Menyelamatkan UMKM Itu Menyelamatkan 99 Persen!

Indonesia, negeri luas berpenduduk 270 juta jiwa ini, sebetulnya digerakkan oleh ekonomi kecil-kecilan. Sebagian besar usaha di negeri ini berskala mikro, kecil, dan menengah (UMKM).

Data Kementerian Koperasi dan UMKM menyebutkan, negara kita punya 64,1 juta UMKM. Jumlah itu mewakili 99,99 persen keseluruhan unit usaha yang ada di negeri ini. Sedangkan usaha berskala besar hanya 5400 unit atau 0,01 persen.

UMKM juga menjadi penyerap tenaga kerja terbesar: 116,9 juta orang atau mencapai 97 persen dari total tenaga kerja Indonesia. Sebaliknya, badan usaha berskala besar hanya menyerap tenaga kerja sebanyak 3 persen.

Tambahan lagi, UMKM juga menjadi penyumbang terbesar pada Produk Domestik Bruto (PDB): 8,573,9 triliun atau sebesar 57,8 persen (2018).

Melihat sekelebat angka-angka itu, bisa disimpulkan bahwa tulang punggung atau soko guru ekonomi Indonesia adalah usaha kecil-kecilan alias UMKM.

Menariknya, meski berskala kecil-kecilan, juga nyaris tanpa dukungan dan perlindungan negara, UMKM tetap tangguh melewati dua krisis ekonomi: krisis ekonomi 1997/98 dan krisis keuangan 2008. Karena itu, banyak yang mendaulat UMKM sebagai sang penyelamat.

Tahun 1998, saat terjadi krisis moneter, UMKM tidak begitu terdampak. Data BPS menyebutkan, pada 1997 jumlah UMKM sebanyak 39,6 juta unit. Pada tahun 1999, jumlahnya berkurang sedikit menjadi 37,9 juta unit. Namun, di tahun 2000, jumlahnya kembali ke angka 39,7 juta unit.

Saat itu, nilai tukar rupiah terdepresiasi 80 persen—dari Rp 4.850/ USD pada 1997 menjadi Rp 17.000/USD pada Januari 1998. Sektor keuangan rontok, yang merembes pada bank-bank dan perusahan berskala besar.

Sementara UMKM, yang memang tidak terkoneksi dengan sektor keuangan, kemudian orientasi pasar dan pasokan bahan bakunya ke dalam negeri, tidak begitu terpukul.

Namun, menghadapi pagebluk virus korona, situasinya berbeda. Pagebluk membawa kekhawatiran besar pada kesehatan. Sebagai jalan keluarnya, ada kebijakan pembatasan sosial.

Demi mencegah penyebaran virus, sekolah, masjid, dan tempat kerja ditutup. Orang belajar, beribadah, dan bekerja dari rumah. Aktivitas di luar rumah dibatasi. Jika tak penting, tak perlu ke luar rumah.

Dampaknya, banyak kegiatan ekonomi yang terganggu, dari produksi hingga konsumsi. Ekonomi berjalan lesu, Banyak orang yang kehilangan pekerjaan dan pendapatan. Walhasil, permintaan pun ikut ambruk.

Dalam situasi begitu, bentuk usaha berskala kecil dan menengah paling menjerit. Dengan keterbatasan modal, teknologi, maupun jangkauan pasar, sulit bagi usaha kecil untuk survive.

Karena itu, berbeda dengan krisis 1997/98 dan 2008, UMKM justru lebih terpukul oleh pagebluk ini. Mulai dari gangguan produksi hingga penjualan yang menurun.

Survei Pusat Penelitian Ekonomi LIPI pada akhir Mei 2020 menyebutkan, sebanyak 94 persen UMKM di seluruh Indonesia yang mengalami penurunan penjualan. Bahkan, sebanyak 43 persen diantaranya mengalami penurunan penjualan hingga 75 persen.

Sayang sekali, meski sudah megap-megap, uluran tangan dari pemerintah untuk UMKM belum terasa.

