Mengapa Trump Gagal Menghadapi Pandemi Covid-19?

Enam bulan lalu, tepatnya 30 Januari 2020, Direktur Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Dr. Tedros Adhanom Ghebreyesus, mengumumkan darurat kesehatan publik yang mendapat perhatian Internasional atau public health emergency of international concern (PHEIC). 

Sepuluh hari sebelumnya, pemerintah Tiongkok menyebut wabah baru ini bisa ditularkan dari manusia ke manusia. Pemberitahuan itulah yang mendorong WHO mengumumkan PHEIC, sebulan setelah Pusat Pencegahan dan Pengedalian Penyakit (CDC) Tiongkok memberitahu sejawat mereka di Amerika Serikat.

Saat WHO mengumumkan PHEIC, Donald Trump menggelar konferensi pers. Dia bilang, “kami akan mengendalikannya dengan baik.” Dari 30 Januari dan seterusnya, respon pemerintahan Trump terhadap virus ini sangat tidak koheren dan kompeten.

Pada 31 Juli, panel ahli yang disebut Komite Darurat International Health Regulations (IHR), yang beranggotakan 196 negara, bertemu. Esoknya, mereka meminta pemerintah semua negara di dunia untuk bekerja lebih serius mengedukasi warga mereka agar lebih waspada terhadap virus dengan mengikuti petunjuk dasar WHO (memakai masker dan rajin mencuci tangan). WHO juga mendesak semua pemerintah untuk menaikkan kemampuan untuk melakukan pengawasan (surveillance), tes, dan pelacakan kontak (contact tracing).

Rekomendasi ini pertama kali dikeluarkan pada 29 Januari, lalu diperbaharui pada 5 Juni, segera dilaksanakan oleh Kuba, Vietnam, Laos, Venezuela, Selandia Baru, Korea Selatan, dan negara bagian Kerala (India). Tetapi beberapa negara sengaja mengabaikannya, seperti Brazil, India, Inggris, dan Amerika Serikat.

Kejutan

Pada 30 Juli, Direktur Kedaruratan WHO, dr Mike Ryan, berbicara kepada pers, bahwa dirinya terkejut dengan lambannya pelacakan kontak, investasi kluster, dan pengetesan.

Padahal, kata dia, sejak bulan Januari WHO sudah menyodorkan bantuan teknis dan operasional kepada negara-negara yang tampaknya sangat membutuhkan bantuan. 

Dan itulah salahnya. Banyak negara yang dianggap handal untuk menghadapi pandemi, seperti Inggris dan AS, ternyata sistemnya gagal total.

“Saya kira, kita semua belajar bahwa ada investasi sangat rendah dalam arsitektur kesehatan masyarakat kita,” kata dr Ryan.

Dia adalah pejabat PBB yang sopan; tampaknya dia mau bilang bahwa di negara seperti AS, pemerintahnya gagal total membangun sistem kesehatan publik.

Ada 18 juta kasus aktif covid-19 di dunia ini. Sebanyak 4,8 juta diantaranya ada di AS. Paman Sam punya 59 ribu hingga 66 ribu kasus per hari—sebuah bencana yang sangat tinggi bila dibandingkan dengan Laos dan Vietnam, yang hampir tidak ada kasus baru dan beberapa kematian (Laos tidak ada, Vietnam ada 6).

Bagaimana orang memahami kegagalan pemerintahan Trump dalam mengatasi pandemi?

Penghematan

Dari 2010 hingga 2019, anggaran CDC di AS dipotong 10 persen. Pada bulan Februari, setelah PHEIC diumumkan, pemerintahan Trump mengusulkan pemotongan dana untuk Departemen Kesehatan sebesar 9,5 milyar USD, yang meliputi pemotongan 15 persen (1,2 milyar USD) anggaran CDC dan penurunan drastis anggaran untuk Dana Cadangan untuk Respon Cepat Penyakit Menular (Infectious Diseases Rapid Response Reserve Fund). Pada bulan Maret, tim anggaran Trump mempertahankan pemotongan ini.

Tak hanya memangkas anggaran kesehatan publik untuk CDC dan beberapa lembaga Federal, tetapi juga memotong anggaran untuk pejabat kesehatan publik. Pada 2009, sebuah laporan dari Trust for America’s Health menemukan fakta bahwa ada kekurangan anggaran sebesar 20 milyar USD per tahunnya di semua negara bagian dan pemerintahan federal terkait program kritis kesehatan publik.

Laporan terbaru dari Trust for America’s Health menemukan fakta bahwa dana untuk kesehatan publik di pemerintahan lokal menurun drastis dari sekitar 1 milyar USD setelah peristiwa 11 September (11/9) menjadi tinggal 650 juta USD di tahun 2019.

Sebuah investigasi dari Associated Press  menemukan fakta bahwa hampir dua per tiga orang Amerika merogoh kantongnya dua kali lebih banyak untuk urusan kesehatan non-rumah sakit, yang sebetulnya masih cakupan kesehatan publik.

Sepanjang 2008 hingga 2017, sebagai konsekuensi kebijakan penghematan (austerity), departemen kesehatan pusat dan lokal mem-PHK 55 ribu orang tenaga kesehatan (1 dari 5 orang). Pada 2008, Asosiasi Sekolah untuk Kesehatan Publik memperingatkan: di tahun 2020 AS akan kekurangan 250 ribu tenaga kesehatan publik. Tak satu pun yang mengindahkan peringatan itu.

Pengetesan

Di bulan Maret, menantu Trump, Jared Kushner, ditugaskan untuk membentuk sebuah Komite untuk menghadapi pandemi. Nyatanya, anggota Komite adalah para kroni Kushner, termasuk seorang teman sekamarnya di masa kuliah. Makanya ada ejekan: tim omong kosong.

Yang tak dilibatkan di Komite ini adalah pimpinan dari Departemen Kunci di pemerintahan AS, termasuk Laksamana Brett Giroir, yang pada 12 Maret ditunjuk sebagai Koordinator pengujian diagnostic covid-19 (dia meninggalkan jabatannya pada bulan Juni).

Meskipun ada kronisme dalam Komite, tetapi tetap bisa menghasilkan sebuah perencanaan, termasuk merancang sistem pengawasan dan koordinasi untuk meningkatkan pasokan, mengalokasikan alat tes, menghapuskan regulasi dan perjanjian yang merintangi, dan mengembangkan sistem pengawasan virus yang luas.

Disebutkan, rencana tes massal nasional akan diumumkan oleh Presiden Trump pada awal April. Nyatanya, itu tidak terjadi.

Sebaliknya, Presiden Trump selalu mengumbar omong kosong tentang responnya terhadap pandemi, yang kenyataannya tidak ada.

Pada 27 April, Trump bertemu dengan CEO Quest Diagnostics and LabCorp di Gedung Putih, yang juga menyampaikan omong kosong bahwa perusahannya mampu menangani soal tes massal itu.

Steve Rusckowski, dari Quest Diagnostics and LabCorp, bicara dengan gaya ala Trump: “Kami telah membuat kemajuan yang luar biasa.” Mereka kemudian melakukan tes 50 ribu per hari. Sekarang mungkin mereka melakukan tes 150 ribu per hari.

Masalahnya kemudian, bukan pada jumlah sampel yang diuji tiap hari, tetapi rentang waktu yang diperlukan seseorang untuk mendapatkan hasil tesnya.

Pada pertengahan Juli, Dr Rajiv Shah, Presiden Rockefeller Foundation, bilang bahwa dirinya kecewa dengan pengujian yang dilakukan oleh swasta. “Tak ada yang bisa diharapkan dari keterlambatan dari sehari menjadi dua hari atau tujuh hari atau, dalam beberapa kasus, menjadi 14 hari,” katanya.

“Dengan waktu tunggu tujuh hari, itu sebetulnya setara dengan tanpa pengujian,” katanya. Itu adalah kata-kata paling menohok dari seorang yang pernah menjabat Kepala USAID, yang pada 16 Juli merilis “National COVID-19 Testing Action Plan”, yang seharusnya segera dilakukan oleh pemerintah AS sejak Maret.

Pemerintahan Trump tidak menjalankan rekomendasi rencana dari Komite bentukan Gedung Putih dari bulan Maret, juga tak menjalankan rencana Rockefeller. Kenyataannya, pemerintahan Trump tak punya rencana.

Tiga hari setelah Rockefeller Foundation merilis rencana, Trump membuat pernyataan yang menggelikan. Dia pergi ke Fox News dan bilang, “kasusnya meningkat karena kami melakukan pengetesan terbaik di dunia.” Dan tidak ada fakta dari pernyataan itu.

Pada bulan Juni, Direktur CDC Robert Redfield mengatakan 90 persen kasus di AS mungkin tidak terdeteksi karena kurangnya pengetesan. Mungkin, karena itu, ada 20 juta orang yang terinfeksi (tapi tak diketahui) ketimbang 2,3 juta kasus yang dikonfirmasi. Semakin banyak pengetesan, maka jumlah kasusnya juga lebih banyak.

Pengetesan dan pelacakan kontak menghasilkan isolasi yang tepat terhadap penduduk yang berpotensi menularkan virus pada orang lain. Tapi ini tak terjadi. Ketika Laksamana Giroir ditanyai oleh Kongres pada 31 Juli, mungkinkah mendapatkan hasil tes dalam 48 hingga 72 jam, dia menjawab: “Ini tolak ukur yang tak mungkin kita capai hari ini, mengingat banyaknya permintaan.”

Ketidakcakapan pemerintahan Trump—yang mencermikan ketidakcakapan yang lebih parah dari Jair Bolsonaro di Brazil dan Narendra Modi di India—akibat hancurnya sistem kesehatan publik dan kegagalan sektor swasta dalam melakukan tes massal, sehingga menempatkan jutaan penduduk AS dalam ancaman terinfeksi virus dan menyebarkannya.

Dan sampai hari ini, tidak ada tanda-tanda Amerika Serikat bisa memutus rantai penyebaran virus ini.

VIJAY PRASHAD, sejarawan, penulis, dan jurnalis India. Dia adalah pengelolah LeftWord Books dan Direktur Tricontinental: Institute for Social Research.


Artikel ini diterjemahkan dari sumber aslinya: Salon.com.

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid