Dalam sebuah artikel yang dimuat di SKH Solopos 17/01/2017 Anindita Siswanto Thaif menuliskan dalam abad pencerahan melahirkan semboyan bahwa manusia merupakan pusat kehidupan. Sebagaimana juga pernah dikatakan oleh seorang filsuf Yunani Aristoteles, manusia adalah hewan yang berfikir. Itu artinya dia memiliki rasio sesuatu yang dimiliki binatang. Dengan kemampuan rasio itulah dalam puncaknya melahirkan gerakan revolusi industri di negara Inggris dan revolusi sosial [Komune Paris] di Prancis. Manusia mengangkat dirinya sebagai raja dunia. Dari konsep inilah kemudian melahirkan konsep Antroposentrik. Eksploitasi terhadap alam berasal dari pandangan akan konsep tersebut. Sebagai penguasa dunia, manusia mempunyai hak dan kewenangan untuk menguras kekayaan sumber daya alam sepuasnya. Maka jadilah hutan-hutan sebagai penyeimbang alam digunduli. Isi perut bumi terus dikeruk sumber kekayaannya.
Mengutip tulisan dari Ratna W. Rahma dalam Panta Rhei Filsafat UGM pada 20 Mei 2008, Masyarakat Jawa sejak dari nenek moyangnya hingga saat ini justru telah mempunyai kesadaran dan tingkat pemahaman yang tinggi akan kosmos. Kosmosentrisme spiritual yang kini didengungkan manusia modern sebagai media kritik dan alternatif terhadap paradigma antroposentrisme sekuler telah lama dimiliki dalam sistem struktur pada masyarakat Jawa. Manusia hidup dalam jagad ageng dan jagad kecil. Jagad ageng atau besar adalah makrokosmos tempat alam semesta tergelar. Sementara jagad kecil merupakan mikrokosmos sebagai tempat manusia menjejakkan kakinya. Sistem kosmologi Jawa telah meletakkan posisi manusia itu sejajar dengan alam untuk saling melengkapi, bukan untuk mengeksploitasi secara brutal. Dalam budaya Jawa ketika manusia itu lahir, tali pusarnya [ari–ari] dipercaya sebagai kembaran yang ditanam dalam tanah. Hal ini merupakan pengejawantahan jika manusia itu menyatu dengan alam. Dengan begitu, Kosmologi Jawa mengajarkan bahwa manusia itu menghormati dan selaras dengan alam.
Harmonisasi manusia dengan alam memang sudah ada sejak nenek moyang ada mendiami Nusantara. Salah satu tandanya kini dapat kita telisik melalui sejarah arsitektural Keraton Kasultanan Yogyakarta yang berada segaris lurus [sumbu imaginer]: sumbu utara itu gunung dan sumbu selatan itu laut. Memang sejak jaman dahulu kala masyarakat Jawa hidup selalu berdampingan secara sinergis dengan alam lewat keyakinan yang sudah membumi. Misalnya tanaman padi di sawah selalu dilindungi oleh Dewi Sri. Dari situlah kemudian muncul ritual-ritual sebagai bentuk penghormatan terhadap Dewi Sri sebagai Ibu Pelindung serta Ibu Pemberi Kemakmuran, penjaga kelahiran dan ibu kehidupan.
Tak dapat dipungkiri bahwa bersamaan dengan meningkatnya rasionalitas dan perkembangan rekayasa teknologi manusia, ruang hidup manusia malah semakin menyusut. Lingkungan ekologi terus memburuk dan telah mencapai pada tahapan titik nadir. Proses ini berlaku seakan hukum alam yang berjalan tanpa disadari namun niscaya akan terjadi. Proses yang dijalani manusia membawa mereka menuju pada timbulnya kekacauan yang menaungi dalam bencana.
Kendi dan Sikap Kesederhanaan
Ketika masih kecil, saya masih ingat bagaimana kakek-nenek saya di kampung sering meletakkan kendi beserta perlengkapannya pada posisi terdepan pada bagian area masuk [baca reggol]. Warga lain juga meletakkan kendi di setiap reggol rumah masing-masing, Fungsi kendi dan perlengkapannya itu adalah sebagai penyediaan air minum yang diperuntukkan bagi setiap orang [musafir] yang sedang melakukan perjalanan atau pengembaraan dari satu tempat ke tempat lain.
Dalam struktur masyarakat komunal, masyarakat belum banyak mengenal status kepemilikan yang dikuasai secara pribadi. Akan tetapi struktur masyarakat sebagaimana yang saya ceritakan di masa kecil sudah mampu menghidupkan romantisme akan nilai – nilai kebersamaan. Maka kendi-kendi pada setiap reggol itu merupakan “sebuah ruang teritory” paling terdepan dalam membangkitkan dan membangun nilai kesadaran esensi manusia bahwa dirinya merupakan makhluk yang tidak sendirian karena manusia adalah bagian dari gerak dunia dan merupakan bagian dari gerak dalam struktur masyarakat itu sendiri dalam lingkungannya. Hal senada juga pernah diungkap dalam sebuah tulisan dari Ala NU yang diposting pada Rabu, 05 Juli 2017 dalam www.islammoderat.net
Jika pada jaman sebelum banyak ditemukan moda transportasi modern untuk mempercepat perjalanan dari satu tempat ke tempat lain, banyak sekali ditemui para pejalan kaki [para musafir yang dikarenakan perjalanannya merasakan dahaga-kehausan] pasti akan menghampiri di setiap rumah milik siapapun itu untuk meminum air dalam kendi yang sudah disiapkan oleh si empu pemilik rumah. Dalam skenario ini tentu saja ada batas-batas teritori yang begitu sangat puitik dan romantis antara fungsi ruang kepemilikan bersama, fungsi sosial, dalam pola ruang-ruang domestik struktur masyarakat kampung. Kepemilikan pada masa lalu justru tidak mengacu kepada nilai-nilai yang berorientasi profite dalam kalkulasi hitung-hitungan nilai antara untung dan rugi. Akan tetapi kepemilikan masa lalu dinilai dari seberapa jauh manusia dapat berfungsi atas ruang komunal dalam struktur sosial masyarakat dalam lingkungannya.
Akan tetapi setelah gelora semangat ide kapital telah berhasil dicangkokkan dalam struktur sosial masyarakat, maka individu–individu sudah diartikan sebagai kebebasan yang mematikan dalam setiap sendi ruang-ruang kebersamaan. Ruang kepemilikan hanya dibentuk oleh besaran nominal yang berorientasi profite bahkan sudah dijadikan sebagai ajang kompetisi dalam arena pertarungan kehidupan sosial masyarakat modern. Kendi-kendi itu sekarang sudah berubah menjadi gelas-gelas plastik produk kemasan air mineral. Akan tetapi tidak selamanya dalam sistem struktur masyarakat modern kekinian itu mampu memperbudak keinginan manusia untuk terus berada dalam kungkungan lingkungan individualnya. Dalam beberapa kali kejadian ketika saya bepergian dari Jogja ke Jakarta dan sebaliknya, Saya pernah menjumpai di beberapa wilayah Pantura ada beberapa sekumpulan orang–orang yang menyediakan air bagi siapa saja yang merasa dahaga lalu diberikan secara cuma-cuma tanpa memungut bayaran serupiah-pun. Tentu saja mereka itu tidak lagi mencari nilai atas besaran jumlah nominal dalam segelas air mineral tersebut. Akan tetapi mereka lebih mencari akan makna nilai-nilai jiwa sosial sebagai manusia yang humanis dalam segelas air.
EPILOG
Sikap kesederhanaan ibarat romantisme seperti dalam kendi-kendi yang berada di depan reggol setiap rumah di kampung saya dulu. Tentu saja hal ini banyak memberikan pelajaran berharga buat kita semua tentang bagaimana cara menghancurkan dinding-dinding bersekat yang membentuk ruang-ruang individualistik dalam struktur sosial masyarakat modern; meskipun secara kultur, sangat berbeda chasing dengan kejadian yang pernah beberapa kali saya temui ketika sedang melakukan perjalanan menuju ibukota Jakarta. Saya selalu berharap semoga saja semangat itu tidak luntur bersama perubahan akan hakikat ruang-ruang komunal dalam romantisme yang sangat puitis di masa lampau.
(Noval Hanan Irianto. ST)
Penggiat Arsitektur | Pendiri NdH architectural workshop Tinggal pinggir desa yogyakarta
- Fascinated
- Happy
- Sad
- Angry
- Bored
- Afraid