Kesejahteraan Buruh dan Industrialisasi Nasional

Kamis, 3 Agustus 2023, sejumlah perwakilan federasi dan konfederasi serikat buruh/serikat pekerja memulai long march dari Bandung menuju Jakarta. Puncaknya, menurut rencana, akan terjadi mobilisasi ratusan ribu buruh ke Istana Presiden pada 10 Agustus 2023 besok, menuntut pembatalan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja dan beberapa peraturan lain, termasuk UU Kesehatan, serta perbaikan terhadap sistem jaminan sosial.

Rencana aksi massa buruh ini bukan berita baru. Lebih dari dua dekade terakhir gerakan buruh menggeliat menuntut perbaikan kesejahteraan, termasuk yang terkini adalah protes terhadap UU Cipta Kerja. Aksi-aksi ini akan terus terjadi sepanjang tidak disikapi secara bijaksana oleh penguasa.

Sampai hari ini, beberapa persoalan yang dinilai penting oleh buruh dalam UU Cipta Kerja belum bisa dijawab oleh pemerintah, misalnya soal lemahnya pembatasan terhadap sistem kerja waktu tertentu, serta dihapusnya kewajiban pembayaran upah selama cuti haid dan cuti melahirkan.

Mengenai skema upah yang ditentukan berdasarkan inflasi dan pertumbuhan ekonomi pun masih perlu dikritisi lebih lanjut. Pasalnya, kenaikan harga kebutuhan pokok yang mutlak dibutuhkan pekerja/buruh bisa lebih tinggi dibandingkan inflasi secara keseluruhan. Sementara penentuan besaran kenaikan upah tidak memperhitungkan secara khusus kenaikan harga barang kebutuhan pokok tersebut.

Pendekatan terhadap persoalan buruh harus bercermin pada sejarahnya, yaitu pelanggaran atas hak-hak mendasar yang terjadi selama 32 tahun kekuasaan Orde Baru. Pada masa itu buruh ditempatkan sebagai obyek ekonomi politik yang dibayar murah tanpa hak mengorganisir kekuatan atau mengajukan daya tawar.

Pertumbuhan industri sepanjang dekade 1980-an sampai pertengahan 1990-an, dengan modal asing dan pasar ekspor, menjadikan buruh upah murah sebagai “keunggulan komparatif” Indonesia menarik investor dibandingkan negara-negara lain. Organisasi buruh berada di bawah kendali penuh rejim. Setiap upaya mengorganisir kekuatan, dan apalagi pemogokan, ditumpas secara brutal.

Lantas apa yang berubah setelah era kapitalisme yang dilindungi sistem kediktatoran militeristik itu berakhir? Sayangnya, hampir tidak ada. Satu-satunya yang diperoleh adalah kebebasan berserikat. Sementara kondisi kesejahteraan tidak berubah atau malah menurun.

Kebebasan berserikat inipun masih relatif. Pertama, karena (kebebasan ini) diganggu oleh pengesahan liberalisasi pasar tenaga kerja yang dikenal dengan labour market flexibility melalui UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan. Sistem ini, dalam derajat tertentu, telah menceraiberaikan buruh menjadi atom-atom individual yang sulit mengorganisasikan diri karena jam kerja yang lebih panjang, upah yang lebih rendah dan ikatan kerja yang tidak pasti (kontrak dan outsourcing).

Kedua, kebebasan mengorganisasikan diri ini juga, sekalipun dilindungi oleh UU No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh, dalam prakteknya masih dinodai pelanggaran-pelanggaran tanpa ada satupun pihak pelanggar yang diganjar hukuman sesuai ketentuan UU tersebut. Sehingga hampir tidak tampak hubungan antara kebebasan berserikat dengan meningkatnya kesejahteraan secara agregat, tanpa mengabaikan arti penting keberhasilan-keberhasilan dalam skala kecil.

Dalam situasi perburuhan yang demikian, pemerintah sekarang mengedepankan agenda hilirisasi yang akan diikuti dengan industriliasasi. Agenda besar ini, bila dijalankan dengan strategi yang tepat, tentu akan menarik atau membutuhkan tenaga kerja dalam jumlah besar. Dari berbagai keterangan pemerintah untuk mempertahankan substansi UU Cipta Kerja, selain soal perlindungan terhadap UMKM, adalah terkait agenda hilirisasi ini.

Perangkat peraturan perundang-undangan semestinya mengatur jaminan negara terhadap akses lapangan kerja yang bermartabat bagi kemanusiaan sebagaimana disebutkan dalam Konstitusi. Di sini perlu kesepahaman tentang skema menyejahterakan pekerja yang tidak perlu ditunda-tunda, karena sebagian dari indikator kesejahteraan bisa dipenuhi baik oleh negara maupun perusahaan dengan beberapa pengecualian seperti terhadap usaha kecil dan mikro. Misalnya, negara dapat memberikan jaminan sosial yang lebih pasti di bidang pendidikan, kesehatan, serta perumahan.

Bahkan apabila menggunakan sudut pandang kepentingan pelaku usaha yang menggugat soal keterampilan dan produktivitas pekerja, maka persoalan hulu tersebut (pendidikan dan kesehatan) yang harus diperbaiki oleh negara. Paradigma pendidikan dan kesehatan sebagai lapangan bisnis untuk mengejar profit sudah harus digantikan dengan investasi sosial yang sebesar-besarnya dari negara untuk peningkatan sumber daya manusia (SDM). Mencermati contoh negara-negara yang tidak memprivatisasi sektor pendidikan dan kesehatan, peran negara seperti disebutkan di atas justru telah meringankan beban perusahaan dalam biaya tenaga kerja (labor cost).

Persoalan terkait lainnya, struktur tenaga kerja Indonesia berdasarkan kategori latar belakang pendidikan tidak pernah berubah sejak masa Orde Baru, dengan jumlah lulusan sekolah dasar mencapai 50%, sedangkan lulusan sarjana berkisar antara 1-3%. Berbagai kebijakan seperti UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan yang mewajibkan program wajib belajar 12 tahun, sampai dengan anggaran pendidikan 20% dari APBN ternyata tidak membuahkan perubahan signifikan terhadap struktur dimaksud setelah 20 tahun dijalankan. Demikian halnya jaminan kesehatan lewat BPJS lebih banyak diwarnai diskriminasi dan ketidakpastian akibat landasan orientasi profit dalam sistem kesehatan nasional.

Kita tidak ingin sejarah berulang, bahwa proses tumbuhnya industri (yang akan terjadi lewat hilirisasi) kembali menempatkan buruh sebagai obyek ekonomi politik upah murah untuk menarik investasi. Oleh karena itu perlu upaya yang lebih serius untuk menjamin martabat kemanusiaan tenaga kerja, baik dalam hal upah yang layak maupun jaminan sosial lainnya, untuk menyongsong program besar hilirisasi dan industrialisasi yang sedang menjadi trend umum di dunia negara-negara berkembang atau yang dikenal dengan sebutan Global South.

[post-views]