Makan Bergizi Gratis (MBG) merupakan program prioritas Kabinet Merah Putih Prabowo-Gibran. Program ini sebagai bentuk solusi dari permasalahan kekurangan gizi (stunting dan wasting) yang masih mengkhawatirkan. Berdasarkan hasil Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) tahun 2024, presentase balita stunting adalah 19,8% atau setara dengan 4,5 juta balita, sementara wasting ada diangka 7,4% atau sejumlah 1,7 juta balita. Selain untuk balita, MBG ditujukan bagi anak usia sekolah dan ibu hamil. Penetapan prioritas sasaran dikarenakan masih banyaknya permasalahan gizi di Indonesia khsusnya balita, anak usia sekolah, dan ibu hamil sesuai dengan hasil Survei Kesehatan Indonesia (SKI) tahun 2023. Pemerintah menargetkan 92,8 juta penerima manfaat MBG hingga 2029 nanti, yang mencakup 19,9 juta balita, 65,6 juta anak sekolah 7,3 juta Ibu hamil dan menyusui. Pemerintah yakin program ini dapat mengurangi stunting dan masalah gizi pada anak usia dini, mendorong kehamilan yang lebih sehat dan perbaikan gizi ibu, serta meningkatkan status gizi dan capaian belajar anak usia sekolah.
Untuk pertama kalinya, realisasi program MBG dimulai di 190 titik yang tersebar di 26 provinsi di Indonesia pada 6 Janurari 2025. Sistem pelaksanaan MBG diserahkan oleh masing-masing daerah. Kegiatan produksi dan distribusi MBG dilakukan oleh Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) atau Dapur MBG yang bermitra dengan pemerintah. Makanan yang disajikan dalam program ini dipastikan memenuhi gizi seimbang yang terdiri dari karbohidrat, protein, lemak, dan vitamin. Di berbagai daerah, siswa menyambut program ini dengan antusias. Program ini diharapkan dapat meningkatkan konsentrasi belajar siswa, menunjang pertumbuhan yang lebih sehat, serta mengurangi angka malnutrisi di kalangan pelajar. Selain bertujuan mengatasi permasalahan gizi anak usia sekolah, program MBG diharapkan dapat meningkatkan perekonomian masyarakat dengan memberdayakan dapur lokal dan menyerap produk pangan dari daerah. Pemerintah juga berharap adanya program ini bisa membuka lapangan kerja baru di setiap daerah.
Pendistribusian MBG menyasar sekolah dari jenjang TK, SD, SMP, hingga SMA. Sejak diluncurkan hingga saat ini, pelaksanaan MBG tidak lepas dari hambatan dan tantangan yang terjadi. Sebagai seorang yang bekerja di sekolah penerima MBG tentunya merasa senang karena bisa melihat kebahagiaan siswa ketika merasakan program MBG sejak bulan April lalu hingga saat ini. Sekolah kami termasuk sekolah awal yang menerima MBG di antara sekolah-sekolah lain se-kabupaten (salah satu kabupaten di DIY). Setiap harinya Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) mengantarakan sekitar 385 paket MBG dengan menu yang berganti setiap harinya. Menu yang disajikan pun cukup memenuhi gizi, meskipun terkadang ada hal yang perlu diperbaiki baik dari segi cara pengolahan maupun rasa agar tidak terbuang sia-sia.
Program MBG dari hari dari Senin-Jumat ternyata belum dirasakan oleh semua sekolah. Dalam lingkup kecamatan saja, hanya 1 dari 8 jenjang Sekolah Menengah Pertama (SMP) yang sudah menerima MBG di bulan April. Hal ini menjadi kebahagiaan bagi sekolah penerima, tetapi bisa memunculkan kecemburuan sosial bagi sekolah yang belum menerima. Transparansi bagaimana penentuan sekolah yang menerima MBG juga abu-abu. Tidak ada indikator resmi berdasar atas apa sekolah bisa menerima MBG. Kesenjangan ini menjadi topik perbincangan hangat di masyarakat, khususnya para siswa dan orangtua. Bagaimana bisa sekolah A sudah menerima MBG hampir 2 bulan, sedangkan sekolah A, C, dan lainnya belum sama sekali.
Dalam pelaksanaan program Makan Bergizi Gratis (MBG), alangkah baiknya jika aspek pemerataan distribusi lebih diperhatikan secara serius. Saat ini, pendistribusian yang dilakukan setiap hari justru dapat menimbulkan kejenuhan bagi siswa, serta berpotensi menimbulkan kecemburuan antar sekolah jika pelaksanaannya belum menyentuh seluruh satuan pendidikan di wilayah kecamatan secara merata. Oleh karena itu, pendistribusian MBG sebaiknya dijadwalkan dengan lebih teratur dan adil, misalnya dengan membagi jadwal penerimaan secara bergilir. Satu sekolah bisa menerima program ini sebanyak dua hingga tiga kali dalam sepekan, bukan setiap hari. Selain menghindari kejenuhan, skema ini memungkinkan lebih banyak sekolah untuk turut merasakan manfaat MBG secara bergantian. Pemerataan ini tidak hanya akan memperluas dampak program, tetapi juga memperkuat rasa keadilan dan inklusivitas di kalangan siswa dan sekolah.
Pemerintah perlu melakukan refleksi perjalanan program MBG 6 bulan ini demi perbaikan kualitas dan pemerataan distribusi. Tujuannya bukan semata-mata untuk melanjutkan program, tetapi untuk memastikan bahwa MBG benar-benar menjadi solusi jangka panjang bagi peningkatan gizi dan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh kelompok sasaran.
Octavia Wulandari


