Sisi Lain Dana Desa

Di masa yang belum terlalu lama lewat, desa adalah nama dari lokus dimana seluruh kualitas kolektif, hidup.

Di desa, sekalian urusan dikerjakan bersama-sama. Gotong royong adalah laku, bukan jargon. Jika kolektif dihadang masalah konseptual, tikar digelar untuk duduk beradu bahu, bertemu lutut. Bermusyawarah. Jika yang menghadang urusan pembiayaan, semua orang turun tangan. Yang punya kambing urun kambing. Yang ada sawah, urun beras. Yang miliki kebun, urun buah. Yang tak punya harta, urun tenaga. Semua individu merasakan pentingnya bersatu.

Desa, pada masa itu, adalah lokus yang mandiri. Wujud dalam laku, bukan jargon. Desa mampu mengelola kebutuhan pokok warganya secara subsisten. Beras berasal dari ladang sendiri. Ikan dari sungai yang dijaga bersama. Daging ayam dan telur dari ternak. Sayuran dan buah dari kebun dan hutan. Bahkan kopi disangrai sendiri dari yang tumbuh liar di lebat rimba. Bahan yang tak didapatkan di kampung, didatangkan dari dusun sebelah.  Mekanisme pertukaranya fungsional dan bukan untuk untung rugi.

Namun sejak pertengahan tahun 2007, masuklah kebijakan-kebijakan pembangunanan desa yang berspektif kota. Puncaknya pada pengesahan UU Desa tahun 2014. Filosofinya bagus, hendak membangun Indonesia dari pinggiran. Desa, rupanya memang adalah pinggir, bukan pusat.

Dalam nomenklatur UUD Desa, disebut bahwa desa perlu dilindungi, diberdayakan agar menjadi kuat, maju, mandiri dan demokratis. Satu tiang besarnya adalah desentralisasi anggaran. Pemerintah mengucurkan dana pembangunan dan menyerahkan pemanfaatannya pada desa. Semua terlihat ideal sampai di suatu titik, ketika dana ini mengucur setiap tahun dan dalam jumlah yang semakin besar.

*

Witna, yang sedang hamil besar, bercerita dengan mata berkaca-kaca. Ayahnya adalah pemangku gelar adat Tengku Datuk Bendaro selama dua puluh tahun, sebelum akhirnya “dijatuhkan”. Tengku Datuk Bendaro adalah gelar pucuk datuk nagari Muaro Sungai Lolo, sebuah desa terpencil di Kecamatan Mapatunggul Selatan, Kabupaten Pasaman, Sumatra Barat. Seluruh urusan adat, mulai dari lingkup terkecil rumah tangga hingga kesukuan, disandarkan pada pertimbangan dan kebijaksanaannya.

Dulu, tak ada orang yang ingin menjadi datuk karena beratnya tanggungjawab secara moral dan intelektual. Tidak ada kompensasi nominal apapun. Datuk tidak diatur dan diukur oleh uang. Ia jabatan terhormat dan yang mengisinya harus tak bercela. Sekali menjadi datuk, maka ia tak dapat melepasnya kecuali mati atau melakukan hal tak terpuji. Namun itu dulu, sebelum bentuk-bentuk dana luaran masuk ke nagari yang jorong-jorongnya (dusun) hanya bisa ditempuh dengan jalur sungai ini.

Sejak para datuk diberi pos anggaran dengan jumlah puluhan hingga ratusan juta, banyak yang gelap mata. Mereka mengincar jabatan ke-datuk-an (lembaga adat).  Fitnah mulai menjadi tamu di kampung yang bersahaja itu. Rumor bahwa ayah Witna adalah anak haram dari perkawinan nenek dan kakeknya, hanya satu diantara kejinya kabut fitnah. Ia tetiba hadir setelah tak sekalipun pernah berhembus dalam dua puluh tahun masa datuk tanpa gaji. Sang ayah yang tak sanggup menghadapi fitnah ini, sakit-sakitan dan meninggal.

Pak Syafri sekretaris nagari, mengatakan bahwa satu dari sekian banyak pos bea rutin dana desa adalah untuk operasional pengurus Lembaga Adat Nagari (LAN). LAN beranggotakan para datuk sesuai jumlah suku dan dipimpin oleh yang bergelar Tengku Datuk Bandaro (pucuk datuk).  Dana ini dibayarkan tiap tiga bulan sekali. Selain itu juga tersedia dana untuk pembangunan kantor LAN, dana pelatihan ke kabupaten atau provinsi, dana upacara adat dan kegiatan lain yang diusulkan LAN.

Galibnya, sejak ada dana desa, uang menjadi panglima. Apa-apa ada dananya. Melakukan apapun ada uangnya. Ada imbalannya. Perlahan anak-anak muda yang baru mulai ikut partisipasi di pemerintahan nagari, melihat uang dan proyek. Setiap anggaran dana desa turun, ada proyek. Dan itu artinya ada uang serta ada semacam “fee” yang masuk ke kantong-kantong petugas kantor wali. Proyek dikerjakan dengan imbal keuntungan. Anak-anak muda tak lagi mengenal gotong royong selain jargon kosong. Sungguh perusakan mental dalam bentuknya yang sublim.

Nagari ini tak lagi sama. Secara fisik ia memang tampak lebih maju, namun jiwa kekeluargaannya, redup. Menanti mati. Berevolusi menjadi kota di desa yang sepenuhnya bergantung pada negara. Lemah dan rapuh. Dalam kondisi seperti ini, wajar jika desa bisa diarahkan untuk kepentingan politik dan ekonomi apapun. Cukup gertak dengan penundaan pengucuran anggaran, maka desa akan megap-megap kehabisan daya gerak.

Padahal dulu, adat dan nilai lokal memagari desa dari ketergantungan semacam ini. Desa dikuatkan dari dalam, kecukupan di atas kaki sendiri. Puak-puak kecil adat di desa inilah yang bertahan melewati musim demi musim sejarah; feodalisme, kolonialisme, imperialisme. Hingga lahir lah sebuah negara modern bernama Indonesia.  

Filsafat hidup di desa “Ada sama dimakan, tak ada sama dicari, setitik di gunungkan, setetes di lautkan”. Adalah jamak bahwa yang berada memberi lebih banyak dari yang kurang. Yang sulit ekonominya tidak dibebankan urunan harta atau benda, tapi tenaga atau pikiran. Tak ada yang superior dan karenanya tak ada juga yang inferior. Semua sesuai petatah petitih adat, bahwa setiap manusia punya fungsinya masing-masing.

“Nan buto paambuih lasuang
Nan pekak palapeh badiak

Nan lumpuah pauni rumah

Nan kuaik paambok baban
Nan binguang disuruah suruah
Nan cadiak kawan barundiang”

(Yang buta bertugas meniup tungku,

Yang tuli penyulut bedil/meriam

Yang lumpuh penunggu rumah

Yang kuat pembawa beban

Yang bingung/kurang akal untuk disuruh-suruh

Yang pandai jadi juru runding/diskusi)

Kini, jangankan urunan, setiap pesta desa yang menjadi hajat bersama pun, dibiayai oleh dana desa. Terus begitu setiap tahun hingga menjadi kebiasaan baru. Warga dibuat sangat tergantung dengan banyaknya bantuan yang terus datang. Dana BLT, dana subsidi BBM, dana PKH, dana bantuan sekolah siswa miskin. dana sembako, dan masih banyak jenisnya. Pak Asdi, kepala Jorong  1 membabarkan jumlah yang diterima satu keluarga bisa mencapai 10 juta dalam dalam satu tahun.

Di akhir tahun 2022, 400,1 triliun dana desa mengalir ke 74.957 desa. Jumlah ini masih di luar bantuan keuangan pemerintah provinsi dan kabupaten dan segala rupa alokasi bagi hasil.

Dulu, desa tak butuh di luar kolektifnya  untuk hidup. Mandiri dan berdikari, persis mimpi Soekarno yang direproduksi di masa Jokowi. Lalu pengelola negara mengelompokkkan mereka dalam kelas-kelas miskin, menengah dan sejahtera, dengan ukuran-ukuran khas orang pusat.

Belum cukup sampai disitu. ICW melansir data lahirnya pencuri-pencuri kecil (perangkat desa) yang mencoleng langsung dari periuk rakyat. Jumlahnya tak kira-kira. Hingga tahun 2020 saja menempati urutan ketiga tertinggi setelah ASN dan swasta. Jika aparatus desa ini tega mengambil hak orang-orang yang berbagi asal-usul dengannya, berjalin ikatan darah dan kekerabatan bersamanya, memakan beras dari tanah dan minum air sungai yang sama, lalu bagaimana kelak jika mereka bertakdir mengelola satu Indonesia?

Ini hanya satu dari senarai kisah desa dan bagaimana kebijakan berdampak. Setelah 7 tahun redistribusi anggaran (dan engan tidak menghitung  bentuknya di masa SBY), tak sedikit desa yang kehabisan akal menuntaskannya. Dana desa yang bersisa dianggap kegagalan. Dan alokasi tahun berikutnya dikurangi. Banyak desa tersesat dan berakhir dengan melebarkan jalan yang sudah lebar, merenovasi kantor desa yang sudah megah, sementara di sekitarnya, rumah warga berkalang tanah. Semua demi terserapnya anggaran.

Tulisan ini hanya suara sayup yang dikirim untuk jadi PR para aktivis inisiator UU Desa. Seperti kebanyakan kritik lainnya, kisah yang dipungut dari “pinggiran” ini barangkali mengingatkan jika analisis dampak sebelumnya, bisa jadi belum lengkap. Belum selesai.  Dan itu, justru pada bagiannya yang vital: Terberi tunai terbunuh nilai.

RATNA DEWI, penggiat Seloko Institute

Leave a Response