Mengenang Maradona dan Sikap Politiknya

30 Oktober 1960, dunia sepak bola mendapat hadiah terbaiknya. Hari itu, legenda sepak bola abad ke-20, Diego Armando Maradona, dilahirkan di dunia.

Tahun 2000, saat FIFA menentukan siapa pemain sepak bola terbaik di abad ke-20, Maradona dan Pele dinobatkan sama-sama menang. Meskipun jajak pendapat lewat internet menunjukkan Maradona sebagai peraih suara terbanyak (53,60 persen).

Namun, selain nama besarnya di lapangan hijau, Maradona juga perlu dikenang sebagai manusia politik yang selalu berdiri di sisi kaum dan bangsa tertindas. Dave Zirin, editor olahraga The Nation, menyebut Maradona sebagai kawan seperjuangan bangsa-bangsa selatan.

Lahir dari Kaum Miskin

Maradona lahir dari keluarga miskin di Villa Fiorita, sebuah pemukiman paling kumuh dan paling miskin di Buenos Aires, Ibukota Argentina. 

Dia anak kelima dari tujuh bersaudara. Bapaknya, Diego Maradona “Chitoro”, seorang buruh pabrik yang punya darah Guaraní, suku asli di Amerika Selatan yang punya jejak asal-usul dari Afrika selatan. Sedangkan ibunya, Doña Tota, merupakan imigran dari Italia.

Karena berkulit agak gelap, Maradona kerap menjadi ejekan yang rasis: Cabecita negra (si kepala kecil hitam). Namun, dia bergeming. “Ya, saya memang si kepala hitam, dan saya bangga dengan itu. Saya tak akan pernah lupa dari masa saya berasal,” katanya.

Maradona kecil jatuh pada sepak bola. Suatu hari, saat sedang bermain bola dengan kawan-kawan sekampungnya, nasib baik menjemputnya. Seorang pencari bakat terpukau dengan permainannya.

Di usia 11 tahun, dia sudah bermain untuk Los Cebollitas, klub anak-anak di bawah naungan Argentinos Junior. Sejak saat itu, hidup Maradona diserahkan sepenuhnya kepada sepak bola.

“Sebetulnya, aku bermain bola agar bisa membelikan rumah untuk orang tuaku. Agar kami tak kembali lagi Villa Fiorita,” kata Maradona dalam film dokumenter yang digarap oleh Asif Kapadia, pada 2019.

Di usia 15 tahun, Maradona sudah bermain untuk klub profesional Argentinos Junior. Bermain selama 5 tahun di klub itu, dia menjebloskan 115 gol dari 167 kali ikut bertanding.

Setelah Maradona makin bersinar terang di lapangan hijau, tawaran demi tawaran dari klub besar pun berdatangan, termasuk dari dua seteru abadi di Liga Argentina: Boca Junior dan River Plate

Ada aspek ideologis di balik pilihan itu. Boca Junior, klub yang didirikan sejak 1905, disebut sebagai klubnya kelas pekerja. Sementara River Plate, yang berdiri 1901, disebut klubnya kaum kaya (Los Millonarios). Dan, tentu saja, Maradona memilih Boca Juniors.

Oiya, di usia yang masih sangat muda juga, 16 tahun, Maradona sudah tampil membela Timnas Argentina melawan Hungaria. Sayang, karena usia terlalu muda, dia tak mendapat kesempatan bermain di piala Dunia 1978.

Membela Napoli

Tahun 1982, ketika usianya menginjak 22 tahun, Maradona mulai merumput di Eropa. Awalnya dia membela klub elit Spanyol, Barcelona. 

Meski sempat mengantar Barcelona meraih piala Copa del Rey, tetapi nasib Maradona bersama Blaugrana tidak menyenangkan. 

Puncaknya, pada final piala Copa del Rey 1984, saat Barca berhadapan Athletic Bilbao di stadion Santiago Bernabéu. Kesal karena ditekel keras oleh Goikoetxea dan teriakan rasis suporter Bilbao, Maradona pun meradang. Kesabarannya hilang, dia mulai menanduk dan menyiku pemain Bilbao. Pertandingan yang disaksikan oleh Raja Spanyol dan 100 ribu penonton itu berubah menjadi perkelahian massal di tengah lapangan.

Tak lama setelah kejadian itu, Maradona memutuskan pindah ke Napoli, sebuah klub minim prestasi di selatan Italia. 

Sebelum kedatangan Maradona, Napoli hanyalah klub medioker yang setiap musim hanya berjuang untuk menghindari degradasi. Gelar juara Seri-A selalu hanya diperebutkan oleh klub-klub elit dari Utara, seperti Juventus, AC Milan, AS Roma, dan Inter Milan.

Selain itu, orang-orang Neapolitans–sebutan bagi pendukung Napoli–kerap menjadi objek rasisme dari klub-klub elit utara, terutama pendukung Juventus dan Inter Milan. Napoli kerap disebut “selokannya Italia”.

Namun, bersama Maradona, Napoli pelan-pelan mulai bersinar. Di musim 1884/85, Napoli bisa bertengger di papan tengah. Di musim berikutnya, si biru berada di peringat ke-3. Di musim 1986-87, Napoli meraih gelar scudetto untuk pertama kalinya dalam sejarah. Kemudian meraih scudetto kedua di musim 1989-90. Maradona juga membawa Napoli meraih gelar UEFA 1989.

Berkat Maradona, sebuah klub yang dipandang sebelah mata di selatan Italia, yang kerap dihina dan direndahkan, bisa menjadi klub papan atas Seri-A.

Pembalasan di Piala Dunia 1986

Tahun 1982, kepulauan Falkland atau Las Malvinas, sebuah pulau kecil di Samudera Atlantik selatan, yang posisinya lebih dekat ke daratan Argentina, menjadi objek sengketa antara Argentina dan Inggris.

Konflik itu berubah menjadi perang selama hampir selama 2 bulan. Konflik itu membawa kerugian besar di pihak Argentina: 650 tentara Argentina gugur, sementara 11,3 ribu orang ditangkap.

Maradona menyimak kejadian pilut itu lewat layar kaca begitu tiba di Spanyol untuk membela klub barunya, Barcelona. “Itu adalah pembantaian,” katanya.

Empat tahun kemudian, di piala Dunia 1986 yang berlangsung di Mexico City, Argentina bertemu dengan Inggris di perempat final. Lapangan hijau pun berubah tak ubahnya palagan lanjutan dari pertempuran Malvinas.

Maradona mencetak dua gol dalam laga itu, termasuk golnya yang fenomenal: gol tangan Tuhan. Argentina mengalahkan Inggris dengan skor tipis: 2-1. 

“Golll. Diego! Manusia dari planet mana kau berasal, yang mengubah seluruh Negeri jadi kepalan tangan dan berteriak untuk Argentina,” begitu teriakan komentator TV saat merayakan gol Maradona ke gawang Inggris.

Kemenangan Argentina atas Inggris dirayakan rakyat Argentina sebagai pembalasan mereka atas keangkuhan Inggris di Malvinas. 

“Itu seperti mengalahkan sebuah Negara, bukan hanya tim sepak bolanya,” kata Maradona.

Tak hanya menyingkirkan Inggris, Maradona juga membawa Argentina menjuarai Piala Dunia 1986. La Albiceleste mengalahkan der Panzer di final.

Anti-Imperialis

Tahun 1987, setahun setelah mempersembahkan gelar Piala Dunia untuk negaranya, Maradona berkunjung ke negara yang paling dibenci Amerika Serikat dan Barat: Kuba.

Saat itu, Maradona sudah menjadi bintang sepak bola. Sorotan kamera mulai mengikutinya kemana-mana. Namun, tanpa mempedulikan sikap politiknya yang tak lazim saat itu, Maradona justru bertemu Fidel Castro.

“Saya tidak suka berpura-pura. Ketika orang lain membela Amerika Serikat, saya membela Kuba. Fidel (Fidel Castro, Presiden Kuba kala itu) itu orang hebat. Saya punya tatto wajahnya di kakiku,” kata Maradona kepada sutradara Emir Kusturica.

Kunjungan itu membuat Maradona dan Fidel sebagai kamerad dekat. Maradona kembali mengunjungi Kuba tahun 1994, setelah diskors oleh FIFA selama 15 bulan karena kasus doping. 

Tak hanya jadi pembela Kuba, Maradona juga pembela bangsa-bangsa tertindas lainnya. Dia menjadi salah pemain bola yang berdiri lantang menentang invasi AS ke Irak. Sebagai bentuk protesnya, Maradona mengenakan kaos bergambar Presiden George W Bush dan dengan tulisan: War Criminal.

Ketika Amerika latin sedang mengalami pasang merah, yaitu periode kemenangan elektoral sejumlah politisi kiri di pemilu Amerika latin, seperti Hugo Chavez di Venezuela, Lula da Silva di Brazil, Evo Morales di Bolivia, Rafael Correa di Ekuador, dan lain-lain, Maradona tampil sebagai pendukung utamanya.

Puncaknya, pada 2005, saat pertemuan membahas proposal Free Trade Area of the Americas (FTAA) di Mar del Plata, Argentina, ada ratusan ribu orang yang menggelar aksi protes. Di sela aksi protes itu, Maradona naik ke podium dan berpelukan dengan Hugo Chavez.

“Terima kasih aku berada di sini. Argentina punya martabat sebagai sebuah bangsa. Mari menendang Bush keluar dari sini,” kata Maradona dengan lantang.

Selain mendukung pemerintahan progresif di Amerika latin, Maradona juga dikenang sebagai pembela terdepan Palestina. 

Tahun 2012, kepada berbagai media, Maradona menyebut dirinya sebagai pendukung nomor satu Palestina. 

“Saya adalah pendukung nomor satu rakyat Palestina. Saya menghargai mereka dan bersimpati dengan mereka,” katanya, seperti dikutip Aljazeera.

Di tahun 2014, ketika Israel menyerang Gaza, Maradona melontarkan pernyataan keras. “Apa yang dilakukan Israel terhadap Palestina sangat memalukan,” katanya.

Tahun 2018, di sela-sela pertandingan Piala Dunia di Rusia, Maradona bertemu Presiden Palestina, Mahmoud Abbas.

“Dalam hati saya, saya Palestina,” kata bintang Argentina itu sambil menunjuk dadanya.

Maradona, yang sudah berpulang ke pangkuan Ilahi pada 25 November tahun lalu, bukan hanya harus dikenang sebagai hadiah terbaik bagi sepak bola, tetapi juga bagi perjuangan untuk dunia yang lebih adil.

RAYMOND SAMUEL

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid