Ketika Sukarno Mengkritik PBB

Sejak berdiri pada 24 Oktober 1945, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tidak pernah sepi dari kritik. Namun, kritik paling menghunjam dilontarkan oleh Presiden Republik Indonesia, Sukarno.

Pada 1960, saat Sidang Umum ke-15 PBB, Presiden pertama Republik Indonesia itu melantang kritik terhadap PBB. Tidak hanya soal Irian Barat, tetapi juga nasib bangsa-bangsa yang diperlakukan tidak adil oleh kolonialisme dan imperialisme.

Dunia saat itu sedang menghadapi arus besar dekolonialisasi, yang menyapu bangsa-bangsa di Asia dan Afrika. Banyak bangsa baru merdeka yang muncul. Sukarno menyebutnya dengan istilah: zaman pembangunan bangsa-bangsa.

“Lambat dan tak terelakkan, atau cepat dan tak terelakkan, kemenangan perjuangan nasional adalah suatu kepastian,” kata Sukarno.

Sayang sekali, menurut Sukarno, PBB gagal merespon perkembangan zaman baru itu. Misalnya, pengambil keputusan terpenting di PBB masih tetap di tangan “Big Four”: Amerika Serikat, Inggris, Uni Soviet, dan Perancis. Akibatnya, sikap dan kebijakan PBB selalu berat sebelah alias tidak netral.

Bangsa-bangsa yang baru merdeka tidak punya pengaruh yang penting dalam proses pengambilan keputusan. Bahkan, Republik Rakyat Tiongkok, negara baru dengan penduduk 600-an juta orang kala itu, ditolak keanggotannya.

Saat itu, AS dan sekutunya kekeuh mempertahankan Republik Tiongkok, sekutu lawasnya, yang tersingkir ke Taiwan pasca pendirian Republik Rakyat Tiongkok pada 1949. Dan ironisnya, PBB membebek politik AS.

Kedua, Sukarno mengeritik sikap PBB yang gagal menjadi “juru damai” di sejumlah negara yang dikoyak konflik, seperti perang Vietnam, Aljazair, Kongo, dan Korea. Dalam perang Korea, PBB terang-terangan memihak Korea Selatan.

Indonesia sendiri punya nasib serupa. Pada 28 September 1950, Indonesia resmi menjadi anggota ke-60 Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Saat itu, masalah Irian Barat mulai mencuat. Belanda tak punya itikad baik untuk merundingkan masalah tersebut.

Sejak awal, Indonesia mencoba jalan damai. Karena itu, pada 1954, Indonesia berusaha membawa masalah Irian Barat ke Sidang Umum PBB. Sayang, hingga Sidang Umum ke-12 tahun 1957, Indonesia tak mendapat titik terang.

Ketiga, Sukarno mengeritik PBB yang tak bisa menjadi penengah yang netral dalam benturan dua blok besar dalam perang dingin. Menurutnya, suasana perang dingin sudah merembes ke dalam pekerjaan, administrasi, dan rumah tangga PBB.

Menurut Sukarno, agar PBB terbebas dari hawa perang dingin, maka sekretariat PBB harus dipindahkan dari New York (AS) ke negara-negara netral.

“Marilah kita tinjau apakah Asia atau Afrika atau Jenewa akan dapat memberi tempat yang permanen kepada kita, yang jauh dari Perang Dingin, tidak terikat pada salah satu blok dan di mana para delegasi dapat bergerak dengan leluasa dan bebas sekehendak mereka,” katanya.

Selain meminta pindah sekretariat, Sukarno juga mendesak agar piagam PBB diubah agar selaras dengan perkembangan zaman dan tuntutan baru masyarakat dunia.

“Dunia ini pun tidak sama dengan yang dahulu. Mereka yang dengan kebijaksanaan berjerih payah untuk menghasilkan Piagam Organisasi ini, tidak dapat menyangka akan terjelmanya bentuk yang sekarang ini,” jelasnya.

Terkait benturan ideologi perang dingin yang seakan tak terdamaikan itu, Sukarno menawarkan jalan ideologi alternatif: Pancasila. Menurutnya, Pancasila lebih mencerminkan kondisi kekinian ketimbang Piagam PBB.

“Saya yakin, ya, saya yakin seyakin-yakinnya bahwa diterimanya kelima prinsip itu dan dicantumkannya dalam piagam, akan sangat memperkuat Perserikatan Bangsa-Bangsa. Saya yakin, bahwa Pancasila akan menempatkan Perserikatan Bangsa-Bangsa sejajar dengan perkembangan terakhir dari dunia,” ujarnya.

Di pengujung pidatonya, Sukarno menyinggung imperialisme dan kolonialisme sebagai sistem jahat yang telah menggiring dunia ketiga ke dalam kemiskinan dan perang.

Baginya, dunia tidak akan pernah tenang dan damai selama masih ada imperialisme dan kolonialisme.

Menurutnya, perbaikan terhadap PBB haruslah senapas dengan semangat membangun dunia baru yang lebih aman, damai, adil dan makmur.

“Kami berusaha membangun suatu dunia, di mana setiap orang dapat hidup dalam suasana damai. Kami berusaha membangun suatu dunia, di mana terdapat keadilan dan kemakmuran untuk semua orang,” tegasnya.

Pidato Sukarno ini memang tak banyak mengubah wajah PBB sesudahnya. Pun PBB tak berbuat apa pun terhadap Indonesia yang merasa dikepung oleh imperialisme.

Isu Papua baru mendapat perhatian serius dari PBB pada Sidang Umum ke-17 tahun 1962. Namun, Indonesia kembali menelan pil kecewa setelah PBB menetapkan Malaysia sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan (Security Council).

Memang, sejak awal Indonesia tidak mau mengakui berdirinya Federasi Malaysia. Negara yang diproklamirkan pada 31 Agustus 1957 itu sangat disokong oleh Inggris. Bagi Sukarno, federasi Malaysia tak lebih dari “boneka Inggris” untuk menjepit kedaulatan Indonesia.

Karenanya, begitu Malaysia ditunjuk sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan, Sukarno benar-benar meradang. Dia pun segera menarik Indonesia keluar dari PBB pada 20 Januari 1965.

Namun, tak lama kemudian, terjadi peristiwa G30 S 1965, yang mengubah politik Indonesia. Sukarno lengser, lalu digantikan oleh rezim Soeharto. Pada 19 September 1966, rezim baru mengirim telegram ke PBB. Isinya: keinginan untuk bergabung kembali ke dalam PBB.

Akhirnya, pada 28 September 1966, Indonesia kembali ke pangkuan PBB.

RIO PUJAKESUMA

[post-views]