Palu, Berdikari Online- Pada hari Jumat 11 Juli 2025, bukan cuma Pertemuan Konsultasi Masyarakat (PKM) yang gagal, tapi juga citra sebuah perusahaan besar yang dianggap lalai membaca denyut nadi rakyat. Rencana PKM yang digagas PT Baoshuo Taman Industry Investment Group (BTIIG) untuk proyek pemanfaatan Sungai Karaopa batal. Lokasi yang semula disiapkan di Balai Pertemuan Kecamatan Bumi Raya, Desa Bahonsuai, Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah, malah dipenuhi massa rakyat dari berbagai penjuru Kecamatan Witaponda dan Bumi Raya (Witaraya).
Tak satu pun perwakilan resmi pemerintah hadir Undangan dari perusahaan pun tak ada yang tampak Tapi rakyat hadir Bukan untuk berdialog, melainkan untuk menolak. Bukan untuk menyimak presentasi, melainkan untuk menyampaikan ultimatum: “Air bukan untuk diperdagangkan, sungai bukan untuk digadai.”
Aliansi warga yang terdiri dari petani, penambang pasir lokal dan pemuda menyerbu lokasi sejak pagi hari. Aksi yang berlangsung damai namun penuh ketegasan itu dipimpin oleh Alimudin, dari Gerakan Petani Indonesia Menggugat (Gapit).
“PKM ini cacat sejak dari awal. Tidak ada sosialisasi yang layak di desa-desa terdampak. Kami tidak pernah diajak bicara. Mereka menganggap kami hanya bayangan di peta. Sekarang kami berdiri dan bicara: ini tanah kami, ini air kami!” pekik Alimudin.
Menurut Alimudin, Sungai Karaopa selama ini menjadi tulang punggung pertanian di wilayah Witaraya. Sungai ini mengairi ratusan hektare sawah, menopang ribuan kepala keluarga, dan menjadi sumber utama air bersih. Mengalihkan fungsi sungai ini sama saja dengan menyabotase kehidupan rakyat.
Penolakan warga bukan semata-mata emosional. Mereka bersandar pada sejumlah pasal konstitusi dan hukum yang selama ini sering dikangkangi dalam praktik investasi ekstraktif.
Dalam kesempatan yang sama Mohammad Azmy merupakan salah satu massa aksi dalam oratornya menyinggung implementasi Pasal 33 UUD 1945 yang menyatakan: Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Apa yang dilakukan PT BTIIG, menurut warga, jelas bertentangan dengan semangat pasal tersebut. Bagaimana bisa pemanfaatan sumber air untuk industri didahulukan ketimbang kepentingan irigasi rakyat?
Lebih lanjut, ia juga menyebut UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (meskipun sempat dibatalkan MK dan kemudian digantikan oleh UU No. 17 Tahun 2019), menegaskan bahwa: Air sebagai sumber daya vital harus diprioritaskan untuk pemenuhan kebutuhan pokok sehari-hari dan irigasi pertanian rakyat.
Menurutnya bukan hanya itu, Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, mengatur bahwa setiap rencana usaha yang berpotensi menimbulkan dampak signifikan terhadap lingkungan wajib melalui Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) dan partisipasi masyarakat terdampak secara bebas, didahului informasi, dan tanpa paksaan (free, prior and informed consent / FPIC). Apakah ini dijalankan? Tidak. Warga tidak merasa pernah mendapatkan penjelasan awal. Mereka tidak pernah diberi akses terhadap dokumen perencanaan, dan terlebih lagi mereka tak pernah merasa dilibatkan.
“Kami bukan anti-investasi. Tapi kami menolak model investasi yang datang dengan gaya penjajahan baru, Ia menambahkan bahwa selama ini, janji kesejahteraan dari proyek-proyek industri hanya indah di atas proposal. Yang kaya makin kaya, yang miskin digusur dan dijauhkan dari sumber-sumber kehidupannya.” kata Mohammad Azmy.
Warga juga menyoroti pola pelibatan perusahaan dalam membangun komunikasi dengan masyarakat. Sosialisasi seringkali hanya formalitas, bukan di ladang tempat rakyat bekerja. “Kalau betul ingin berunding, kenapa takut turun ke sawah? Kenapa takut datang ke dusun-dusun?” tambahnya.
Mohammad Azmy menegaskan, Sungai Karaopa adalah metafora kehidupan itu sendiri. Ia bukan sekadar aliran air, tapi sejarah, budaya, dan warisan nenek moyang yang sudah menyatu dalam tubuh rakyat Witaraya. Ketika alirannya dibagi untuk industri, maka yang dirampas bukan hanya air, tapi masa depan rakyat. Adapun yang menjadi pokok tuntutan massa aksi adalah :
- Pembatalan pelaksanaan pertemuan konsultasi masyarakat oleh PT. BTIIG;
- Penolakan terhadap pengusahaan Sungai Karaopa untuk kebutuhan industri;
- Desakan terhadap pemerintah untuk menjamin keterbukaan informasi kepada publik;
- Penegasan bahwa semua proses yang menyangkut sumber daya air harus didasarkan pada prinsip musyawarah, partisipatif, dan transparansi.
(Amir)


