RKUHAP Disahkan,Ketika Negara Mengaku Mendengar, Tapi Tuli Pada Rakyat

DPR bilang mereka menerima 99,99 persen masukan masyarakat sipil. Angka yang nyaris sempurna, persis seperti brosur sabun pemutih yang menjanjikan “hampir tanpa noda”. Klaim itu terdengar heroik kalau saja tak berbanding terbalik dengan jeritan panjang organisasi HAM, advokat, dan kelompok perempuan yang sejak awal meminta draf ini ditunda, dibuka, dan tidak dipaksa diselesaikan sebelum napas publik habis. Tapi, seperti biasa, suara yang masuk bukan berarti suara yang didengar. Kadang hanya dicatat untuk formalitas, lalu dimasukkan ke laci, dengan label kecil bertuliskan “masukan”.


RKUHAP yang baru disahkan ini membawa janji “modernisasi hukum acara pidana”. Sayangnya, modernisasi versi negara justru menghidupkan kembali “kewenangan super” aparat penegak hukum mulai dari undercover buy, controlled delivery, penyadapan yang samar aturannya, sampai definisi “mengamankan” tersangka yang begitu lentur seperti karet gelang murahan. Lentur tapi tetap bisa menyakitkan bila mengenai tangan rakyat kecil.


Dalam logika hukum progresif, KUHAP seharusnya melindungi dua hal: rakyat dari sewenang-wenang aparat, dan negara dari penyalahgunaan kekuasaan. Namun RKUHAP ini justru menebalkan yang kedua dan mengaburkan yang pertama. Apalagi ketika hak-hak korban hanya menjadi catatan dekoratif: ada tapi tidak kuat, hadir tapi tak jelas siapa yang bertanggung jawab memenuhi.


Lalu bagaimana dengan perempuan?
Perempuan: Sekali Lagi Jadi Lapisan Paling Rapuh di Antara Pasal dan Kekuasaan
Perempuan selalu berada di titik paling rentan setiap kali negara memperluas kewenangan pemaksaan hukum. Ada alasan jelas:

  1. Overkriminalisasi Moral di KUHP + Represi Prosedural di RKUHAP = Perempuan Dikepung dari Dua Arah
    KUHP baru sebelumnya sudah menghadirkan pasal-pasal moralitas yang absurd:
    kriminalisasi kohabitasi (hidup bersama tanpa nikah),
    pembatasan kontrasepsi,
    pengaturan tubuh dan seksualitas yang memukul perempuan paling keras.
    Lalu RKUHAP memberi alat—alat yang bisa digunakan aparat untuk memantau, menggeledah, menahan, menyadap, bahkan “mengamankan” tanpa standar yang ketat.
  2. Satu tangan negara membuat banyak hal dianggap “pidana”; tangan lainnya memberi aparat alat untuk masuk kapan saja ke ruang privat warga. Yang terhimpit? Selalu perempuan: ibu tunggal, perempuan miskin, perempuan desa, perempuan muda yang hidup mandiri. Operasi Undercover & Penyadapan adalah Mimpi Buruk bagi Kelompok Rentan Ketika aparat boleh melakukan operasi terselubung untuk berbagai tindak pidana, siapa sasaran empuknya? Bukan koruptor miliaran; mereka kebal. Yang rentanlah yang kena duluan: perempuan pedagang kecil, perempuan pekerja informal, perempuan migran, perempuan muda yang keliru berada di “tempat yang salah”. Operasi penyadapan yang tak diawasi ketat juga membahayakan aktivis perempuan, jurnalis perempuan, dan para pekerja bantuan hukum yang selama ini ikut mengungkap kekerasan terhadap perempuan. Negara bisa memantau jauh sebelum mereka bersuara.
  3. Kekerasan Seksual? Masih Jadi Catatan Kaki! Komnas Perempuan sudah mengingatkan: perlakuan terhadap korban perempuan dalam proses hukum masih tidak jelas. Masalah klasik seperti:
    pemeriksaan tanpa petugas perempuan, minim pendampingan psikologis, standar pembuktian yang membebani korban, dan definisi “tidak berdaya” yang kacau, tidak benar-benar diperbaiki. RKUHAP ini tidak cukup menjamin bahwa perempuan yang melapor tidak justru menjadi tersangka baru, sesuatu yang sering terjadi.
  4. Kemiskinan Struktural Membuat Perempuan Tak Punya Ruang Bernegosiasi Perempuan yang hidup dalam kemiskinan akan menghadapi risiko lebih besar: lebih mudah ditangkap, lebih mudah disalahkan, lebih mudah masuk penjara karena tidak mampu membayar denda atau bantuan hukum. Negara menambah pidana, tapi tidak menambah jaring pengaman sosial. Dengan kata lain, RKUHAP adalah hukum acara untuk negara yang kuat, bukan untuk rakyat yang rapuh. Pada Titik Ini, Kita Harus Bertanya: Untuk Siapa RKUHAP Ini Dibuat?

Apakah untuk rakyat yang katanya menjadi “pemilik kedaulatan”?
Atau untuk memuluskan kewenangan aparat agar kritik sosial lebih mudah dibungkam?
Kita tahu jawabannya.
Hukum yang baik melindungi—bukan menghukum berlebihan.
Hukum yang baik membebaskan bukan memenjarakan pilihan hidup.
Dan hukum yang manusiawi mestinya membuat perempuan lebih aman bukan lebih takut setiap membuka pintu rumah.


Akhirnya;
Ketika Negara Diperkuat, Rakyat Dipersempit
Perempuan kembali berada di garis depan kesempitan ini:
ditagih moralitas oleh KUHP,
ditodong prosedur represif oleh KUHAP.
Di negara yang gemar mengklaim “99,99 persen mendengarkan rakyat”, perempuan justru hanya didengar sebesar 0,01 persen yang tersisa—itu pun kalau beruntung.

Emma Wijayanti, Penulis tinggal di Kendal, Acapkali memerhatikan sekitar terutama issue kesetaraan gender dan keseharian.

[post-views]