Pernikahan usia dini di Indonesia perlu mendapat perhatian serius. Pasalnya, angka pernikahan usia dini di Indonesia masih terbilang sangat tinggi.
Catatan World Fertility Policies United Nations 2011 menempatkan Indonesia di urutan ke-37 dari 73 negara. Sedangkan di Asia Tenggara, Indonesia merupakan yang terbesar kedua setelah Kamboja.
Sementara data penelitian Pusat Kajian Gender dan Seksualitas Universitas Indonesia tahun 2015 menyebutkan, sekitar 2 juta perempuan Indonesia usia di bawah 15 tahun sudah menikah dan putus sekolah. Angka itu diperkirakan meningkat menjadi 3 juta orang pada 2030.
Padahal, pernikahan usia dini di kalangan anak-anak/remaja rentan membawa banyak masalah, seperti hilangnya kesempatan pendidikan anak, terganggunya kesehatan reproduksi, kekerasan dalam rumah tangga, penelantaran ekonomi, dan anak perempuan harus menjadi orang tua tunggal setelah perceraian
“Perkawinan anak rentan perceraian karena belum matangnya mental/psikologis sebagai pasangan suami/istri dan orangtua,” kata aktivis Kalyanamitra, Listyowati, dalam Seminar Nasional bertajuk Praktik Perkawinan Anak: Mematikan harapan dan Cita-cita Generasi Muda di Indonesia di Jakarta, Kamis (18/2/2016).
Menurut dia, perkawinan anak marak terjadi karena adanya anggapan bahwa perkawinan anak boleh dilakukan untuk menghindari terjadinya pergaulan bebas di kalangan remaja dan menghindari fitnah serta zina.
“Ada yang terlupakan di sini yaitu bahwa yang menjadi pasangan dalam kasus perkawinan anak tidak selalu sesama anak-anak tetapi juga banyak kasus justru pasangan, yaitu suami, adalah orang dewasa. Maka sebenarnya pendapat tersebut adalah keliru,” jelasnya.
Dia menjelaskan, perkawinan anak bukanlah solusi untuk menghindari terjadi seks bebas dan kehamilan yang tidak diinginkan. Sebaliknya, kata dia, yang diperlukan adalah pendidikan seks komprehensif atau kesehatan reproduksi di usia anak dan remaja.
Selain itu, lanjut dia, perkawinan usia anak marak di Indonesia karena adanya kebijakan pemerintah atau peraturan perundang-undangan yang “melegalkan” perkawinan anak, yakni UU Pekawinan Nomor 1 tahun 1974.
Kemudian, dia melanjutkan, interpretasi agama yang tekstual, bahwa setiap perempuan yang sudah mendapatkan menstruasi siap untuk dinikahkan, juga berkontribusi pada maraknya pernikahan usia dini.
“Inilah yang menjadi acuan banyak pihak terkait maupun masyarakatnya sendiri untuk tetap melakukan praktik perkawinan anak tanpa mempertimbangkan hak anak atas pendidikan, kebebasan memilih, rasa aman dan nyaman,” tandasnya.
Listyowati menyoroti adanya kontradiksi dalam sistem perundangan-undangan di Indonesia terkait dengan terminologi batas usia anak. Di dalam UU Perkawinan No 1 Tahun 1974 menggunakan batas usia 16 tahun bagi perempuan dan 18 tahun baik laki-laki. Sedangkan dalam UU Perlindungan Anak No 23 Tahun 2012 disebutkan bahwa batas usia anak adalah 18 tahun.
“Celakanya hal ini tidak menjadi area yang harus didiskusikan, tetapi pihak-pihak yang berkepentingan mengambil batas usia anak sesuai kebutuhan,” imbuhnya.
Karena itu, dia mendesak Pemerintah dan DPR RI merevisi UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dengan menetapkan usia minimum perkawinan yang sama bagi perempuan dan laki-laki, yaitu minimum 19 tahun, disertai sanksi yang tegas bagi pelaku perkawinan anak.
Lebih lanjut, dia juga menghubungkan antara perkawinan anak dan tingginya Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia. Merujuk pada Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia yang dilakukan pada tahun 2012, jumlah kelahiran selama masa remaja (berusia 15 sampai 19 tahun) adalah 48/1.000 kelahiran.
“Dan ini amat beresiko tinggi terhadap terjadinyan kematian ibu dan bayi. Artinya, praktik perkawinan anak juga berkontribusi terhadap tingginya AKI di Indonesia,” paparnya.
Siti Rubaidah
- Fascinated
- Happy
- Sad
- Angry
- Bored
- Afraid