Kekerasan Seksual Terhadap Anak Di Bawah Umur: Dampak dan Solusi

Jakarta, Berdikari Online-Eksekutif Nasional Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (EN-LMND) menyelenggarakan Seri Diskusi Perempuan. Diskusi ini berlangsung pada Senin, 14 Oktober 2024 via Live Streaming Akun Instagram lmndindonesia.

Seri Diskusi Perempuan bertajuk “Meningkatnya Kekerasan Seksual Di Indonesia Terhadap Anak Di Bawah Umur” ini menghadirkan dua narasumber yaitu Fifty Ayu Lestari Kosam (Direktur Berani Project Indonesia) dan Feby Rahmayana (Ketua Bidang Perempuan, Kesehatan & Kesetaraan Gender EN-LMND).

Fifty menjelaskan bahwa stigma masyarakat terhadap kekerasan seksual terhadap anak di Indonesia masih negatif sehingga apabila kasus kekerasan terjadi, masyarakat akan cenderung masih berperspektif terhadap pelaku.

Ketika hal itu terjadi, pertanyaan paling utama saat terjadi: korban menggunakan pakaian apa?

“Pertanyaan seperti ini menurutku sangatlah tidak pantas untuk ditanyakan karena akan menyudutkan korban kekerasan seksual dan membunuh mentalnya. Kekerasan seksual itu terjadi karena pelaku tidak bisa mengontrol pikirannya,” jelasnya.

Selain itu, Fifty menjelaskan bahwa masyarakat juga masih menglasifikasikan kekerasan seksual itu hanyalah sebatas pemerkosaan. Perlu diketahui bahwa bentuk-bentuk kekerasan seksual terdiri dari verbal dan nonverbal. Kekerasan seksual secara verbal yakni: mengomentari bentuk tubuh seseorang secara seksual, membuat lelucon atau komentar yang berbau seksual, menanyakan hal-hal pribadi mengenai kehidupan seksual seseorang, Menggunakan panggilan-panggilan seperti “sayang”, “cewek cantik” dengan nada yang merendahkan (Cat Calling). Sedangkan bentuk kekerasan seksual nonverbal yakni: ekspresi wajah dan gerakan tubuh mengarah pada aktifitas seksual, pandangan seksual yang mengintimidasi, isyarat tubuh yang mengarah kepada perilaku seksual, bunyi-bunyian seperti siulan, desahan yang bernuansa seksual.

Dia juga bicara soal angka kekerasan seksual terhadap anak di Indonesia. Berdasarkan Catatan Tahunan (Catahu) Komnas Perempuan pada tahun 2021, angka kekerasan seksual terhadap anak mencapai 851 kasus dan tahun 2022, angka kasus kekerasan seksual terhadap anak meningkat 2.228 atau 32,1%.

“Angka kekerasan seksual saya sebutkan di atas, kasus-kasus yang terlapor dan tidak terlapor masih banyak bahkan mengakar. Kasus kekerasan seksual terhadap anak dapat diibaratkan seperti fenomena gunung es. Konsep di Indonesia merespon kasus kekerasan seksual terhadap anak ‘no viral no justice’,” ungkap Fifty.

Terakhir dia menjelaskan faktor penyebab kekerasan seksual terhadap anak tidak ditangani sampai tuntas karena penegak hukum di Indonesia tidak berperspektif gender dan belum mempunyai kesadaran sehingga penyelesaian kasus tidak kunjung selesai.

Sementara itu, Feby menjelaskan bahwa kekerasan seksual terhadap anak merupakan kejahatan kemanusiaan yang ada dalam struktur kehidupan masyarakat. Hal ini perlu ditanggapi dengan serius oleh pemerintah, masyarakat, dan instansi terkait. Dampak kekerasan terhadap anak berpengaruh terhadap kondisi psikologisnya.

“Dalam kasus kekerasan, kondisi mental korban harus menjadi prioritas utama dalam proses penanganannya. Trauma pasca kekerasan seksual akan mempengaruhi tumbuh kembang anak dalam jangka waktu panjang,” kata Feby.

Feby juga menjelaskan dampak psikologis yang akan dialami oleh anak korban kekerasan seksual. Secara psikologis, dampak paling berpengaruh adalah pada kondisi emosional, kognitif, dan perilaku. Secara emosional, anak korban kekerasan seksual akan mengalami kesedihan berlebihan, depresi, gangguan kecemasan, sulit mengontrol emosi, anak menjadi kurang fokus. Secara kognitif, anak akan merasa harga dirinya rendah setelah mengalami kekerasan seksual, mudah merasa putus asa, mengalami trauma berat, menaruh rasa curiga berlebihan terhadap orang lain, dan akan merasa kesepian. Secara perilaku, anak akan cenderung menyakiti dirinya sendiri, berpeluang untuk bunuh diri, dan berpotensi besar untuk menjadi pelaku karena dendam.

Dia juga bicara soal kemungkinan-kemungkinan motif pelaku kekerasan seksual terhadap anak dipicu oleh beberapa hal yakni:

pertama, kecanduan pornografi. Orang dengan kecanduan pornografi cenderung melampiaskan hasrat seksualnya ke lawan jenisnya termasuk pada anak-anak. Karena fungsi lima bagian otaknya telah rusak dan bagian rusak parah adalah prefrontal korteks. Bagian ini berisi nilai dan moral untuk mengatur pikiran, tindakan, dan emosi.

Kedua, pelaku mengalami gangguan mental dipicu oleh trauma karena pernah menjadi korban kekerasan seksual di masa kanak-kanak.

Ketiga, pelaku orang dengan kelainan seksual (Pedofil): orang dengan nafsu seksual terhadap remaja dan anak-anak.

Terakhir dia menegaskan kekerasan seksual terhadap anak tidak bisa dianggap sepele karena menimbulkan efek negatif berkepanjangan.

Anak merupakan generasi emas menjadi pewaris peradaban bangsa. Apabila kesejahteraan dan keamanannya tidak dijamin sejak dini, maka bangsa akan kehilangan generasi emas berpotensial.

Selain menjelaskan tentang kekerasan seksual terhadap anak dan dampaknya secara psikologis, kedua narasumber juga memberikan langkah-langkah pencegahan dan penanganan.di antaranya:

  1. Penanganan dapat dilakukan untuk membantu pemulihan anak korban kekerasan seksual dengan melakukan pendampingan secara psikologis berkelanjutan
  2. Memberikan dukungan sosial dari keluarga dan lingkungan terdekat
  3. Melakukan sosialisasi dan penyuluhan tentang kekerasan seksual terhadap anak dan dampaknya bagi Kesehatan fisik dan psikologis
  4. Meningkatkan seks education dalam kurikulum Pendidikan
  5. Aktif menyuarakan dan mengkampanyekan di media sosial
  6. Membuat game-game dengan muatan edukasi dalam dunia Pendidikan
  7. Merancang program edukasi pada komunitas-komunitas dan lingkungan sosial
  8. Menciptakan sistem pelaporan yang mudah agar bisa diakses oleh Masyarakat
  9. Segera mengimplementasikan RUU TPKS dengan konsekuen
  10. Memberi dukungan holistik by aplikasi.

(Jul)

[post-views]