Kabar akan terbentuknya Kementerian Kebudayaan dalam pemerintahan Prabowo-Gibran membuka pendiskusian yang lebih luas di kalangan pelaku dan pemerhati budaya. Salah satu yang aktual adalah bagaimana menempatkan kebudayaan dalam strategi besar mencapai cita-cita Indonesia emas.
Dalam dokumen Visi Indonesia 2045 yang diterbitkan oleh Kementerian PPN/BAPPENAS tahun 2019, disebutkan empat pilar menuju Indonesia emas, yaitu: (1) Pembangunan Manusia serta Penguasaan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, (2) Pembangunan Ekonomi Berkelanjutan, (3) Pemerataan Pembangunan, serta (4) Pemantapan Ketahanan Nasional dan Tata Kelola Kepemerintahan.
Sementara, masih dalam dokumen tersebut, pada indikator-indikator kemajuan yang hendak dicapai di tahun 2045, telah dijabarkan baik pada tataran umum maupun yang lebih rinci pada masing-masing pilar di atas. Pada tataran umum, misalnya, disebutkan proyeksi Indonesia menjadi negara dengan ekonomi terkuat nomor lima di dunia, PDB per kapita 23,199 dolar AS, jumlah kelas menengah 70%, dan seterusnya. Pada tingkat yang lebih rinci, dijelaskan hal-hal seperti target pendidikan atau waktu belajar, partisipasi angkatan kerja, dan seterusnya.
Indikator-indikator di atas kental “bernuansa ekonomi”, sementara peran kebudayaan hanya samar terjelaskan. Dengan posisi tersebut, kebudayaan berada pada pilihan atau tidak memilih antara menjadikan sumber-sumbernya sebagai bagian dari katalisator ekonomi, dan/atau kebudayaan berada pada aras ideologis, mental dan intelektual untuk membangkitkan ikhtiar dan kemampuan manusia Indonesia bergerak menuju cita-citanya.
Kebhinekaan Indonesia menghamparkan kekayaan budaya yang luar biasa. Bisa dibilang salah satu yang terkaya di antara bangsa-bangsa di dunia. Dengan lebih dari 200 suku, ratusan bahasa, lima ribu kuliner khas, pengetahuan herbal, arsitektur, rupa-rupa busana, alat musik, sastra tulis maupun lisan, kerajinan, dan lain sebagainya adalah “bahan baku” yang melimpah untuk menghasilkan beragam bentuk produk turunan.
Sembari berkaca pada pengalaman Korea Selatan, mendiang Nirwan Asuka menyebut hal di atas sebagai hilirisasi budaya (Kompas, 1/8/2023). Nyatanya, disadari atau tidak, proses untuk menghilirisasi budaya ini telah menjadi bagian dari kebijakan pemerintahan selama beberapa tahun dengan adanya lembaga yang khusus menangani sektor “ekonomi kreatif”.
Dijelaskan bahwa sektor ini meliputi 17 subsektor yang hampir atau keseluruhannya berhulu pada kebudayaan seperti arsitektur, film, fotografi, kriya, kuliner, seni rupa, produk aplikasi, game, televisi dan radio, fashion, pertunjukan, desain interior, periklanan, penerbitan, desain komunikasi visual (DKV), dan musik.
Namun ada persoalan yang belum terjawab. Kita belum melihat hubungan atau koordinasi yang kuat antara “ekonomi kreatif” di satu sisi dengan tantangan kebudayaan sebagaimana dirumuskan dalam Strategi Kebudayaan yang tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 114 Tahun 2022. Kesenjangan atau keterpisahan ini penting disoroti karena berpengaruh terhadap totalitas pemetaan dan pengolahan potensi kebudayaan menjadi produk yang memiliki nilai ekonomi lebih tinggi. Misalnya, 17 subsektor dalam ekonomi kreatif belum mencakup keseluruhan kekayaan budaya sebagai “bahan baku” yang disebutkan sebelumnya.
Tapi ada hal penting lainnya yang justru menjadi fondasi, yaitu bagaimana identitas bangsa dapat dimaknai secara tepat. Charles Beraf (Kompas, 3/10/2024) merumuskan dengan baik pada salah satu kutipannya sebagai berikut:
“…jika tidak mendasarkan inovasi dan kreativitas pada identitas bangsa, seperti kata filosof Jean Baudrillard, kita hanya menghasilkan simulakra (citra buatan) yang dari waktu ke waktu tanpa disadari bisa menjerumuskan bangsa ke dalam ketercerabutan budaya.”
Pemerintah Indonesia, baik pada Era Presiden Joko Widodo maupun Presiden terpilih Prabowo Subianto, telah menekankan hilirisasi Sumber Daya Alam (SDA) sebagai katalisator utama gerak kemajuan ekonomi. Meski demikian, mempehatikan potensi kebudayaan sebagaimana uraian singkat di atas, apabila dipetakan dan diorganisasikan secara tepat, tidak menutup kemungkinan bahwa kebudayaan dapat menjadi “panglima” atau “memimpin” Bangsa Indonesia menuju cita-cita berdaulat, makmur, maju dan berkepribadian.
Perkembangan politik dunia (geopolitik) menyediakan dasar bagi berkembangnya nasionalisme baru terutama di negara-negera Selatan (Global South). Tak terkecuali Indonesia, terutama dengan tumbuhnya kesadaran tentang pentingnya hilirisasi di pelbagai sektor. Ada kesadaran bahwa watak ekonomi lama (kolonial) yang mengandalkan ekstraktifisme sudah tidak sesuai perkembangan dunia yang tidak lagi berpusat pada satu kekuatan utama. Demikian juga pada lapangan budaya, bangsa-bangsa di dunia mulai kembali pada akar sejarahnya, termasuk menjangkau kembali peradaban mereka yang pernah dirusak oleh kolonialisme sebagai inspirasi untuk menegakkan kejayaannya sekarang dan di masa depan. Kurang lebih seperti impian kita pada kejayaan Sriwijaya, Majapahit, atau leluhur lainnya.
Pada jarak yang lebih dekat, tonggak berdirinya Indonesia sebagai negara-bangsa yang berpuncak pada Proklamasi Agustus 1945 juga membubuhkan kebanggaan tersendiri. Penulis Belgia, David Van Reybrouck, menyebut Indonesia sebagai bangsa pertama yang mendeklarasikan kemerdekaan setelah Perang Dunia II yang menginspirasi puluhan bahkan ratusan bangsa setelahnya.
Patriotisme, martabat, rela berkorban, daya tahan, gotong royong, hingga segala daya upaya (atau bisa disebut sebagai kebudayaan karena menyangkut cipta, rasa, karsa, dan hasil karya) untuk melahirkan konsepsi Republik Indonesia, dapat pula dijadikan rujukan bagi produk-produk kebudayaan modern, untuk menciptakan wujud manusia Indonesia yang dicita-citakan. Seperti apa wujudnya itu, dapat kita diskusikan lebih lanjut. Mungkin berkebalikan dari enam sifat yang dikemukakan Mochtar Lubis 47 tahun silam dan ditambahkan sifat-sifat baik lainnya seperti yang diangkat kawan-kawan Jaker; demokratik, cinta ilmu pengetahuan, berani, pekerja keras, dan seterusnya.
Dengan demikian, “Kebudayaan sebagai panglima” di sini mengandung dua dimensi dan pengertian, yaitu: pertama, dimensi ekonomi atas dasar potensi kekayaan budaya yang berlimpah; kedua, dimensi etis dan estetis (atau mengutip K.H. Dewantara: keluhuran dan keindahan) mental, spiritual dan intelektual manusia Indonesia sebagai subyek penggerak kemajuan bagi bangsa serta peradaban. Berkebudayaan tidak hanya dihadirkan pada atau dimaknai sebagai berkesenian tapi juga hadir pada lapangan politik, ekonomi, dan kehidupan sosial yang sangat luas.
Penulis: Dominggus Oktavianus (Sekretaris Jenderal Partai Rakyat Adil Makmur)


