Saatnya Kaum Muda Turut Menentukan Arah Bangsa

Di Indonesia, predikat “kaum muda” atau “pemuda” bukan sekedar usia, tetapi juga mewakili sebuah tempat terhormat dalam sejarah.

Karenanya, meski muda sebagai usia punya ukuran, tetapi tak sedikit orang tua yang merasa bangga menyandang predikat pemuda. Lihat saja ormas-ormas yang mendaku pemuda itu, tak sedikit yang berusia di atas 30 tahun.

Kriteria usia pemuda versi UNESCO adalah 15-24 tahun. Sedangkan menurut UU nomor 40/2009, pemuda adalah mereka yang berusia 16-30 tahun.

Menariknya, berdasarkan sensus penduduk 2020, lebih dari 53 persen penduduk Indonesia adalah kaum muda generasi milenial dan dan Z. Tentu saja, dalam hitungan beberapa tahun ke depan, mereka adalah penentu masa depan Indonesia.

Karena itu, hari-hari ini dan hari-hari esok, kaum muda harus bersiap-sedia. Bukan saja menyumbang kontribusi untuk bangsa, tetapi juga menjadi pemegang kemudi arah perjalanan bangsa ini.

Kenapa Pemuda?

Pertama, pemuda mewakili populasi paling signifikan di negeri ini. Pada 2020, Indonesia memiliki 64.50 juta pemuda atau sekitar seperempat dari total jumlah penduduk. 

Artinya, sebagai kekuatan sosial, pemuda harusnya punya suara yang signifikan. Baik dalam kehidupan sosial maupun dalam politik. 

Kedua, dalam beberapa tahun ke depan, tepatnya 2030-2040, Indonesia akan menikmati puncak bonus demografi. Saat itu nanti, jumlah usia produktif (15-64) lebih banyak dibanding lansia dan anak-anak.

Tanpa menyiapkan kaum muda dari sekarang, dari soal pendidikan, kesehatan, kesadaran, hingga peluang lapangan kerjanya, bonus demografi bisa berubah menjadi bencana demografi.

Ketiga, pemuda punya tempat terhormat dalam sejarah. Dari menyemai lahirnya bangsa, memperjuangkannya, hingga memerdekakannya. 

Kebangkitan Nasional, yang merujuk pada Boedi Oetomo, itu digagas oleh anak muda berusia di bawah 30 tahun: Soewardi Soerjaningrat alias Ki Hajar Dewantara (19 tahun), Dr Soetomo (20 tahun), Tirto Adhi Surjo (28 tahun), dan Tjipto Mangunkusumo (22 tahun). 

Sukarno mendirikan PNI di usia 26 tahun. Tan Malaka menulis Menuju Indonesia Merdeka di usia 28 tahun. Sukarno menulis pidato terkenal, Indonesia Menggugat, pada usia 29 tahun. Sedangkan Mohammad Hatta menulis Indonesia Merdeka (Indonesia Vrij) di usia 26 tahun.

Banyak peristiwa penting dalam sejarah perjuangan bangsa disumbang oleh aktivisme politik kaum muda, seperti Kebangkitan Nasional, Sumpah Pemuda, dan Proklamasi Kemerdekaan.

Ketiga, usia muda merupakan usia paling energik dan produktif. Usia yang menyediakan banyak waktu luang untuk berkontribusi pada masyarakat dan bangsa. Usia yang menyemai pikiran-pikiran radikal dan progressif.

Seperti kata-kata mantan Presiden Chile, Salvador Allende: “Menjadi muda, tetapi tidak revolusioner, itu seperti kontradiksi biologis.” 

Tantangan Zaman

Setiap zaman punya tantangannya. Tantangan anak-anak muda sekarang tentu berbeda dengan angkatan muda di masa Sukarno dan kawan-kawannya.

Pertama, kaum muda berhadap-hadapan dengan era kemajuan yang berlari kencang. Era yang disebut revolusi 4.0, yang membuka pintu lebar-lebar bagi kecerdasan buatan dan robot untuk mengambialih sebagian besar keahlian dan pekerjaan manusia.

Perubahan ini akan mengguncang banyak hal, dari keyakinan-keyakinan lama, cara berpikir, cara berperilaku, hingga cara bertindak. Ini akan mengguncang sendi-sendi kehidupan ekonomi, politik, sosial, dan budaya kita.

Zaman baru ini hanya memberi kita dua pilihan: inovasi atau tergilas. Tanpa kemampuan berpikir maju, lalu berinovasi, kita akan tertinggal oleh kereta kemajuan.

Salah satu bagian dari perkembangan teknologi ini adalah perkembangan internet yang bergandengan tangan dengan kemajuan teknologi informasi. Kita akrab dengan istilah revolusi digital.

Kita akrab dengan media sosial, sekumpulan aplikasi berbasis internet yang menggampangkan manusia di berbagai pojok dunia ini berinteraksi dan berbagai informasi secara cepat. Kita akrab dengan marketplace, yang mengubah ruang dan cara kita berniaga. 

Kita akrab dengan perusahaan-perusahaan teknologi berbasis internet yang mengurusi berbagai kebutuhan hari kita, dari berbelanja, transportasi, belajar/bersekolah, merenovasi rumah, dan lain-lain.

Kedua, kita berhadapan dengan dunia yang makin terglobalisasi. Batas-batas negara makin menipis diterjang oleh kemajuan teknologi. Manusia dari berbagai pojok bumi tak lagi terintangi oleh jarak.

Dalam payung globalisasi itu, imajinasi manusia turut mendunia. Tak lagi terkungkung lagi oleh sekat suku, agama, dan ras. Perkembangan internet telah melambungkan Imajinasi manusia melintasi batas-batas teritorial.

Karena itu, konsep negara bangsa menjadi redup. Bahasa dan budaya dari luar, dari bangsa-bangsa yang lebih maju, juga berdesak-desakan masuk. Ambil contoh, perkembangan musik K-Pop. Banyak anak muda bisa berbahasa Korea Selatan karena pengaruh K-Pop.

Problem Kaum Muda

Di sisi lain, berhadapan dengan berbagai tantangan zaman itu, kaum muda masih dibelit banyak persoalan subjektif.

Pertama, merujuk ke laporan statistik pemuda 2020, ada 47,8 persen kaum muda Indonesia yang hanya tamat pendidikan menengah ke bawah (SMP/SD). Sementara yang tamat pendidikan tinggi (PT) hanya 10,36 persen. Rata-rata lama sekolah anak muda kita hanya 10,78 tahun (lebih rendah dari target wajib belajar 12 tahun).

Sementara pendidikan menjadi kunci untuk berselancar mengarungi masa depan, tingkat pendidikan kaum muda kita masih terbilang rendah. 

Kedua, lebih dari separuh (52,82 persen) pengangguran di Indonesia disumbang oleh angkatan muda (usia 15-29 tahun). Sebagian besar dari jumlah itu (43,05 persen) disumbang oleh usia 15-24 tahun. 

Bayangkan, usia yang paling produktif, yang paling potensil untuk menyumbang tenaga dan pikiran untuk kemajuan bangsa, justru menjadi pengangguran.

Ketiga, kaum muda berhadapan dengan dunia pendidikan yang sangat neoliberalistik. Selain hanya berorientasi keuntungan, model pendidikan ini hanya mengabdikan pendidikan kaum muda kita pada kebutuhan pasar.

Orientasi profit membuat pendidikan hanya menjadi lahan bisnis. Hanya orang-orang yang punya uang-lah yang bisa mengenyam pendidikan. 

Sementara orientasi pasar mengubah kurikulum dan muatan pendidikan yang sesuai kebutuhan pasar. Anak didik dipersiapkan sekedar sebagai calon tenaga kerja. 

Dalam banyak kasus, orientasi pendidikan semacam ini tidak memberi ruang bagi kemerdekaan berekspresi dan berpikir kritis. Padahal, dunia ke depan justru membutuhkan manusia dengan mental yang tangguh, berpikir kritis, dan kreatif.

Keempat, kaum muda dijepit oleh berbagai persoalan sosial di sekitarnya, seperti kemiskinan, ketimpangan, korupsi, pelanggaran HAM, dan krisis ekologi.

Semua persoalan sosial itu tak bisa diabaikan. Sebab, berbagai persoalan itu bisa membuat Indonesia menjadi tempat yang tak aman dan nyaman bagi anak muda untuk mengembangkan segala potensi dirinya.

Apa yang Harus Dilakukan?

Kita tak bisa sekedar mengutupi kegelapan. Kita juga tak bisa memunggungi kereta kemajuan zaman. Kita harus berbenah, menyiapkan diri, lalu berlari kencang mengejar kemajuan zaman.

Tentu saja, agar anak muda bisa berbenah dan menyiapkan diri, negara harus ikut menyingsingkan lengan baju untuk turut bekerja.

Pertama, negara harus berinvestasi sebesar-besarnya untuk pembangunan manusia, untuk memastikan setiap warga negara, termasuk kaum muda, bisa mengakses kebutuhan dasarnya.

Negara harus berinvestasi besar-besaran untuk kesehatan rakyat. Agar tak ada lagi bayi Indonesia yang menderita kurang gizi sejak dalam kandungan. Agar tak ada lagi balita yang mengalami stunting. Agar semua anak-anak Indonesia bisa tumbuh sebagai anak muda yang sehat.

Pada saat bersamaan, negara juga harus berinvestasi besar-besaran untuk pendidikan. Agar lebih banyak daya tampung lembaga pendidikan kita makin membesar dan merata. Agar tak ada lagi anak Indonesia yang tidak sekolah atau putus sekolah.

Agar bisa terakses, maka pendidikan dan kesehatan harus terpastikan bisa dijangkau oleh seluruh rakyat Indonesia, termasuk oleh keluarga paling miskin. 

Kedua, negara perlu mengubah model pendidikan yang neoliberalistik ini menjadi lebih demokratis dan humanis sesuai filosofi pendidikan yang diwariskan oleh para pendiri bangsa, terutama Ki Hajar Dewantara.

Pendidikan harus menjadi lahan yang baik untuk tumbuh suburnya kreativitas, nalar yang kritis, mental yang tangguh, jiwa yang humanis, dan semangat untuk berinovasi. 

Nah, itu tugas negara. Tapi, bagaimana kalau negara abai akan tugasnya, atau tutup mata dan telinga terhadap berbagai aspirasi kaum muda, apa yang kaum muda harus perbuat?

Pertama, kaum muda harus mulai ambil bagian dalam usaha memecahkan berbagai persoalan sosial di sekitarnya atau komunitasnya. Hal semacam ini bisa menjadi tambahan pengalaman bagi kaum muda. Dan seperti kata pepatah: pengalaman adalah guru yang terbaik.

Kedua, kaum muda harus mulai berkumpul dan berserikat sesuai kebutuhan lingkungan sosial atau komunitasnya. Organisasi atau serikat bukan saja mengikat kaum muda sebagai sebuah kekuatan sosial, tetapi juga menjadi tempat belajar, berbagai pengalaman/pengetahuan, dan berkolaborasi untuk kemajuan bersama.

Ketiga, kaum muda harus mulai menyikapi berbagai persoalan-persoalan kebangsaan yang besar, seperti kemiskinan, ketimpangan ekonomi, korupsi, pelanggaran HAM, krisis ekologi, dan lain-lain.

Sebab, kaum muda butuh sebuah lingkungan sosial-politik yang nyaman dan aman bagi pengembangan dirinya dan masyarakatnya.

Bentuk penyikapan itu bisa beragam sesuai tuntutan keadaan, dari membuat pernyataan sikap, membuat opini terbuka, menggalang petisi, hingga menggelar aksi demonstrasi.

Keempat, kaum muda harus terus mengakumulasi pengetahuan dan keterampilan sebanyak-banyaknya, lalu menjadi pembawa obor kemajuan bagi bangsanya.

Yang terakhir, kaum muda mulai harus memikirkan bentuk perjuangan politik yang strategis. Tidak bisa lagi suara kaum muda dititipkan pada partai-partai yang ada di parlemen sekarang ini. Sebab, partai-partai itu tak lebih dari perkumpulan tradisional, yang tata-kelola organisasinya tidak demokratis, berpusat pada satu tokoh besar, dan patron-klien.

Partai-partai itu hanya jadi kendaraan bagi elitnya untuk memenangkan kepentingan pribadi dalam pasar politik Indonesia. Makanya, partai itu tidak pernah peduli dengan isu-isu sosial yang berkembang di masyarakat maupun global.

Kaum muda perlu mendukung upaya pembangunan partai alternatif, sebuah partai baru yang dikelola secara demokratis, modern, dan punya keberpihakan pada isu-isu sosial. Partai yang senapas dengan perkembangan zaman dan bertekad kuat membangun masa depan Indonesia dan dunia yang lebih baik.

NUR ROHMAN, penulis, tinggal di Yogyakarta

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid