Siapa sebenarnya penduduk asli Australia? Jelas, jawabannya adalah suku Aborigin. Namun sejak tahun 1788 nasib suku ini berubah ketika para pelaut dari kerajaan Inggris mendarat di bunua selatan tersebut. Pembunuhan massal terjadi atas mereka dan kaum kulit putih kemudian menguasai Australia hingga sekarang.
26 Januari 1788, pertama kali bendera Inggris dikibarkan di Sydney. Tanggal tersebut kemudian diperingati sebagai hari “Pendaratan Pertama”, lalu berganti menjadi hari “Ulang Tahun” atau “Hari Kelahiran”, lantas mulai tahun 1946 diperingati dan dirayakan sebagai “Hari Australia” (Australia Day).
Pada 26 Januari 2016 ini terjadi demonstrasi besar-besaran yang menuntut ditiadakannya perayaan “Hari Australia” ini. Ribuan orang suku Aborigin dan orang kulit putih yang tersadarkan menyelenggarakan aksi di kota-kota besar Australia dan menyebut tanggal tersebut sebagai “Hari Invasi”. Mereka menyatakan ketidakpantasan untuk mengagung-agungkan hari yang menjadi pertanda pembataian suku Aborigin oleh pendatang kulit putih.
Sam Watson, seorang aktivis Aborigin dan juru bicara Socialist Alliance, mengatakan bagi komunitas Aborigin hari tersebut dikenang sebagai “Hari Invasi”, “Hari Berkabung” atau “Suvival Day”. Tidak ada yang perlu dirayakan oleh orang Aborigin karena mereka mengingatnya sebagai hari kekalahan yang mendalam: kehilangan hak-hak kedaulatan mereka atas tanah, kehilangan keluarga dan kehilangan hak untuk menjalankan budaya mereka. Sejak tahun 2006 hari ini juga telah disebut sebagai “Hari Kedaulatan Aborigin”.
Kantor berita teleSUR melaporkan bahwa ribuan demonstran yang aksi hari ini juga menuntut dihentikannya diskriminasi terhadap suku Aborigin. Mereka menyebutkan berbagai bentuk diskriminasi yang mengakibatkan suku Aborigin semakin terpinggirkan dalam kehidupan sosial.
Menurut Biro Pusat Statistik Australia, angka harapan hidup orang Aborigin rata-rata 11,5 tahun lebih rendah dibandingkan orang kulit putih. Selain itu penahanan terhadap orang Aborigin jauh lebih tinggi dengan presentasi populasi mereka yang hanya 2,1 persen dari total penduduk Australia.
Aksi ini juga diikuti oleh intelektual dan sutradara ternama, John Pilger. Dalam orasinya Pilger membandingkan Australia sekarang dengan politik apartheid yang terjadi di Afrika Selatan. Ia menyerukan negara untuk mengakhiri kebijakan-kebijakannya yang rasis.
Greenleft/teleSUR/Mardika Putera

