Konsep “serakahnomics” yang diperkenalkan Presiden Prabowo Subianto bukan sekadar jargon politik, melainkan kritik tajam terhadap sistem ekonomi global yang didorong keserakahan tanpa moralitas dan etika, dengan Amerika Serikat sebagai representasi utama kapitalisme. Istilah ini pertama kali digaungkan oleh Prabowo melalui pidatonya dalam acara Partai Solidaritas Indonesia (PSI) pada 20 Juli 2025 di Surakarta, Presiden Prabowo Subianto menyebutnya sebagai mazhab baru yang melampaui neoliberalisme atau kapitalisme pasar bebas sebuah mekanisme eksploitasi yang merampas kekayaan negara berkembang demi keuntungan segelintir elit global.
Pernyataan ini diperkuat lagi pada perayaan hari lahir ke-27 Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) pada 23 Juli 2025 di Jakarta, saat itu menyoroti paradoks kelangkaan minyak goreng, Indonesia produsen kelapa sawit terbesar dunia dan kelangkaan ini sebagai bukti kejahatan ekonomi yang melemahkan sumber daya nasional. Pengulangan istilah ini di peresmian 80.081 unit koperasi desa/kelurahan di Klaten pada tanggal 21 Juli 2025 dan Sidang Tahunan MPR RI pada tanggal 15 Agustus 2025 menegaskan bahwa serakahnomics bukan retorika semata, tapi harus menjadi fondasi identitas kolektif Indonesia untuk melawan dominasi modal asing yang mengabaikan keadilan sosial.
Dalam bukunya Paradoks Indonesia dan Solusinya, Presiden Prabowo Subianto mengungkap paradoks : Indonesia kaya sumber daya alam dan manusia, namun setelah 75 tahun merdeka, masih terjerat kemiskinan akibat kegagalan menguasai sektor strategis sesuai Pasal 33 UUD 1945. Bandingkan dengan Tiongkok: pada 1985, ekonominya 3,6 kali lebih besar dari Indonesia, tapi dalam 30 tahun melonjak menjadi 12,8 kali lipat melalui State Capitalism yang tegas. Indonesia, sebaliknya, dikuasai keserakahan global, di gerogoti oligarki dan pejabat korup yang membuat kekayaan mengalir ke luar negeri. Serakahnomics, pernyataan sikap Presiden Prabowo Subianto, merupakan realisasi antitesis prinsip ekonomi Sukarno yang ingin : likuidasi sisa kolonialisme, andalkan kekuatan rakyat, perkuat peran negara, beri ruang swasta nasional yang selaras dengan rakyat, serta perdagangan luar negeri bebas-aktif. Prinsip ini menjadi landasan politik luar negeri Presiden Prabowo Subianto, yang menargetkan pertumbuhan 6-7% pada 2025-2029 sebagai batu loncatan menuju Indonesia Emas 2045, bukan melalui ketergantungan asing, tapi kedaulatan sejati.
Langkah konkret perlawanan ini terwujud dalam bergabungnya Indonesia ke BRICS pada 6 Januari 2025, hanya tiga bulan pasca pelantikan Bapak Prabowo Subianto menjadi Presiden Republik Indonesia (20 Oktober 2024). BRICS dicetuskan Jim O’Neill pada 2001 mewakili kekuatan baru: kuasai seperempat wilayah dunia, 40% populasi global, 18% ekonomi dunia, dan kontribusi 32,1% pertumbuhan global pada 2023 (melampaui G7 yang hanya 29,9%). Proyeksi 2028: BRICS capai 35%, G7 turun ke 27,8%. Dengan New Development Bank (NDB) sebagai alternatif Bank Dunia dan IMF, BRICS adalah benteng negara berkembang melawan hegemoni Amerika Serikat dan sekutunya. Bergabungnya Indonesia bukan hanya diversifikasi, tapi deklarasi perang terhadap serakahnomics yang selama ini menjadikan negara seperti Indonesia sebagai sapi perah.
Namun, realitas global tak hitam-putih. Pengumuman Presiden Amerika Serikat Donald Trump pada 2025 turunkan tarif impor Indonesia dari 32% ke 19%, mensyaratkan pembelian 50 jet Boeing plus energi dan produk pertanian Amerika Serikat senilai miliaran dolar merupakan satu kerumitan. Ini bukan konsesi gratis, melainkan cara menunjukkan keserakahan, di mana Amerika Serikat tetap untung, Indonesia bayar mahal untuk “kebaikan”. Di sinilah Presiden Prabowo Subianto diuji untuk menyeimbangkan bebas-aktif Sukarno dengan pragmatisme modern, tanpa menyerah pada eksploitasi.
Secara keseluruhan, melawan serakahnomics adalah seruan bangkit: Indonesia harus tegas melawan pihak asing yang menyedot kekayaan Indonesia dan dunia. Melalui BRICS, sekolah rakyat, koperasi desa/kelurahan merah putih, cek kesehatan gratis, makan bergizi gratis yang masih ada kendala dalam pelaksanaannya, inilah cara menuju State capitalism (Sosialisme) ala Presiden Prabowo Subianto. Sekarang dibutuhkan penyederhanaan bahasa yang disampaikan Presiden Prabowo Subianto oleh para pejabat yang memimpin kementerian dan lembaga, terutama Partai politik pendukung yang tergabung dalam koalisi Indonesia maju (KIM) agar rakyat dengan cepat memahaminya serta mendapat dukungan penuh rakyat. Indonesia ke depan bukan lagi korban, tapi arsitek dunia baru yang adil. Ini bukan mimpi, ini keharusan untuk kesejahteraan rakyat, bukan segelintir orang. Indonesia bangkit, serakahnomics lebur!
Ahmad Rifai, Penulis adalah Anggota Majelis Rakyat Adil Makmur, Partai Rakyat Adil Makmur (PRIMA)


