Malari 1974, Protes Mahasiswa Menentang Modal Asing

Pada 15 Januari 1974, bersamaan dengan kunjungan Perdana Menteri Jepang Kakuei Tanaka ke Jakarta, mahasiswa dan rakyat menggelar aksi protes.

Hari itu, begitu Tanaka menginjakkan kaki di Bandara Halim Perdanakusuma, mahasiswa dan rakyat sudah menguasai jalan-jalan Ibukota Jakarta. Sentimen anti modal asing, terutama modal Jepang, menyeruak ke permukaan.

Namun, aksi protes itu berubah menjadi kerusuhan. Jakarta berasap. Sejumlah gedung, perkantoran, toko-toko, dan kendaraan dibakar dan dijarah oleh massa yang marah.

Itulah kerusuhan berbau politik pertama yang terjadi sejak Orde Baru mengambil kekuasaan pada 1966. Masa bulan madu antara mahasiswa dan rezim Orde Baru pun berakhir. Tak hanya itu, sukacita menyambut modal asing berubah jadi antipati.

Latar Belakang

Sejak berakhirnya pemerintahan Sukarno, modal asing menderas masuk ke Indonesia. Melalui pengesahan UU nomor 1 tahun 1967 tentang penanaman modal asing, pintu ekonomi dibuka selebar-lebarnya bagi investor.

Tahun 1970-an, dari sekian banyak modal asing yang masuk, modal Jepanglah yang tampak paling dominan. Produk jepang, terutama otomotif, membanjiri Indonesia.

Mahasiswa menilai menderasnya modal Jepang itu sebagai model penjajahan ulang Jepang terhadap bangsa Indonesia. Dan kunjungan Perdana Menteri Tanaka Indonesia dianggap momentum untuk mengekspresikan protes itu.

Namun, protes Malari tak hanya soal keresahan terhadap modal asing. Sejak 1970-an, mahasiswa mulai resah dengan praktek korupsi, peranan teknokrat pro-barat dalam mendikte kebijakan pembangunan, dominasi militer dalam bisnis dan politik, hingga proyek mercusuar (TMII) yang memboroskan anggaran Negara.

Jalannya Aksi Protes

Pada 15 Januari 1974, sekitar pukul 08.00 WIB, mahasiswa dari berbagai kampus di Jakarta mulai berkumpul di kampus Universitas Indonesia Salemba. Setelah massa terkumpul, mereka bergerak menuju kampus Trisakti di Grogol. 

Di kampus Trisakti, mahasiswa menggelar orasi-orasi. Aksi ini kemudian ditutup dengan pembakaran boneka Perdana Menteri Jepang Kakuei Tanaka.

Usai aksi, mahasiswa berkonvoi kembali ke kampusnya melalui rute aksi yang sebelumnya dilalui. Namun, versi lain menyebut, mahasiswa memang berkeinginan melanjutkan aksinya di Istana Negara, tempat pertemuan antara PM Tanaka dan Soeharto.

Saat itu, begitu mendekati Jalan Tanah Abang II/Museum Nasional, konvoi mahasiswa dihentikan tentara dan dipaksa berbelok ke harmoni. Begitu tiba di jalan Juanda, mahasiswa kaget menyaksikan sisa-sisa kerusuhan dan pembakaran. 

Hari itu, bersamaan dengan aksi protes mahasiswa, meletus aksi kerusuhan di sejumlah tempat di Jakarta. Mulai dari pasar Senen, kerusuhan menjalar ke sejumlah lokasi, seperti Sunter, jalan Thamrin, jalan Sudirman, dan jalan Diponegoro.

Dampak Kerusuhan

Akibat kerusuhan yang meletus hari itu, sebanyak 11 orang meninggal, 300 orang mengalami luka-luka, dan 775 orang lainnya ditahan oleh aparat.

Selain itu, kerusuhan juga menyebabkan 807 mobil dan 187 sepeda motor terbakar, 144 bangunan rusak, serta 160 kilogram emas hilang dari sejumlah toko perhiasan. Proyek Pasar Senen, yang ketika itu diperkirakan bernilai sekitar Rp 2,6 miliar, juga terbakar habis.

Sejumlah media massa juga terkena imbasnya, seperti Harian Abadi, Pedoman, Indonesia Raya, Harian KAMI, dan The Jakarta Times. Media-media tersebut dibredel oleh pemerintah.

Sejumlah tokoh pergerakan mahasiswa, seperti Hariman Siregar, Judilherry Justam, Theo Sambuaga, Bambang Sulistomo, Eko Jatmiko, Yessy Moninca, dan Remy Leimena, juga ditangkap.

Sejumlah tokoh juga sempat ditangkap, seperti Yap Thiam Hien, Adnan Buyung Nasution, Mochtar Lubis, dan Dorodjatun Kuntjoro-Jakti

Ditunggangi Tentara

Ada versi lain yang menyebut peristiwa Malari dipicu oleh pertikaian dua faksi di tubuh militer, yaitu Soemitro versus Ali Murtopo. Saat itu, Soemitro menjabat Deputi Panglima Angkatan Bersenjata dan Panglima Kopkamtib, sedangkan Ali Murtopo mantan Kepala Operasi Khusus (Opsus) dan Asisten Pribadi Presiden Soeharto.

Konflik keduanya bermulai dari Pemilu 1971. Soemitro mengkritik keberadaan Opsus yang berpotensi konflik kepentingan dan tumpang tindih antara lembaga intelijen.

Tahun 1973, Soemitro mengunjungi kampus-kampus dan mengajak mahasiswa untuk mengeritik pemerintah. Dia kerap bersikap kritis terhadap dominasi militer dalam politik dan bisnis.

Soemitro juga kerap mengeritik Ali yang dianggap punya ambisi politik yang tinggi, salah satunya menjadi Wakil Presiden dan kemudian menggantikan Soeharto.

Sebaliknya, kubu Ali menuding terlalu super-power dengan jabatannya sebagai Pangkopkamtib. Soemitro dianggap ingin berperan layaknya Perdana Menteri atau Orang Kedua setelah Soeharto dalam menjalankan roda pemerintahan. Soemitro kerap memanggil Menteri-Menteri untuk rapat bersama di kantornya.

Dalam kasus Malari 1974, kedua kubu ini menjadikan demonstrasi mahasiswa sebagai palagan perangnya. Soemitro dianggap memberi angin kepada demonstrasi mahasiswa. Sebaliknya, Ali dituding menggerakkan massa massa Gerakan Usaha Pembaharuan Pendidikan Islam (GUPPI) untuk membuat kerusuhan di sejumlah tempat di Jakarta. Tujuannya: untuk mendiskreditkan gerakan mahasiswa.

Pasca Malari, karier Soemitro meredup. Dia mengundurkan diri dari jabatan Pangkopkantim dan Wakil Panglima ABRI. Dia sempat ditawari Dubes oleh Soeharto, tetapi ia tolak. Tak hanya Soemitro, jenderal-jenderal yang sekubu dengannya juga tersingkir pelan-pelan.

RINI MARDIKA

Leave a Response