Logika Developmentalisme dan Perampasan Hak Hidup Warga Negara

Deveplomentalisme atau pembangunanisme menjadi paradigma kebijakan ekonomi dan politik sejak Orde Baru hingga sekarang. Dalam rentang waktu itu, ada gesekan antara kebijakan pembangunan dan perlindungan hak-hak warga negara.

Selasa, 8 Februari lalu, ribuan polisi mendatangi desa Wadas, Purworejo, Jawa Tengah, dengan dalih melakukan pengukuran untuk kepentingan proyek pembangunan bendungan Bener. Proses pengukuran itu diwarnai tindakan represif. Warga ditangkap, diseret, dan dipukuli. Lebih dari 60-an warga ditangkap.

Sedikit mengulas proyek bendungan ini. Jika merujuk aturan, proyek ini tergolong “Proyek Strategis Nasional” yang secara ide teknokratisnya untuk menyokong pertanian dan energi. Salah satu proyek ambisius “ketahanan pangan” berbalut citra “energi alternatif” sehingga secara penampakan sangat baik dan bagus.

Namun, proyek ini penuh kontradiksi. Ada banyak pertanyaan muncul di benak kita: pembangunan bendungan ini untuk siapa? Energinya untuk siapa? Apakah benar ini untuk ketahanan pangan? Lalu bagaimana nasib lahan-lahan pangan yang berubah jadi bendungan ini?

Sedari awal rencana ini tidak pernah melibatkan warga. Tahu-menahu mereka dikabari bahwa dalam waktu dekat lahan hidupnya harus dilepaskan untuk kepentingan nasional. Tidak pernah mereka dilibatkan di setiap proses perencanaan dan penataan ruang; mereka dipaksa menerima begitu saja.

Prinsip  “Free Prior Informed Consent” (FPIC)seharusnya dipakai sebagai salah satu instrumen pembangunan berbasis hak asasi manusia. Namun, itu tidak dipakai, malahan warga dipaksa dan didorong harus menerima setiap keputusan pemerintah. Inilah yang terjadi pada warga Wadas. Mereka tidak punya suara untuk terlibat dalam pembangunan, bahkan mereka tidak punya hak untuk menolak pembangunan. Praktik dominasi kuasa semacam ini mengingatkan pada logika kekuasaan terpusat, represif dan hingga melayani segelintir orang sejak era kolonial hingga post-kolonial.

Kekerasan dan Developmentalisme

Gabriela Torres dalam “State Violence dalam Handbook of Social Problem” menyebut kekerasan negara secara luas, mulai dari kekerasan politik langsung dan genosida hingga redefinisi kekerasan negara sebagai jalan keluar bentuk neoliberal negara. Praktik ini mulai dari penyediaan layanan sosial dan penggunaan teknologi baru untuk pengawasan warga negara secara terselubung. Kekerasan negara, dan terkadang negara itu sendiri, jelas merupakan masalah sosial yang tidak hanya membentuk struktur pemerintahan tetapi juga kewargaan dan kualitas hidup individu dan komunitas.

Lalu, merujuk “Seeing The State: Violence, Seduction, and Neo-Tribal Developmentalism”, Wouters menyebut koersif atau penggunaan paksaan. Tindakan represif sejalan dengan upaya penguasaan atas suatu wilayah, kontrol hingga bagaimana menundukan suatu komunitas oleh negara. Kondisi ini sejalan dengan praktik koersif dan represif negara terhadap warga yang wilayahnya akan dijadikan objek pembangunan.

Konsep developmentalisme berjalan beriringan dengan pendekatan negara membenarkan praktik represif melalui aneka regulasi dan kebijakan yang seolah-olah mewakili kepentingan umum, tetapi hanya segelintir orang. Sejak orde baru hingga rezim terkini, praktik demikian dapat ditemui, seperti dalam catatan Eva Warburton dalam “A New Developmentalism in Indonesia”.

Developmentalisme di Indonesia dijalankan oleh segelintir orang atau 1 persen, yang dalam kajian Jeffrey Winters disebut sebagai oligarki, yaitu segelintir orang yang punya kekuasaan modal memperluas pengaruhnya hingga politik dengan tujuan meningkatkan dan mempertahankan kekayaannya. Ini dapat kita temui dalam komposisi kekuasaan, di mana didominasi oleh kelompok pemodal yang berkolaborasi dengan kelompok politik tradisional dan militer.

Tidak sulit untuk menemukan ini dalam komposisi kekuasaan Indonesia, baik di eksekutif mulai dari menteri hingga di legislatif. Mayoritas posisi politik itu diisi oleh aktor lama: pemodal, politisi dinasti, dan wajah militer. Namun, mayoritas mereka pemodal.

Riset Marepus Corner yang berjudul “Peta Pebisnis di Parlemen: Potret Oligarli di Indonesia” menyebutkan, setidaknya 5-6 dari 10 anggota DPR adalah pebisnis. Sejalan dengan itu catatan dari JATAM dalam laporannya “Oligarki Tambang di Balik Pilpres 2019” menyebutkan bahwa dua calon presiden disokong oleh gurita bisnis tambang.

Vedi Hadiz dan Robinson dalam “Reorganising Power in Indonesia” menyebut praktik kekuasaan dan politik semacam itu sebagai bentuk tatanan oligarkis, yang membentuk logika dari institusi-institusi sosial, politik dan ekonomi, menjadi arena kontestasi kepentingan untuk mengonsentrasikan kekayaan dan otoritas.

Maka, jika kita melihat kekerasan negara dalam suatu proyek pembangunan, watak itu dihasilkan oleh logika kekuasaan oligarkis, segelintir orang penuh kepentingan dan sedari awal predatoris. Kekuasaan itu telah membentuk regulasi dan kebijakan yang mendorong sebuah perampasan hak warga negara biasa secara sistematis. Hal ini dapat kita lihat dari logika pemakaian proyek strategis nasional, munculnya UU Cipta Kerja sampai UU Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum, semua tak lepas dari segelintir kepentingan kelompok berkuasa. Maka tak heran, logika pembangunan sangat lekat dengan “state capture” atas dasar ijon politik; bagi-bagi kekuasaan dan kekayaan. Dan semua prose situ melibatkan aparatus kekerasan negara.

Wadas adalah Contoh

Dalam kasus konflik agraria di Wadas, terjadi pengerahan ribuan polisi, disertai praktik intimidasi dan represi, mulai dari memasuki rumah warga, melakukan penangkapan paksa, terkadang disertai pemukulan.

Padahal, proyek pembangunan di Wadas itu tidak melibatkan warga, tidak memakai prinsip FPIC, dan menormalisasi kekerasan demi menyikseskan proyek strategis nasional. Tentu saja, ini merupakan bukti konkrit penggunaan logika kekerasan untuk menyokong proyek developmentalisme oligarki.

Argumentasi tentang pembangunan untuk kepentingan umum menjadi lemah karena di dalamnya tak ada partisipasi, keterbukaan informasi, dan tanpa persetujuan. Ditambah lagi, agenda itu disertai dengan praktik kekerasan.

Kejadian di Wadas bukan satu-satunya. Sebelumnya juga terjadi di proyek pembangunan Bandara Kulonprogo, proyek pabrik semen di Rembang, tambang emas di Tumpang Pitu Banyuwangi, dan berbagai konflik agrarian di seantero Negeri.

Tentu saja, selama proyek pembangunan tidak partisipatif, tidak mau mendengar kehendak rakyat, tidak terbuka, mengabaikan hak-hak warga dan daya dukung lingkungan, maka pola semacam ini akan terus berulang. Kebijakan pembangunan justru berbentungan dengan kepentingan warga yang mempertahankan hak-haknya. Kebijakan pembangunan yang diwarnai darah dan air mata.

WAHYU EKA SETYAWAN,  Bidang Riset dan Kampanye Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Jawa Timur (Walhi Jatim)


Keterangan foto: Konflik agraria di Urutsewu, Jawa Tengah; Dokumentasi FPPKS, 2015, sumber: http://bumisetrojenar.blogspot.com/2019/10/kronologi-konflik-agraria-urutsewu.html

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid