Pierre Bourdieu Di Tengah Parade Meme Kemerdekaan

Pada momen sakral menuju 80 tahun kemerdekaan Indonesia, negara kembali menegaskan identitasnya melalui peluncuran logo resmi Hari Ulang Tahun Republik Indonesia (HUT RI). Logo ini bukan sekadar desain grafis—ia adalah simbol kolektif, cerminan sejarah, dan perwujudan aspirasi bangsa.
Namun seperti yang kerap terjadi di era digital, simbol itu justru mengalami reduksi makna saat memasuki dunia digital.

Seketika setelah diluncurkan, media sosial ramai dengan komentar, plesetan, bahkan parodi. Beberapa menyebutnya mirip tokoh kartun Jepang, Perokki. Sebagian lain mengaitkannya dengan desain visual anime atau ikon budaya pop lainnya. Tentu, ini bukan pertama kalinya logo negara menjadi bahan candaan. Tapi reaksi ini memperlihatkan sesuatu yang lebih dalam: relasi antara simbol, negara, dan publik digital yang semakin cair.

Dalam dunia digital yang demokratis, komentar dan candaan semacam itu tentu bagian dari kebebasan berekspresi. Namun, apakah semua kebebasan itu aman dari etika? Atau apakah semua tafsir publik bisa serta-merta menjadi legitimasi untuk merendahkan simbol resmi negara? Di sinilah Pierre Bourdieu bisa membantu kita menavigasi parade meme ini.

Bourdieu menjelaskan bahwa simbol adalah bentuk kekuasaan yang paling halus. Dalam catatannya “ Language and Symbolic Power ,” ia menyebut simbol sebagai instrumen kekerasan simbolik, yakni kekuasaan yang tidak dirasakan sebagai kekuasaan. Dengan kata lain, negara kerap menggunakan simbol – mulai dari bendera, lambang, hingga logo peringatan nasional untuk mereproduksi legitimasi dan membentuk perasaan kolektif sebagai bangsa.

Namun berbeda dalam konteks logo HUT ke-80 Republik Indonesia kali ini, yang terlihat malah kebalikannya. Kekerasan simbolik justru dilakukan oleh publik kepada simbol negara. Perlakuan ini memang tidak melalui senjata, merusak logo atau tindakan represif lainnya, tapi lewat meme, sindiran, bahakan pembajakan makna dan filosofisnya. Di Tik-Tok, misalnya, logo ini diubah menjadi kartun lucu karakter Perokki. Di X (Twitter), ia dijadikan bahan plesetan. Pertanyaanya apakah dengan riuh parade itu negara akan menindak semua pembuat meme itu? Tentu tidak. Dan memang tidak seharusnya begitu.

Dalam kerangka teori Bourdieu, simbol bukan sekadar bentuk visual, tapi bagian dari medan pertarungan kuasa. Ketika negara merilis logo resmi, itu adalah upaya menyusun struktur makna yang ingin disepakati bersama. Namun dalam masyarakat digital yang bebas tafsir, logo justru menjadi objek dari kekerasan simbolik yang berbalik arah — dari publik ke negara. Meme dan sindiran yang tak proporsional bisa menjadi cara halus merendahkan otoritas simbolik tanpa disadari. Dan disinilah kekhawatiran etis perlu disuarakan. Bukan karena negara rapuh, melainkan sebuah keharusan menjaga martabat bersama.

Publik hari ini hidup dalam budaya partisipatif, di mana setiap simbol resmi bisa “ditafsir ulang” secara bebas. Di satu sisi, ini adalah manifestasi kebebasan berekspresi. Namun di sisi lain, kebebasan ini juga bisa menjadi alat delegitimasi simbol negara jika dilakukan secara masif dan tidak proporsional.

Yang lebih menarik, respons pemerintah terhadap fenomena ini tidak menunjukkan kepanikan. Tidak ada upaya pembatalan atau revisi logo. Justru sebaliknya, logo itu sudah resmi diluncurkan oleh Presiden Prabowo Subianto—menunjukkan bahwa negara tetap percaya diri dengan simbolnya, terlepas dari dinamika di ruang digital. Sikap ini layak diapresiasi.

Tentu, bukan berarti publik tak boleh mengkritik atau bersuara. Namun penting bagi kita semua untuk memahami konteks: logo kemerdekaan bukanlah produk iklan atau konten komersial. Ia adalah simbol negara. Membicarakannya secara kritis tentu sah, namun menjadikannya bahan olok-olok tanpa dasar bisa jadi kontraproduktif bagi semangat kebangsaan. Dan lagi itu bukanlah kritik yang konstruktif. Itu justru mencerminkan (maaf) kedangkalan nalar kita yang terjebak pada budaya lelucon instan.

Dan di tengah parade meme dan candaan publik atas simbol negara, Bourdieu seakan hadir mengingatkan kita: jangan-jangan yang sedang berlangsung adalah bentuk baru dari kekerasan simbolik—di mana kekuasaan budaya didistribusikan lewat likes, retweet, dan komentar sarkas yang membentuk opini dominan. Maka dari itu, penting bagi negara untuk tidak sekadar ‘melawan meme’, tetapi memperkuat wibawa narasi resminya dengan cara yang komunikatif dan imajinatif.

Pada akhirnya, di tahun ke-80 kemerdekaan ini, kita dihadapkan pada tantangan baru: bagaimana menjaga kehormatan simbol negara di tengah budaya digital yang hiperaktif? Jawabannya tidak bisa hitam-putih. Tapi setidaknya, kita bisa mulai dengan satu kesadaran: bahwa merdeka bukan hanya soal bebas bersuara, tapi juga tentang bijak memaknai simbol secara bersama.

Semoga pereayaan 80 tahun kemerdekaan Republik Indonesia ini, kita tidak hanya dikenang kerena meme yang viral, tetapi juga karena kematangan kita dalam merawat simbol-simbol kebangsaan.

 MERDEKA!!!

Nurmawan Pakaja

[post-views]