Revolusi Di Rojava

Rojava, yang berarti ‘Kurdistan Barat’ atau ‘Kurdistan Suriah’, mungkin tidak begitu familiar di telinga kita. Namun, siapa siangka, sebuah revolusi sedang terjadi di sana.

Revolusi di Rojava memang tidak begitu gegap-gempita. Ia kalah riuh oleh hebatnya perang saudara yang sedang merobek-robek Suriah. Ia juga tertutup oleh massifnya pemberitaan mengenai sepak terjang Negara Islam di Irak dan Suriah (ISIS).

Namun, revolusi di Rojava adalah semacam oase baru di tengah masyarakat timur-tengah yang masih dicekik oleh despotisme dan imperialisme. Ia bisa menjadi mercusuar yang menerangi jalan pembebasan bagi bangsa-bangsa lainnya di kawasan Timur Tengah.

Revolusi di Rojava berbeda jauh dengan pemberontakan massa yang juga menyapu negara-negara Arab dalam beberapa tahun terakhir, seperti Tunisia, Mesir, Libya, Suriah, Bahrain, dan lain-lain. Pemberontakan di negara-negara itu, karena tidak punya organisasi, tidak punya proyek masa depan, dan tidak digardai oleh gerakan massa yang terorganisir, banyak yang disusupi oleh agenda dan kepentingan imperialis.

Jalan Panjang Penindasan

Kurdi adalah bangsa yang bernasib tragis. Kendati termasuk bangsa besar, dengan populasi sekitar 35-40 juta jiwa, tetapi tidak punya negara. Sejak keruntuhan Turki Ottoman oleh kolonialis Inggris dan Perancis, Kurdistan terbagi-bagi ke dalam empat negara: Irak, Iran, Suriah, dan Turki.

Rojava adalah orang-orang Kurdi yang mendiami Suriah bagian barat. Antara tahun 1920-1940-an, ketika Suriah diduduki oleh kolonialis Perancis, hak-hak bangsa Kurdi tidak diakui. Situasi itu tidak banyak berubah pasca Perancis meninggalkan Suriah pada tahun 1946.

Ketika Suriah memproklamirkan kemerdekaan di tahun 1946, bukan berarti bangsa Kurdi turut mencicipinya. Orang-orang Kurdi tetap dianggap sebagai “bangsa pendatang”. Dan, sebagai konsekuensinya, mereka tidak punya hak sebagaimana bangsa merdeka lainnya di dunia ini.

Situasinya juga tidak berubah ketika rezim Bath, yang mengklaim dirinya sebagai nasionalis Arab, merebut kekuasaan politik di Suriah pada tahun 1960-an. Orang-orang Kurdi di Suriah sulit bertemu dengan saudara sebangsa mereka di Turki. Tak hanya itu, bahasa Kurdi dilarang. Anak-anak Kurdi di sekolah tidak diperkenankan mempelajari bahasa ibu mereka. Identitas yang berbau Kurdi juga banyak yang dicekal.

Berkobarnya Revolusi

Perjuangan rakyat Rojava sudah berlangsung lama. Nah, di tahun 2003 lalu, sebagai kristalisasi dari jalan panjang perjuangan itu, berdirilah Partai Serikat Demokratik (PYD). Partai berhaluan marxis ini adalah ‘saudara kembar’ dari Partai Pekerja Kurdistan (PKK) yang berpusat di Turki.

PYD punya sayap bersenjata yang disebut Unit Pertahanan Rakyat (YPG). Sebagai unit pertahanan rakyat, YPG merekrut pemuda atau warga di setiap desa/kampung. Tidak ada jumlah pasti mengenai jumlah pejuang YPG. Di wikipedia disebut jumlah pejuang mereka antara 45 ribu hingga 50 ribu orang. Sementara sumber lain menyebut kisaran 15.000 orang.

Perlawanan pertama di Rojava bermula di tahun 2004. Saat itu, di kota Qamishli, terjadi protes besar menentang rezim Bashar Al-Assad. Pemicunya adalah pertandingan sepak bola. Saat itu suporter Arab menaikkan poster bergambar Saddam Husein. Tindakan itu dianggap merendahkan orang-orang Kurdi. Kerusuhan suporter pun tidak terhindarkan. Tetapi, kemudian, kerusuhan ini merambat menjadi politis: kantor partai Ba’ath setempat dibakar. Tak hanya itu, demonstran juga meneriakkan slogan anti-Assad. Aparat keamanan menggunakan tank dan helikopter untuk menumpas perlawanan itu. Sebanyak 30 orang Kurdi tewas.

