Di Gerbang Pabrik
kemari, kawan!
ini pabrik kita yang punya
delapan jam bekerja—setengah jam kita dibayar
berpuluh tahun begitu saja
di sini, kawan!
di gerbang pabrik kita tanggal gentar yang mengeram
dapat SP atau PHK mungkin-mungkin saja
aparat dan preman menghajar, bisa-bisa saja
karena ini memang zaman susah
tapi tak lawan kawan tambah susah
kemari, kawan!
sebelum pabrik ini membangkai
lalu kita melapuk dalam kubang gulita tanpa kerja
kau pasti tak ingin pulang,
tanah di desa sudah habis terjual
dari sini, kawan!
di gerbang pabrik kita berkumpul
presiden atau orang DPR tak akan menjemput
mereka sedang hitung BBM naik tahun depan
hanya aparat yang selalu menunggu
tapi sekali mengayun langkah
mau di senayan ataupun gambir
kita mesti bertempur!
(Jakarta, 28 Desember 2005)
Api Pejuang
menyulut di lahan
entah kering,
lembab,
atau kadang teruji pada basah
biarkan terbakar sampai selesai
12/10/2009
Hari Ini
pesan/curhat kawan a kepada kawan r
r, kawanku terbaik
bagaimana penilaianmu
pada duniaku
hari ini
kau lihat, segalanya telah kutaruh
sebagai jamin atas kayuh biduk setengah mati
sarat termuat harapan
dan cita untuk berbakti
apa yang masih dihargai
di atas dunia yang tak berhati
r, jangan dulu kau potong aku!
bukan jejak sesal yang kucari di jalan hidup
karena t’lah banyak yang kulewati
dan selalu kau maafkan kawanmu ini
r, kau dengar, gemetar aku menengak pil getir dunia
berjibaku diri lari mengejar arti
hingga aku terperangkap di sini
r, ini pasti menjengkelkanmu
jangan lagi kau marahi aku
ceritakan saja cemasmu
(2009)
hari depan
balasan/hiburan kawan r untuk kawan a
a, kawanku tersayang
memang aku punya kecemasan
tak banyak bila kau tanya apa
karena kau tau apa yang kupunya
dan bila kau kejar apa,
maka satu terlintas
adalah kau
cemas bila kau tak bergeming,
membiar hati terkabut sangka
mata terbeku buruk rupa hari depan
cemas itu kian meng-kau
a, aku juga masih coba pahami dunia
kita bukan jagoan
juga bukan pecundang
kita bukan peramal
juga bukan sok amal,
siapa tahu masuk surga
a, kita berada di jalan air sejarah
yang mengalir dan menderas
kadang kita berderap di baris depan
sambil berpaling jauh ke belakang
mencari wujud hari depan
kontras dari bayangan kelam
kadang kita terseret di tengah arus
yang bergemuruh sampai berhenti sendiri
di sini temukan diri melaju kencang
sepi di hari depan
tapi senyum terenggut dari wajahmu
a, kutahu kau tak cukup senang
kita terus bergulat dengan kata
tapi biarkan kali ini kutinggalkan tenang
ada di dekatmu
seorang kan temukan kembali
di keriput senyummu
saat kembali meriak bersemangat
jadi tawa
2009
bersama si mabuk di suatu waktu
buat X
waktu si mabuk mengguncang kepalaku
aku jatuh lunglai di kakimu
tubuh semampai
dengan buah dada setengah matang
entah berapa kali panen
kutatap matamu yang gelisah
seperti tubuhku yang nanar
malam itu
berlimbah debu adalah kehidupan kita
hingga kau bertanya
kapan ini akan berganti
engkau muda belia
jawabku
24/09/2009
DOMINGGUS OKTAVIANUS:
Lahir di Atambua, Nusa Tenggara Timur (NTT), 30 Oktober 1977. Tinggal di Jakarta sebagai aktivis buruh dan menjadi kontributor tulisan untuk beberapa media online. Ia juga merupakan kader Partai Rakyat Demokratik (PRD) dan menjadi salah satu pimpinan nasionalnya. Antologi puisi berjudul “Kawan dan Berlawan” adalah buku pertamanya, yang diterbitkan 2010 oleh Jaringan Kerja Kebudayaan Rakyat (Jaker)

