Salah satu aspek penting dari upaya mencerdaskan kehidupan bangsa adalah memastikan pendidikan bisa diakses oleh seluruh rakyat tanpa terkecuali. Artinya, tidak boleh seorangpun warga negara tercegat haknya menikmati pendidikan tinggi karena faktor biaya. Namun rupanya ini cuma jadi mimpi yang tak berkesudahan karena pada kenyataannya sampai saat ini negara kita belum sanggup mewujudkannya.
Berdasarkan data yang dirilis Biro Pusat Statistik (BPS), sepanjang tahun ajaran 2022-2023 tercatat angka putus sekolah di Indonesia meningkat dari semua jenjang mencapai 76.834 orang dan 76 persen keluarga mengakui penyebab utama anak mereka putus sekolah karena ekonomi.
Khususnya Pendidikan Tinggi, tahun 2022 tercatat ada 4.004 Perguruan Tinggi; 3.107 di bawah kewenangan Kementerian Pendidikan, Kebudayan, Riset dan Teknologi (kemendikbudristek); terbagi 125 Perguruan Tinggi Negeri dan 2.982 Perguruan Tinggi Swasta; sementara 897 Perguruan Tinggi, di bawah kewenangan Kementerian Agama.
Sekalipun jumlah Perguruan Tinggi meningkat akan tetapi jumlah Angka Partisipasi Kasar (APK) Pendidikan Tinggi kita masih sangat rendah dan merupakan yang terendah di ASEAN yakni 31,16 persen pada tahun 2022; dan belum ada perubahan secara signifikan; bandingkan dengan Malaysia yang sudah 50-60 persen. Artinya, dari jumlah 22,98 juta jiwa penduduk Indonesia yang berusia 19-24 tahun baru 31,16 persen yang berhasil menyentuh bangku Pendidikan Tinggi sementara yang ditargetkan oleh pemerintah (RPJMN) pada tahun 2024 adalah 37 persen.
Pendidikan Tinggi Indonesia juga mengalami inflasi yang tergolong tinggi dalam beberapa tahun terakhir sejak tahun 2020-2023. Biaya pendidikan melonjak naik. BPS mencatat biaya pendidikan naik 10-15 persen setiap tahunnya sedangkan ZAP finance menghitung justru kenaikan biaya pendidikan mencapai 20-40 persen per tahun. Di sisi lain, daya beli rakyat terus merosot. Kendati pemerintah mencoba mengatasi persoalan itu dengan menebar Kartu Indonesia Pintar (KIP), tetapi pada tahun 2023 jangkauannya hanya 44, 928 yang dinyatakan lolos Seleksi Nasional Berbasis Prestasi (SNBP) atau 23, 42 persen dari pendaftaran KIP kuliah jalur SNBP sebanyak 191. 827 orang.
Potret situasi semacam ini tentu saja mengisyaratkan bahwa ada yang tidak beres dari sistem Pendidikan Tinggi kita. Sejak Orde Baru hingga saat ini, sistem Pendidikan Tinggi di Indonesia sudah menghamba pada mekanisme pasar (bisnis).
Banyak Pendidikan Tinggi berdiri hanya sekedar untuk meraup keuntungan mulai dari pungutan biaya pada mahasiswa, kurikulum yang berbasis pasar, hingga jual beli ijazah. Hal ini terjadi karena didukung oleh berbagai regulasi mulai PP No. 61 tahun 1999 tentang Penetapan Perguruan Tinggi Negara sebagai Badan Hukum, kemudian disusul UU No.20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan UU No. 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi hingga turunannya melalui Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan nomor 25 tahun 2020 tentang Standar Satuan Biaya Operasional Pendidikan Tinggi Pada Perguruan Tinggi Negeri Di Lingkungan Kementerian Pendidikan Dan Kebudayaan yang mengangkangi cita-cita kemerdekaan yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 alinea IV dan juga telah diterjemahkan dalam Pasal 31 UUD 1945 tentang Pendidikan.
Pada tahun 2020, melalui Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (kemendikbudristek), Nadiem Makarim telah melakukan terobosan baru tentang merdeka belajar-kampus merdeka. Tentu ini belum mampu menjawab problem Pendidikan Tinggi hari ini.
Regulasi dan konsep merdeka belajar-kampus merdeka hanya mendesak Perguruan Tinggi berubah menjadi “Badan Hukum” yang dikelola layaknya koperasi. Dengan jargon “otonomi”, Perguruan Tinggi dipaksa mandiri termasuk dalam pembiayaan pendidikan. Tentu saja sebagai konsekwensinya, Perguruan Tinggi didorong untuk mencari pembiayaan sendiri melalui pengelolaan dana abadi, pembebanan biaya pendidikan pada mahasiswa, menciptakan Badan Usaha dan membangun kerja sama dengan pihak swasta. Pada intinya, negara pelan-pelan dihilangkan tanggungjawabnya dalam mengurusi pendidikan, termasuk dalam soal pembiayaan
Kita kemudian diperkenalkan dengan sistem Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang mengatur besaran tarif pendidikan setiap mahasiswa disesuaikan dengan kemampuan ekonomi orang tua atau pihak yang menanggung biaya pendidikannya. Walhasil, ada kelas atau pengelompokan tarif pendidikan untuk mahasiswa. Faktanya, selain menciptakan kasta-kasta, UKT juga mendongkrak biaya pendidikan semakin mahal. Tidak heranlah ketika sistem tersebut banyak ditolak oleh mahasiswa di berbagai Perguruan Tinggi di Inddonesia.
Biaya pendidikan yang semakin mahal, mencegat kesempatan rakyat Indonesia untuk mengakses Pendidikan Tinggi. Ini yang membuat angka partisipasi pendidikan tinggi kita tetap rendah meskipun jumlah lembaga pendidikan tinggi sangat banyak di Indonesia. Selain itu, melalui UU Pendidikan Tinggi, Perguruan Tinggi semakin dipaksa mempererat hubungan dengan dunia industri. Tak heran jika kurikulum dan orientasi pendidikan kita semakin “rasa pabrik”. Membaca kenyataan pahit dalam dunia pendidikan kita, tentunya negara harus dipanggil kembali kewajibannya untuk mengurusi penyelenggaraan Pendidikan Nasional mulai dari persoalan pembiayaan, infrastruktur, kurikulum, kelembagaan hingga soal metode pengajaran. Selama syarat-syarat kemajuan itu tidak dilaksanakan, maka cita-cita mencerdaskan kehidupan bangsa tidak akan diwujudkan.
Julfikar Hasan S.Sos
(Alumni Universitas Nuku Kota Tidore Kepulauan)