Mari kita mulai dari dukungan anggaran stimulus. Dari total Rp 695 triliun anggaran stimulus pandemi, sektor UMKM hanya mendapat Rp 123,46 triliun. Sedangkan korporasi mendapat pembiayaan Rp 53,37 triliun.

Memang, dari segi angka, kelihatannya anggaran untuk UMKM lebih tinggi dari korporasi. Tapi, kalau melihat proporsi jumlah unit usahanya, tentu korporasi mendapat lebih banyak.

Baru-baru ini, akhir bulan Juli 2020, korporasi kembali mendapat suntikan penjaminan kredit sebesar Rp 100 triliun. Belum insentif yang lain, seperti diskon pajak PPH badan sebesar 50 persen dan lain-lain.

Belakangan juga, Presiden Jokowi memberi bantuan Rp 2,4 juta untuk 12 juta pedagang kecil. Anggaplah ini masuk kategori UMKM. Berarti tambahan stimulusnya hanya Rp 28,8 triliun.

Masalahnya lagi, anggaran stimulus sebesar Rp 123,4 triliun untuk UMKM belum tentu efektif. Maksudnya, stimulus itu benar-benar jatuh ke tangan UMKM.

Pertama, negara punya data BUMN yang lengkap dan terverifikasi. Setikdanya nama dan alamat (by name and by address). Jumlah UMKM yang disebut oleh data pemerintah itu hanya proyeksi, bukan angka riil.

Tentu saja, tanpa data yang akurat, sulit berharap anggaran stimulus itu jatuh ke tangan yang tepat: pelaku UMKM.

Kedua, jumlah UMKM yang punya akses ke perbankan hanya 20 persen. Sebagian besar UMKM tidak berpengalaman berurusan dengan perbankan.

Tak mengherankan, hingga akhir Juli 2020, penyaluran stimulus sebesar Rp 123,4 triliun itu baru tersalurkan sebesar Rp 11,8 triliun atau 9,59 persen.

Sebetulnya, kalau kita turun ke bawah, problem utama UMKM di bawah pandemi adalah permintaan yang menurun drastis. Ini juga terbaca oleh survei yang dilakukan oleh Pusat Penelitian Ekonomi LIPI dan SMESCO baru-baru ini.

Tak banyak UMKM yang bisa mengelak dari lesunya pasar offline. Dan pahitnya, hanya sekitar 13 persen pelaku UMKM yang sudah bisa mengakses pasar virtual.

Untuk itu, dukungan yang diberikan pemerintah terhadap UMKM sebetulnya tak seharusnya berkutak di soal jaminan kredit permodalan, melainkan pada dukungan di sisi permintaan.

Pertama, pemerintah bisa mengurangi beban biaya produksi UMKM dengan mensubsidi variabel tetap, seperti kebutuhan energi. Ini bisa dilakukan dengan kebijakan listrik dan gas gratis untuk pelaku UMKM.

Kedua, pemerintah membantu menaikkan permintaan untuk produk UMKM. Misalnya, semua Kementerian dan lembaga pemerintah mendorong pembelian barang dan jasanya memprioritaskan produk UMKM.

Kebijakan lainnya untuk menaikkan permintaan adalah memperbesar gelontoran bantuan sosial berbentuk uang tunai (cash-transfer) ke masyarakat.

Kemudian, agar UMKM tak bertarung bebas sesama pelaku ekonomi kecil, mereka butuh diwadahi dalam bentuk Koperasi. Dengan pewadahan itu, UMKM bisa bertahan dari pertarungan bebas dengan pelaku usaha berskala besar.

Bagi saya, jika ingin menyelamatkan tulang punggung ekonomi nasional dari dampak Pandemi, pemerintah tak boleh hanya fokus pada korporasi besar. UMKM juga harus mendapat perhatian khusus.

UMKM butuh keberpihakan politik. Mau menyelamatkan ekonomi kaum 99 persen atau hanya kaum 1 persen?

WILLIAM KOEK

Sumber foto: relawan.id

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid