Kisah Kudeta Keji terhadap Patrice Lumumba

17 JANUARI 1961. Di sebuah hutan kecil di Lubumbashi, Provinsi Katanga, Kongo, iring-iringan mobil menembus kabut malam. Lalu, di tengah-tengah hutan itu, tiga pemuda berpakaian koyak menemuji ajalnya di hadapan regu tembak.

Satu diantara pemuda itu adalah Patrice Lumumba, 36 tahun, Perdana Menteri Kongo saat itu. Dia adalah seorang nasionalis kiri dan pejuang paling gigih dalam memperjuangkan kemerdekaan negerinya, Kongo, dari kolonialisme Belgia.

Pembunuhan itu sangat keji. Tak hanya dieksekusi oleh regu tembak di tengah malam sunyi, mayatnya juga dipotong-potong dan dibakar. Tentu saja, si pembunuh berharap agar kejadian itu tak tercium oleh rakyat Kongo dan dunia. Keji sekali!

Lumumba dibunuh sangat keji. Tidak menyisakan bekas. Tidak ada nisan. Dan tidak tanda apapun, demi menghapus ingatan dan pengaruh Lumuba di tengah-tengah rakyatnya.

Lumumba lahir tahun 1925 di Provinsi Kasai, Kongo. Setelah dikeluarkan dari sekolah, ia pergi ke kota Stanleyville—sekarang bernanama Kisangani. Saat itu, Kongo masih dijajah oleh Belgia.

Kongo di bawah kolonialisme Belgia mirip neraka: kelaparan, kerjapaksa, kekerasan dan perbudakan. Sebuah data mengungkapkan, lebih 10 juta orang Kongo tewas dari tahun 1891 hingga 1911.

Begitu tiba di Stanleyville, tahun 1944, Ia segera menjadi bagian dari gerakan “évolués” (evolusi), yakni sekelompok pemuda terpelajar Kongo yang dipersiapkan untuk “memberadabkan” negerinya—mirip dengan golongan etis di Indonesia di jaman Hindia-Belanda.

Politik apartheid juga terlembaga di Kongo. Orang kulit putih, yang kebanyakan keturunan Eropa, menempati posisi istimewa di masyarakat. Sedangkan kulit hitam, yang notabene pribumi, menjadi “pesuruh” dan menduduki jabatan rendahan. Jika seorang pemuda kulit hitam memandangi wanita kulit putih, hidupnya bisa berakhir di penjara.

Lumumba pernah menjadi pekerja pos dan terlibat dalam Serikat buruh. Dia juga tercatat pernah menjadi anggota cabang Partai Liberal Belgia di Kongo. Namun, panggilan untuk memerdekaan tanah-air, membuatnya tak betah di organisasi itu.

Tahun 1957, Lumumba pindah ke Leopoldville—sekarang Kinshasa. Di kota inilah ia terpapar oleh pemikiran-pemikiran radikal dan pro-kemerdekaan. Namun, di tahun itu juga, Lumumba sempat dipenjara beberapa bulan.

Tahun 1958, Ia sudah menjadi bagian dari Gerakan Nasional  Congolais (MNC). Tak lama bergabung, karena kepiawaian politiknya, ia menjadi pimpinan MNC. Karena haluan politiknya yang radikal, MNC segera meraih dukungan luas dari rakyat Kongo. Pada bulan Maret 1959, keanggotaan MNC sudah mencapai 58.000 orang.

4 Januari 1959, terjadi represi brutal. Sebuah aksi demonstrasi ditumpas secara brutal oleh Force Publique (tentara Kongo)—mirip KNIL di zaman Hindia-Belanda. Ratusan rakyat tewas. Peristiwa ini mengubah kesadaran rakyat Kongo: jalan panjang transisi—politik etis ala Belgia—harus diakhiri. Kemerdekaan harus direbut, bukan menunggu kebaikan kolonial.

Pertemuan massal berlangsung. Pemogokan di mana-mana. Radikalisasi massa turut menyeret Lumumba makin menjauh dari garis évolués. Namun, penguasa kolonial, dengan dukungan AS, menjawab protes rakyat dengan represi dan penangkapan. Lumumba turut ditangkap.

Dia baru bebas setelah dirinya dipanggil berunding di Brussel, Belgia, awal tahun 1960. Di forum itu, Lumumba mengambil garis non-koperasi. Ia tegas menuntut kemerdekaan penuh bangsa Kongo. Bagi Lumumba, kemerdekaan itu berarti kebebasan penuh bangsa Kongo untuk melakukan mengejar kemajuan dengan cara dan jalannya sendiri.

Sementara itu, pada bulan Mei 1960, diselenggarakan pemilu nasional. Partainya Lumumba, MNC, berhasil memenangi pemilu. Artinya, kehendak rakyat untuk merdeka tak terbendung lagi. Dan, pada 30 Juni 1960, Lumumba membacakan proklamasi kemerdekaan.

Rakyat Kongo bersuka-cita menyambut kemerdekaan. Sayang, kekuatan yang selama ini menghisap Kongo, yakni kolonialisme Belgia, imperialisme AS, dan elit-kaya Kongo, tak nyaman dengan kemerdekaan itu. Mereka takut kepentingan mereka terancam. Salah satu elit penentang kemerdekaan itu bernama Moise Tshombe, pimpinan partai reaksioner Conakat yang pro-penjajahan.

Pada bulan Juli 1960, Belgia telah memprovokasi berdirinya negara boneka di Provinsi Katanga, daerah yang kaya mineral. Selain itu, militer—yang sebagian besar masih di bawah komando orang Belgia—turut memprovokasi kekacauan.

Tetapi kemerdekaan Kongo adalah sebuah revolusi. Rakyat Kongo yang selama ratusan tahun dihina dan diperbudak seakan menemukan harga diri dan martabatnya kembali. Di kalangan militer, prajurit keturunan Kongo menuntut penghapusan komandan kulit-putih.

Tetapi revolusi juga membawa ekses. Terjadi penyanderaan, pembunuhan, dan pemerkosaan terhadap warga kulit putih. Kekacauan terjadi dimana-mana. Bahkan, sebuah rapat kabinet Lumumba bisa dimasuki tentara indisipliner dengan bersenjata lengkap.

Kekacauan inilah yang coba dimanfaatkan oleh Belgia dan imperialisme AS. Selain itu, Belgia dan AS intensif melancarkan propaganda bahwa Lumumba adalah komunis, antek Soviet, dan selusin tudingan sejenis.

Pada saat bersamaan, Joseph Mobutu—bekas kawan seperjuangan Lumumba—ditunjuk menjadi kepala Angkatan Bersenjata. Tetapi Mobutu sangat ambisius, oportunis, dan anti-komunis. Belakangan, AS memanfaatkan Mobutu untuk melancarkan kudeta terhadap pemerintahan Patrice Lumumba.

Selain berhadapan dengan intervensi imperialis, Lumumba juga berhadapan dengan gerakan separatis berbau etnis dan provinsialisme. Dalam kasus Kongo, kita menjadi tahu, betapa ide etnosentrisme dan provinsialisme bisa ditunggangi oleh imperialis untuk memecah-belah Kongo.

Akhirnya, di bulan September 1960, setelah melalui konspirasi elit sayap kanan, kolonialis Belgia, dan Imperialisme AS, Lumumba dipecat oleh parlemen dari jabatannya. Tindakan ini dilawan oleh rakyat. Sayang, militer Kongo lebih loyal kepada penjajahnya ketimbang bangsanya. Mereka dimanfaatkan untuk menggulingkan Lumumba.

Lumumba dikenakan tahanan rumah. Ia sempat menyelinap dan melarikan diri bersama keluarganya. Namun, tanggal 1 Desember 1960, tentara pro-Mobutu berhasil menangkapnya.

Sejumlah negara di dunia, termasuk Indonesia dan Uni Soviet, sangat gigih memprotes penangkapan terhadap Lumumba. Namun, apa mau dikata, PBB memang alat imperialis, memilih diam saja.

Lumumba dan dua kawannya dieksekusi tanggal 17 Januari 1961. Kabar keji ini diketahui dunia tanggal 13 Februari 1961. Rakyat Kongo dan dunia mengutuk kebrutalan imperialis itu. Di Beograd, saat itu masih Yoguslavia, ratusan ribu demonstran menyerukan “Lumumba akan terus hidup”. Di Shanghai, Tiongkok, setengah juta demonstran mengutuk pembunuhan Lumumba.

Indonesia di bawah Sukarno sangat menghormati Patrice Lumumba. Sebagai bentuk dukungan rakyat Indonesia atas perjuangan Lumumba, sebuah jalan di Jakarta diberi-nama “Jalan Patrice Lumumba”. Dan saya baru tahu, di Padang Sidempuan, Sumatera Utara sana, ada juga jalan Patrice Lumumba.

Lumumba patut dikenang. Ia adalah simbol perjuangan melawan kolonialisme dan imperialisme. Perjuangan Lumumba dan juga gerakan nasional Kongo sangat dipengaruhi oleh semangat Konferensi Asia Afrika yang disuarakan pertama kali di Bandung, Indonesia, tahun 1955.

Dan akhirnya, kudeta keji yang disponsori Belgia dan AS telah melahirkan diktator paling korup di dunia, Mobutu Sese Seko, yang memerintah Kongo selama 32 tahun.

Raymond Samuel

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid