segala keinginan rakyat. Hal ini berarti rakyat telah mempercayakan segala hal yang berkaitan dengan kelangsungan hidupnya kepada badan perwakilan. Namun, dalam dinamika politiknya, justru kinerja para perwakilan rakyat ini menuai banyak gugatan dan kritik dari rakyat.

Dari berbagai survei, DPR dan Parpol terus mendapat tingkat kepercayaan yang rendah. Survei terbaru Indikator Politik Indonesia  dari 11-21 Februari 2022 menyebut tingkat kepercayaan terhadap kinerja DPR hanya 61 persen, merupakan yang terendah di banding lembaga negara yang lain.

Penyebabnya, wakil rakyat yang telah terpilih seringkali lalai melaksanakan tugasnya sebagai wakil rakyat. Dengan kata lain, “gelar wakil rakyat” hanya sekadar nama yang tidak berfaedah. Banyak terjadi, rapat Paripurna diwarnai dengan banyak kursi yang kosong.

Kemudian ada banyak anggota yang terlibat korupsi. Data Indonesia Corruption Watch (ICW), sepanjang 2015-2019, ada 254 anggota dan mantan anggota DPR/DPRD yang tersangkut kasus korupsi. Belum lagi, ada banyak produk legislasi yang bermasalah, baik formil dan materil, seperti revisi UU KPK, revisi UU Minerba, dan UU Cipta Kerja. Beberapa isu masalah yang menyentuh langsung kehidupan rakyat, seperti kenaikan BBM, harga sembako yang melambung tinggi, dan biaya pendidikan yang semakin mahal, justru kurang mendapat perhatian.

Sementara partai politik, yang sejatinya badan politik publik untuk mengartikulasikan kehendak politik rakyat, hanya dijadikan kuda tunggangan politik segelintir elit. Parpol gagal melahirkan politisi dalam pengertian sejatinya, yaitu mereka yang mengabdi pada kepentingan umum, melainkan penjarah uang rakyat (korupsi) dan pembuat UU yang merugikan rakyat. Agenda dan program politik parpol menjauh dari kebutuhan-kebutuhan rakyat.

Karena itu, untuk memperbaiki kehidupan demokrasi dan politik di negara kita, tidak cukup menjamin kebebasan berserikat dan kemerdekaan berpendapat, tetapi juga memperbaiki institusi-institusi politiknya, terutama Parpol dan lembaga perwakilan (DPR). Tanpa perbaikan itu, demokrasi akan gagal menegakkan kedaulatan dan kesejahteraan rakyat.

ANDREAN HIMAWAN, mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Mulawarman

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid