…padahal tidak ada yang kotor bagi orang-orang yang bersih hatinya..(AJ Susmana).
Itulah sepenggal kalimat dalam Novel Menghadang Kubilai Khan yang ditulis Bung AJ. Susmana. Kalimat ini dapat menjadi titik awal membangun persatuan nasional atau nusantara yang digagas Kertanegara. Sepenggal kalimat di atas merupakan pesan buat kita semua agar jangan sekali-kali melihat orang dari mana, bagaimana latar belakangnya kemudian memberikan cap sembarangan karena dalam membangun bangsa dan negara, dibutuhkan ketulus-ikhlasan dan itu lahir dari orang -orang yang bersih hatinya.
Membaca novel Menghadang Kubilai Khan yang ditulis Bung AJ. Susmana bagaikan cerminan gerak sejarah, dialektika masyarakat Indonesia di era corak produksi feodalisme, khususnya di era kerajaan Singasari sampai kerajaan Majapahit awal, yang dimulai dari Tumapel saat itu bawahan kerajaan Kediri yang diperintah wangsa Isyana diambil alih oleh Ken Arok dan mendirikan wangsa Rajasa.
Sepanjang membaca buku ini, terasa sekali sedang diagitasi Bung AJ. Susmana yang sedang mempropagandakan persatuan nasional, bagaimana kita membangun perkawanan dan ada yang menarik yakni soal kesetiaan antara Diah Wijaya atas Gayatri di tengah situasi terpuruk yaitu ketika Gayatri disandera Jayakatwang dan dalam usaha Diah Wiyaja mengonsolidasikan sisa-sisa kekuatan Singasari dan menyiasati kedatangan pasukan Kubilai Khan.
Buku Menghadang Kubilai Khan dapat dijadikan media evaluasi kita dalam berbangsa dan bernegara yang sampai saat ini belum bergeser dari peredebatan soal keyakinan, kepercayaan atas agama yang dianut, silsilah keturunan, ya tidak jauh dari unsur-unsur SARA-lah, bahkan memberi nama baru Tumapel menjadi Singasari yang selanjutnya sebagai Kota Baru dan menjadi sentral gerakan penyatuan Nusantara.
Di buku ini juga, kita diingatkan betapa pentingnya menguatkan angkatan laut, karena di sinilah titik singgung kita dengan negara lain, begitu juga di era Sriwijaya, Mataram, Kediri, Singasari dan Majapahit, seperti Laut Cina Selatan (LCS) yang menyeret negara-negara Indochina, begitu juga dengan perang Rusia dengan Ukraina yang sama berkepentingan atas Laut Hitam. Sekali lagi di sinilah, kita diingatkan bahwa pemimpin nasional itu, selain paham atas situasi bangsanya harus paham situasi dunia luar atau situasi kawasan (internasional) sehingga terhindar dari ancaman pihak luar.
Selain paham situasi dunia luar, pimpinan nasional juga harus tegas dalam membedakan mana lawan, mana kawan, sehingga dalam membangun sekutunya tepat, semisal saat Kertanegara membangun sekutu dengan wangsa Song, Dharmasraya yang bersiap melawan Kubilai Khan (Mongol) yang ada potensi bersekutu dengan Sriwijaya yang sudah lemah akibat serangan kerajaan Cola, yang akhirnya dikonsolidasikan Kertanegara dengan mengirim pasukan Pamalayu di bawah Kebo Anabrang dan disambut baik oleh rakyat Sriwijaya bahkan di setiap daerah yang dilalui. Kemudian daerah-daerah yang terkonsolidasi ditandai dengan pengiriman-pengiriman arca Amoghapasa.
Bung AJ. Susmana detil menjelaskan seorang Kertanegara sebagai antitesa dari Raja Airlangga ataupun raja sebelumnya yang menguasai Jawa sampai Jayakatwang yang melakukan pembelahan teritorial, menggelorakan pertentangan antara Sumatera sebagai negeri Emas melawan Jawa negeri Perak cermin pemimpin yang Chauvinisme. Tidak hanya sampai di situ, Bung AJ. Susmana pun menggambarkan Kertanegara pemimpin yang cinta atas Sastra yang digembleng oleh dua tokoh yakni Ranggawuni dan Mahesa Cempaka yang menegaskan bahwa pemimpin itu harus memiliki spiritualitas tinggi. Kertanegara sendiri dan punggawa-punggawanya merupakan penganut Tantrayana kiri penyeimbang dari Kubilai Khan dalam hal spritualitas.
Dalam menghilangkan dendam, dikotomi, Kertanegara sebagai Raja (pemimpin nasional) saat itu memiliki siasat mengajak rakyat Singasari membangun persatuan dengan melibatkan langsung mulai dari berpikir sampai menentukan taktik melaksanakan pembangunan, sebagai cermin bahwa rakyat tidak hanya dipungutin pajak saja dan inilah awal taktik mewujudkan keadilan dalam persatuan. Selanjutnya dalam menjaga tatanan sosial, Kertanegara mengawinkan darah keturunan wangsa Rajasa dengan keturunan wangsa Isyana, yakni mengawinkan anak Jayakatwang dengan anaknya sendiri. Kita juga tahu Jayakatwang mengawini adik Kertanegara sendiri, Turuk Bali; namun pada akhirnya taktik ini tidak mempan karena Jayakatwang yang diliputi dendam, akibat hasutan orang-orang di sekelilingnya yang berdampak pada hilangnya kebijaksanaan Jayakatwang dalam memandang pentingnya persatuan Nusantara (baca: nasional). Di situlah, kita nilai pengetahuan seorang pemimpin dari siapa saja yang ada di sekelilingnya.
Novel Menghadang Kubilai Khan bagian Pertama ada 28 Sub Bagian yang secara keseluruhan mengulas persatuan nusantara yang paling banyak; sementara bagian Kedua mengulas bagaimana Jayakatwang merenungi kejatuhan wangsa Isyana, hingga dirinya terprovokasi oleh Arya Wiraraja yang diturunkan jabatannya oleh Kertanegara akibat kurang aktif mendukung pengiriman pasukan Pamalayu. Bagian ini juga menekankan pentingnya menguasai laut yang digambarkan secara sederhana: walaupun Jayakatwang berhasil mengambil alih kekuasan lewat kudeta kepada Kertanegara, dia tidak mampu berbuat banyak seperti gagal berkomunikasi dengan dunia luar, baik secara ekonomi (berdagang) dan politik, misal mengirim utusan untuk berkabar ke kerajaan lain bahwa Jayakatwang yang berkuasa. Ini tidak dapat dilakukan karena laut masih dikuasai pasukan Pamalayu di bawah Kebo Anabrang yang merupakan loyalis Kertanegara, sekarang dilanjutkan oleh Diah Wijaya yang diulas dalam 22 Sub Bab. Bagian Ketiga novel ini bercerita singkat, hanya 10 Sub Bagian tentang Diah Wijaya yang berjibaku bersama pasukan Kubilai Khan untuk menghancurkan Kediri di bawah Jayakatwang dan melanjutkan cita-citanya mengembangkan persatuan Nusantara yang digagas Kertanegara.
Mendiskusikan Novel Menghadang Kubilai Khan penting di tengah situasi liberalisme yang semakin menciptakan penguasaan ekonomi politik tersentral kepada segelintir orang (oligark), agar menemukan jalan bagaimana cara dan dari mana mulai membangun bangsa dan negara dengan persatuan nasional yang gagasannya sudah dimulai sejak feodalisme nusantara. Ke depan, segenap pemimpin nasional hasil Pemilu 2024 maupun pemimpin daerah hasil Pilkada Serentak mengawali jalannya pemerintahan dengan mengonsolidasikan persatuan nasional yang berbasis sastra (kebudayaan) serta sejarah. Dengan demikian dalam berbangsa dan bernegara tidak ditakdirkan untuk mengulangi hal-hal yang menghambat Indonesia maju dan modern sesuai tema HUT RI Ke-79: Nusantara Maju, Indonesia Maju.
Jakarta, 17 Agustus 2024
Penulis: Ahmad Rifai (Wakil Ketua Umum DPP PRIMA)
*Tulisan ini disampaikan dalam Bedah Buku Menghadang Kubilai Khan, Minggu 18 Agustus 2024 di Jakarta


