Sejak oktober tahun lalu, harga minyak dunia di bursa berjangka terus meroket. Orang memberi penjelasan beragam atas fenomena itu. Yang paling umum mengatakan, kenaikan harga minyak dunia dipicu oleh ancaman perang Iran.
F. William Engdahl, seorang peneliti dari Global Research, berusaha membantah argumentasi tersebut. Ia melihat kenaikan harga minyak saat ini lebih didorong oleh aksi spekulasi di Wall Street.
Sejak oktober 2011, harga minyak brent di bursa berjangka terus meledak, dari 100 dollar AS per barel menjadi 120 dollar AS per barel. Namun, pada saat yang bersamaan, permintaan minyak mentah dunia tidak naik.
Badan Energi Internasional (IEA) melaporkan, pasokan minyak dunia meningkat 1,3 juta barrel per-hari dalam tiga bulan terakhir di tahun 2011, sedangkan permintaan minyak dunia hanya naik setengah pada periode yang sama.
Penggunaan gasoline menurun di sejumlah negara, seperti di AS (8%) dan Eropa (22%). Resesi yang melanda eropa, depresi ekonomi di AS, dan perlambatan ekonomi Jepang, adalah pemicu penurunan permintaan minyak dunia.
Engdahl menyebutkan, harga minyak naik karena tekanan spekulasi di pasar minyak berjangka oleh hedge fund dan bank-bank besar seperti Citigroup, JP Morgan Chase dan terutama, Goldman Sachs, bank selalu hadir ketika ada uang besar yang dipertaruhkan dengan pengorbanan kecil.
Mereka mendapat kemudahan dari instansi pemerintah AS yang mengatur pasar derivative, yakni Commodity Futures Trading Corporation (CFTC).
Menuru Engdahl, saat ini para spekulator—yaitu pedagang berjangka seperti bank dan hedge fund yang tidak mengambil keuntungan dari perdagangan fisik melainkan membuat keuntungan dari kertas—sudah mengendalikan 80% bursa berjangka energi.
Awal Maret lalu, Menteri perminyakan Kuwait, Hani Hussein, yang dikutip Engdahl, mengatakan, “jika mengacu pada teori pemintaan dan penawaran, maka harga minyak hari ini tidak dapat dibenarkan.”
Gertak-gertakan antara Israel dengan Iran, maupun dengan AS, justru menjadi senjata untuk memainkan spekulasi minyak. “Dampak dari retorika perang itu menciptakan latar-belakang ideal untuk memassifkan aksi spekulasi harga minyak,” kata Engdahl.
Selain itu, kata Engdahl, pemicu gelembung harga minyak adalah kebijakan Obama memberlakukan sanksi ekonomi yang dikenakan pada transaksi minyaak di Bank Sentral Iran. Dengan melarang Jepang, Korea Selatan dan Uni Eropa untuk tidak mengimpor minyak dari Iran, Washington telah berhasil mendorong penurunan drastis pasokan minyak Iran di pasar dunia.
“Dan itu menjadi tenaga pendorong bagi spekulator Wall Street untuk bermain di harga minyak,” kata Engdahl.
Biasanya, Iran mengirim setidaknya 2,5 juta barrel untuk dunia. Namun sekarang tinggal 300.000-400.000 barrel per hari.
Baru-baru ini, Menteri Energi Uni Emirat Arab, Mohammad bin Dhaen al-Hamli, yang berbicara di Forum Energi Internasional di Kuwait, juga menyebut spekulasi sebagai penyebab kenaikan harga minyak dunia.
“Volatilitas bukan karena pasokan atau permintaan. Hal ini terutama karena spekulasi dan situasi geopolitik,” katanya.
Pertanyaannya: kalau harga minyak dunia tergantung pada aksi spekulasi, maukah kita menyerahkan APBN kita untuk terus “digerus” oleh mereka?
RAYMOND SAMUEL
- Fascinated
- Happy
- Sad
- Angry
- Bored
- Afraid