Segera setelah kejadian itu, PYD sadar bahwa perjuangan mereka tidak bisa dengan jalan damai. Mereka harus punya alat pertahanan untuk membela diri. Akhirnya, dibentuklah unit pertahanan rakyat (YPG) untuk melindungi rakyat dari serangan tentara pemerintah maupun milisi-milisi reaksioner.

Ketika protes anti-Assad meletus di tahun 2011, rakyat di Rojava juga turun ke jalan-jalan. Demonstran meneriakkan slogan: “azadî!”—dalam bahasa Kurdi, azadî berarti kemerdekaan. Bahkan, di awal-awal protes anti-Assad, hari besar protes dinamai “azadî Friday”.

Sejak tahun 2011, Suriah terjerembab dalam perang saudara: rezim Bashard Al-Assad versus oposisi (Tentara Pembebasan Suriah/FSA dan milisi fundamentalis Front Al-Nusra). Pihak oposisi mendapat dukungan dari negeri-negeri imperialis, terutama Amerika Serikat.

Dalam situasi pelit itu, rakyat Kurdi di Rojava tidak memihak kedua-duanya. Sebaliknya, mereka justru mengembangkan pilihan alternatif: jalan revolusi demokratik.

Bersamaan dengan itu, PYD/YPG melancarkan perang pembebasan. Mereka membebaskan sejumlah kota dan desa-desa Kurdi dari tangan tentara pemerintah, FSA, maupun teroris Front Al-Nusra.

Awalnya, pada bulan Juli 2012, mereka merebut kota Kobane, yang mayoritas penduduknya adalah Kurdi. Bersamaan dengan itu rakyat setempat mengambil kontrol terhadap institusi resmi. Tak hanya itu, mereka juga menyita tanah-tanah pertanian yang sebelumnya diambil paksa oleh pemerintah Suriah.

Pembebasan kota Kobane menambah semangat dan militansi pejuang PYD/YPG dan rakyat Rojava. Mereka kemudian berhasil merebut kota-kota dan desa-desa lainnya yang sebelumnya dikuasai oleh tentara pemerintah, FSA, ataupun oleh militan Islam (Al-Nusra/ISIS).

Rojava tidak punya daerah (Kanton) otonom: Cizre, Kobane, dan Efrin. Cizre menyatakan otonomi pada 21 Januari 2014, kemudian Kobane pada tanggal 27 Januari 2014, dan selanjutnya Efrin pada 29 Januari 2014.

Konfederasi Demokratik

Saat ini, di kanton-kanton otonom itu, dibentuk semacam pemerintahan rakyat, sebuah model pemerintahan dari bawah, dimana rakyat terlibat penuh dalam berbagai proses perumusan dan pengambilan kebijakan.

Pemerintahan di Rojava mengadopsi konsep Konfederasi Demokratik. Konsep ini mengacu pada gagasan Abdullah Ocalan, pemimpin sekaligus ideolog PKK, yakni sebuah konsep demokrasi yang menyerupai “piramida”, dimana rakyat di akar rumput berdikusi, memberi usulan, dan mengajukan proposal atas persoalan mereka melalui dewan-dewan perwakilan yang ditunjuk.

Konsep ini menolak konsep negara bangsa yang sentralistik dan kapitalistik. Sebaliknya, konsep ini mempromosikan otonomi demokratik yang memungkinkan warga di tingkat lokal (kanton), tanpa memandang suku/etnis, agama, partai, dan lain-lain, terlibat dalam mengatur kehidupan ekonomi, politik, sosial, budaya, dan lain-lain. Setiap daerah otonom punya dewan pemerintahan kolektif dan majelis umum.

Di setiap kanton ada yang disebut “Mala Gel”—semacam dewan lokal—yang sebagian besar aktivitasnya diarahkan oleh Majelis Rakyat/Majelis Umum. Hampir setiap minggu digelar Majelis Umum atau pertemuan terbuka dengan melibatkan rakyat untuk mendiskusikan persoalan mereka dan solusinya.

Nah, setiap kanton otonom di Rojava tunduk pada sebuah kesepakatan—semacam konstitusi—yang disebut “Piagam Kontrak Sosial” (The Charter of Social Contract). Kontrak sosial itu, antara lain, mengatakan: “pengembangan produksi dan aktivitas ekonomi harus ditujukan untuk kebutuhan manusia dan kehidupan yang bermartabat.” Semua tanah dan sarana produksi penting di Rojava dimiliki oleh rakyat.

Dalam urusan keamanan, setiap komunitas atau teritori mengorganisir pertahanan sendiri. Sebagian besar membentuk unit-unit pertahanan rakyat (YPG). Mereka bertanggung-jawab melindungi rakyat dan pemukiman dari ganggungan, sabotase, ataupun serangan militer dari luar.

Perempuan Di Garis Depan

Kaum perempuan terlibat aktif, bahkan berada di garis depan, dalam proses revolusi di Rojava. Mereka tidak hanya berada di garis depan dalam berbagai aksi massa, tetapi turut memanggul senjata untuk melawan musuh-musuh revolusi.

Wakil Ketua Partai PYD adalah perempuan: Asya Abdullah. Ia sudah terlibat cukup lama dalam perjuangan rakyat di Rojava. Sekitar 30% pejuang YPG adalah perempuan. Bahkan, sejak tahun 2013 lalu, kaum perempuan membentuk unit pertahanan sendiri, yakni Unit Pertahanan Perempuan (YPJ).

“Perempuan berada di garis terdepan dalam revolusi di Rojava. Tidak seorang pun yang menyangkal ini. Dalam politik, diplomasi, pertempuran, dalam menghadapi masalah sosial, dalam memberikan pelayanan sosial, dan dalam pembentukan masyarakat baru,” kata Asya Abdullah.

Revolusi di Rojava tidak hanya melibatkan perempuan Kurdi, tetapi juga perempuan Arab, Assyria, Persia, Nasrani, dan lain-lain. Akademi perempuan juga sudah didirikan untuk makin mendorong keterlibatan perempuan dalam aktivitas revolusioner.

Untuk diketahui, sejak revolusi bergelora, sekitar 75% perempuan Rojava mulai terpolitisasi dan teroganisasi dalam organisasi-organisasi massa. Dalam setiap aksi massa, ibu-ibu dan kaum perempuan selalu berada di barisan terdepan.

Tantangan Revolusi

Revolusi di mana-mana, karena berusaha meruntuhkan tatanan masyarakat lama dan membangun masyarakat baru, selalu mendapat perlawanan dari kelas yang selama ini menikmati hak istimewa di masyarakat lama.

Begitu juga revolusi di Rojava. Revolusi di Rojava adalah mercusuar yang bisa menerangi jalan pembebasan bagi bangsa Kurdistan di tempat lain, seperti di Irak, Iran, dan Turki. Dia juga bisa menjadi inspirasi bagi bangsa-bangsa Timur Tengah lainnya untukk keluar dari penindasan despotisme dan imperialisme.

Karena itu, rezim-rezim despotis di Amerika Latin, seperti rezim Erdogan/AKP di Turki, tidak akan membiarkan revolusi Rojava bertahan lama. Tidak bisa disangkal, rezim Erdogan di Turki sangat aktif membantu para militan islamis untuk mengepung dan melemahkan revolusi di Rojava.

Rezim Bashar Al-Assad juga tentu tidak rela dengan revolusi di Rojava. Hanya saja, rezim Al-Assad sedang dipusingkan dengan perang melawan kekuatan imperialis dan agen-agen lokalnya (FSA/Front Al-Nusra/ISIS).

Untuk diketahui, sekitar 60% kekayaan minyak Suriah terletak di Rojava. Dengan begitu, rezim di Suriah tidak akan rela begitu saja membiarkan Rojava merdeka. Selain itu, potensi minyak yang besar itu juga membuat negeri-negeri imperialis tergiur untuk mencaplok dan menguasainya.

Saat ini, rezim di Turki, Suriah, dan kurdistan di Irak (pemerintahan regional Kurdistan Irak/KRG) melakukan blokade ekonomi untuk mengisolir dan melemahkan revolusi di Rojava. Tak hanya itu, Turki dan Kurdistan Irak juga mencegah bantuan kemanusiaan yang menuju ke Rojava.

Namun, bahaya terbesar yang kini di depan mata adalah militan islam: Front Al-Nusra dan ISIS. Kedua kelompok ini punya kaitan dengan jaringan teroris Al-Qaeda. Sejak April 2013 lalu, ISIS mulai menyerang orang-orang Kurdi di Efrin, Kobane dan Cizire. ISIS dan Front Al Nusra membantai, mengebom, menculik, dan memperkosa perempuan Kurdi.

Inilah tantangan revolusi di Rojava. Saya kira, dukungan dan solidaritas internasional diperlukan untuk mematahkan blokade dan politik isolasi yang dilakukan rezim-rezim despotis dan kekuatan imperialis terhadap Rojava.

Sejauh ini, dukungan internasional untuk Rojava datang masyarakat Kurdi di Eropa, Partai Pekerja Kurdistan (PKK), dan partai-partai komunis dan kiri di sejumlah negara. Partai Rakyat Demokratik (HDP) Turki dan Partai Demokrasi dan Perdamaian (BDP) Turki juga banyak membantu revolusi di Rojava. Dukungan juga datang dari Angkatan Bersenjata Revolusioner (FARC) Kolombia, Republiken Irlandia, kaum revolusioner Basque, dan gerakan Tamil.

Raymond Samuel, kontributor Berdikari Online

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid