Mengapa Kita Perlu Berisik Terhadap Isu Bisnis PCR?

Saat reformasi 1998 berkumandang, bangsa ini sudah berikrar untuk tidak lagi memberi tempat pada korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Sayang sekali, 23 tahun kemudian, negeri ini belum juga terbebas dari KKN.

Praktek KKN masih menggurita. Tahun lalu, Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia justru melorot dari skor 37 menjadi 40[1]. Kita juga belum sembuh dari penyakit kapitalisme kroni. Tahun 2016, Indeks Kapitalisme Kroni (The Crony-Capitalisme Index) di peringkat ketujuh dunia[2].

Konflik kepentingan, yang diakui sebagai pintu masuk KKN, menjadi lazim belakangan ini. Penyelenggaraan Negara makin permisif terhadap konflik kepentingan.

Data yang diolah Kompas pada 25 Juli 2021 menemukan, ada 397 komisaris BUMN yang rangkap jabatan dengan Kementerian, non-kementerian, dan akademisi.

Merujuk pada data Marepus Corner, sebanyak 55 persen (318 orang) anggota DPR berasal dari latar belakang pebisnis. Di Kabinet, tak sedikit Menteri dengan latar belakang pengusaha besar.

Buah busuknya terlihat sekarang. Ketika negeri ini diluputi duka dan cemas akibat pandemi, yang menjangkiti 4 jutaan orang dan membunuh ratusan ribu jiwa, ada kabar busuk yang cukup menyengat: bisnis tes usap atau PCR yang melibatkan sejumlah pejabat Negara.

Tanggal 20 Agustus lalu, Indonesia Corruption Watch (ICW) mengumumkan temuan lembaganya terkait potensi keuntungan dari bisnis PCR. Hitungan ICW dari Agustus 2020 hingga Agustus 2021 menyebut keuntungan Rp 10,4 triliun yang dinikmati oleh penyedia jasa PCR.

ICW juga mengendus adanya konflik kepentingan di balik penetapan harga PCR yang menyeret nama-nama pejabat di lingkaran pengambil kebijakan.

Laporan majalah TEMPO edisi 1 November 2021 semakin menunjukkan titik terang terkait keterlibatan pengambil kebijakan dalam bisnis PCR itu.

PT Genomik Solidaritas Indonesia (GSI), salah satu perusahaan penyedia jasa PCR, punya kaitan dengan sejumlah pejabat penting di pemerintahan.

PT GSI merupakan perusahaan baru yang didirikan tak lama setelah pandemi Covid-19 merebak di tahun 2020. Sejumlah pengusaha besar ikut patungan untuk membuat PT GSI.

Dua perusahaan yang terafiliasi dengan Kemenko Marves Luhut Binsar Panjaitan, yaitu PT Toba Sejahtera dan PT Toba Bumi Energi, punya saham 242 lembar senilai Rp 242 juta di PT GSI.

Pemilik saham lainnya Yayasan Adaro, yang berada di bawah naungan PT Adaro Energy Tbk milik Garibaldi Thohir, kakak Menteri BUMN Erick Thohir.

Di luar nama dua pejabat ini, masih ada deretan nama mantan pejabat, politisi, dan pengusaha yang ikut menikmati cuan dari bisnis PCR ini.

Ada Enggartiasto Lukita, bekas Menteri Perdagangan, yang memiliki PT Inti Bios Persada Sejahtera. Kemudian ada Lusyani Suwandi, kader partai Nasdem, yang mengendalikan Hamera Laboratorium.

Lalu, mengapa kita harus berisik mempersoalkan isu ini?

Menghianati Reformasi

Pengamat ekonomi Yanuar Rizky menganggap dugaan keterlibatan pejabat Negara dalam bisnis tes Polymerase Chain Reaction (PCR) menghianati cita-cita reformasi 1998.

“Reformasi melahirkan Tap MPR XI/1998 tentang penyelenggaraan Negara yang bersih dari kolusi, korupsi, dan nepotisme,” ujar Yanuar dalam webinar yang diselenggarakan Dewan Pimpinan Pusat Partai Rakyat Adil Makmur (DPP PRIMA), Selasa (16/11/2021).

Menurut dia, aroma nepotisme dalam kasus dugaan pejabat berbisnis PCR bahkan lebih buruk dibandingkan dengan praktek nepotisme di zaman Orde Baru.

“Waktu dulu aja, zaman pak Harto yang segitu-gitunya (sangat korup dan nepotisme) Orde Baru, sempat saya periksa kasus, nggak ada tuh tier kosong,” jelasnya.

Di sini, tier kosong berarti keterlibatan langsung pejabat Negara dalam suatu perusahaan di pasar modal.

“Tier kosong tuh artinya, misal saya ketemu namanya Tutut di satu perusahaan yang saya periksa. Tapi, itu nggak ada juga. Kemudian kasus PT Era Giat Prima yang melibatkan Setya Novanto, itu juga nominee” terang dia.

Nominee atau perjanjian saham pinjam nama adalah kepemilikan saham dalam Perseroan Terbatas dengan meminjam/menggunakan nama orang lain.

Menurut Yanuar, dalam kasus bisnis PCR, dua pejabat yang diduga terlibat punya kaitan langsung dalam entitas bisnis yang menjalankan binis tersebut.

“Ini kan tier kosong dan tier satu. Tier kosong diakui sendiri oleh Pak Luhut, bahwa dia punya saham di Toba. Boy Thohir itu tier satu, karena dia afiliasinya dengan Erick Thohir,” ujarnya.

Yanuar menegaskan, keterlibatan kedua pejabat itu dalam entitas bisnis yang menjalankan bisnis PCR sudah masuk kategori nepotisme.

“Seorang penyelenggara Negara mendirikan usaha di keputusan yang ada di lingkungan dia,” tegasnya.

Lebih jauh, Yanuar mempersoalkan klaim bahwa PT GSI didirikan karena faktor kemendesakan, yaitu keterbatasan anggaran negara dalam pengadaan tes PCR untuk masyarakat.

“Kalau ini hanya sifatnya ad-hoc dan mereka mau menyumbang, Kadin kan sudah buat inisiatif gotong-royong. Sumbang aja ke sana (KADIN). Kadin beli alat PCR-nya dan digratiskan ke rakyat. Itu namanya donasi,” jelasnya.

Dalam kasus PT GSI, kata Yanuar, ada proses pendirian perseroan terbatas dan skemanya bisnis. Selain itu, karena bentuknya perseroan terbatas, pendirian PT GSI bukanlah ad-hoc dan sifatnya sementara saja.

Clear ya. PT GSI ini melakukan bisnis,” tegasnya.

Yanuar menggarisbawahi, pelibatan yayasan dalam PT GSI tidak menutupi orientasi bisnisnya.

“Perkara nanti keuntungan dari model bisnis dipakai oleh yayasan untuk kegiatan sosialnya, itu pemanfaatan keuntungannya, bukan berarti bisnisnya tidak untung,” jelasnya.   

Yanuar pun mengingatkan pengalaman buruk Yayasan Supersemar di masa Orde Baru. Selain kegiatan sosial, yayasan ini juga menjadi mesin rezim Orde Baru untuk menyalurkan dana kepada pengusaha kroni dan keluarganya.

“Tidak bisa dipungkiri, yayasan Supersemar pun jadi mesin korupsi,” tegasnya.

Terakhir, Yanuar mempertanyakan komitmen pemerintah terkait komitmen reformasi untuk memerangi KKN.

“Kalau ini diperbolehkan, kita akan masuk dalam lorong gelap yang sangat gelap. Ini akan menjadi semacam yurisprudensi, bahwa penyelenggara Negara boleh mendirikan perusahaan, asalkan tidak ambil untung. Untung dan tidak, ini kan debatable” ujarnya.

Di kesempatan yang sama, Praktisi Hukum Mangapul Silalahi mempertanyakan komitmen penyelenggara pada prinsip Negara Hukum.

“Ini kan jelas ada benturan kepentingan. Ada banyak aturan yang dilanggar. Kalau ini tidak diusut, berarti kita bukan lagi negara hukum, melainkan negara kekuasaan,” jelasnya.

Menurutnya, ada kemiripan antara kasus bansos dan keterlibatan pejabat dalam bisnis PCR, yaitu penggunaan otoritas/kewenangan untuk kepentingan pribadi.

Sementara itu, Wakil Ketua Umum PRIMA Alif Kamal mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk menyeriusi pengusutan dugaan penyalahgunaan kekuasaan dalam bisnis PCR ini.

“Ini masyarakat resah dengan isu PCR ini. Kami melapor ke KPK, agar isu PCR ini menjadi terang benderang,” tegasnya.

Menurut Alif, keseriusan dalam mengusut kasus ini sekaligus menjadi ujian bagi pejabat KPK sekarang terkait komitmen mereka dalam pemberantasan korupsi tanpa pandang bulu.

Dominasi Oligarki

Di kesempatan yang sama, sosiolog Universitas Indonesia, Thamrin Amal Tomagola, menjelaskan keterkaitan bisnis PCR dengan gejala menguatnya oligarki di Indonesia.

“Ini seperti crime by omission, kejahatan yang mendapat pembiaran. KPK saja dibiarkan lemah lewat revisi UU KPK,” katanya.

Lebih lanjut, Thamrin berbicara tentang “total conquering oligarchy”, yaitu penaklukan total seluruh aspek kehidupan berbangsa dan bernegara oleh oligarki.

“Kalau dulu Orba ditopang lima pilar, yaitu militer, Golkar, birokrasi, taipan, dan teknokrat, maka sekarang oligarki menguasai semuanya,” jelasnya.

Situasi itu, menurut Thamrin, membuat hampir semua lembaga negara dan kebijakannya hanya melayani kepentingan segelintir orang atau oligark.

“Hukum saja sudah dikuasai. Revisi UU MK saja hanya butuh 7 hari, jadi MK pun sudah di bawah oligarki,” katanya.

Sementara itu, pada kesempatan yang berbeda, Ketua Umum PRIMA Agus Jabo Priyono menyebut bisnis PCR sebagai bentuk manifestasi praktek oligarki di Indonesia.

“Tes itu kan harusnya gratis atau dibuat semurah mungkin, agar bisa diakses massal dan menjadi alat menghadapi pandemi. Tapi ini malah diserahkan ke mekanisme pasar dan jadi ajang bisnis,” jelasnya.

 Menurutnya, kepentingan oligark yang sangat kuat membuat sesuatu yang sangat penting bagi keselamatan publik, seperti tes usap PCR, diserahkan kepada mekanisme pasar untuk jadi ajang bisnis.

“Seharusnya, dalam situasi pandemi begini, logika keselamatan publik yang diutamakan, bukan logika mencari cuan,” tegasnya.

Karena itu, Agus Jabo menegaskan, keputusan PRIMA untuk melaporkan kasus ini KPK merupakan bentuk komitmen politik partainya dalam mengikis dominasi oligarki.

TIMUR SUBANGUN


[1] https://www.transparency.org/en/cpi/2020/index/nzl

[2] https://infographics.economist.com/2016/Cronyism_index/

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid