Omnibus Law: Setelah Banjir Investasi, Rakyat Dapat Apa?

Rancangan Undang-Undang (RUU Cipta Kerja), yang terdiri dari 79 UU dan menyasar 11 klaster itu, sebetulnya sebuah pertaruhan besar. Pemerintah sangat yakin, setelah RUU ini berlaku, Indonesia akan banjir investasi.

Lalu, setelah banjir investasi, roda-roda kereta ekonomi pun akan melaju kencang. Lapangan kerja meluas, produksi merangkak naik, ekspor pun meningkat, pendapatan bertambah, dan ekonomi tumbuh tinggi.

Dan puncak dari mimpi itu, pada 2045: Indonesia akan menjadi negara maju. Bersamaan dengan itu, ekonomi Indonesia masuk 5 besar dunia, tingkat kemiskinan mendekati 0 persen, dan PDB per kapita kita jadi: Rp 27 juta.

Sungguh mimpi yang mulia. Tapi, sayang seribu kali sayang, penghambaan terhadap investasi tak banyak yang berujung surga. Tak sedikit yang berakhir dengan cerita pahit dan gigit jari. Begitu juga dengan pertumbuhan ekonomi, tak melulu beriringan jalan dengan kemakmuran bersama.

Ironi Pertumbuhan

Tak terpungkiri, sejak Indonesia membuka lebar pintu ekonominya bagi investasi, pertumbuhan ekonomi Indonesia memang melaju kencang. Setidaknya dari zaman Orde Baru hingga sekarang.

Memang, pertumbuhan yang rapuh itu sempat diinterupsi oleh krisis ekonomi tahun 1998. Namun, tak lama setelah itu, ekonomi Indonesia makin dibuka lebar sesuai deal dengan IMF, pertumbuhan ekonomi pun kembali melaju kencang.

Sungguh menakjubkan, sepanjang 2000-2015, ekonomi Indonesia tumbuh rata-rata di atas 6 persen. Indonesia satu-satunya negara Asia Tenggara yang menjadi anggota G-20. Mungkin, prestasi yang mentereng ini membuat sebagian kita akan menepuk dada.

Tapi, tunggu dulu, ada kenyataan pahit yang harus kita terima di balik angka-angka fantastis itu.

Pertama, berdasarkan laporan Bank Dunia tahun 2015, pertumbuhan itu yang sangat tinggi itu hanya dinikmati oleh 20 persen warga negara terkaya. Sementara 80 persen, yang meliputi lebih dari 200 juta warga negara, tetap tinggal dalam kubangan kemiskinan.

Saya tekankan, ini bukan saya yang bilang, tapi berdasarkan laporan Bank Dunia (bisa diunduh di sini).

Kedua, dalam rentang waktu yang sama, ketimpangan ekonomi melebar sangat jauh. Data BPS menyebutkan, rasio gini Indonesia melompat jauh dari 0,30 di tahun 2000 menjadi 0,42 di tahun 2015.

Bersamaan dengan itu, lembaga seperti OXFAM dan Credit Suisse menempatkan Indonesia sebagai negara tertimpang di dunia. OXFAM menempatkan Indonesia di peringkat ke-6 tertimpang di dunia, sedangkan Credit Suisse menaruh Indonesia di peringkat ke-4.

Ketiga, pertumbuhan ekonomi juga tak beriringan jalan dengan penyerapan tenaga kerja. Di tahun 2003, 1 persen pertumbuhan ekonomi bisa menyerap 400 ribu tenaga kerja. Sekarang, penyerapannya hanya 110 ribu tenaga kerja.

Selain itu, kendati investasi tumbuh pesat, tetapi ekonomi Indonesia masih didominasi ekonomi informal. Kontribusi sektor informal terhadap penyerapan tenaga kerja masih mendekati angka 60 persen.

Keempat, pertumbuhan yang digenjot oleh investasi juga berujung pada konflik perampasan sumber daya dan perusakan lingkungan.

Karena investasi butuh tanah, mengeruk bumi, dan merambah hutan, meletuplah banyak kasus konflik agraria. Hampir saban tahun, bila merujuk ke laporan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), konflik agraria itu meningkat.

Jika diakumulasi sepanjang 2015-2019, ada 2050 kasus konflik agrarian di Indonesia, dengan korban terdampak sekitar 913 ribu kepala keluarga.

Seiring dengan pengerukan bumi, pelobangan gunung/bukit, perambahan hutan, yang terkadang tak menghitung daya dukung lingkungan, kita juga makin akrab dengan bencana alam, terutama banjir dan longsor.

Bayangkan, jika RUU Cipta Kerja tak menghitung daya dukung sosial dan lingkungan, kita akan makin sering menyaksikan bencana kemanusiaan akibat perampasan lahan dengan kekerasan dan bencana alam.

Okelah, mungkin ada yang bilang, pertumbuhan ekonomi yang pesat telah mengurangi angka kemiskinan. Lihatlah, kata dia, angka kemiskinan yang terus menurun. Dan, di tahun 2019, angka kemiskinan tinggal 9,22 persen.

Tapi, apa yang disebut tidak miskin itu? Mereka yang hidup di atas garis kemiskinan: Rp425.250,-/kapita/bulan. Sekarang coba hitung, kalau ada keluarga beranggotakan 4 orang, bisa nggak mereka hidup dengan Rp 1,7 juta per bulan? Ini ukuran yang super gak manusiawi, Bos!

Cacat Visi

Pertumbuhan ekonomi, yang disajikan dengan data-data PDB, mungkin menunjukkan angka-angka fantastis. Mungkin membuat kita berdecap kagum. Apalagi kalau disebut PDB kita termasuk yang terbesar di dunia.

Tapi apa artinya bagi kita? Itu berarti semakin banyak eksploitasi terhadap sumber daya alam, perampasan hak-hak masyarakat/adat, privatisasi, komiditifikasi barang-barang publik, penerapan upah murah, dan lain-lain.

“Pertumbuhan ekonomi yang memperburuk kehidupan sosial bukanlah keberhasilan. Itu kegagalan,” kata Jacinda Ardern, Perdana Menteri Selandia Baru.

Jadi, ketika Omnibus Law, terutama RUU Cipta Kerja, menjadi pertumbuhan ekonomi sebagai visi utamanya, jelas visi UU ini bermasalah.

Di sisi lain, cita-cita kemerdekaan kita, alasan utama kita berbangsa dan bernegara, sebagaimana terang-benderang ditorehkan dalam Konstitusi dan Pancasila, adalah mewujudkan kesejahteraan dan keadilan sosial.

Jika dikaitkan dengan cita-cita itu, jelas Omnibus Law memunggungi cita-cita kemerdekaan.

Rudi Hartono

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid