Kapitalisme Logistik Dan Buruh Ojol: Sebuah Bacaan Kritis

Dalam arus hidup perkotaan yang serba cepat, transportasi online muncul sebagai solusi instan yang efisien. Gojek, Grab, Uber—nama-nama yang identik dengan mobilitas digital dan kemudahan layanan. Namun di balik semua itu, tersimpan realitas ekonomi yang kompleks: transportasi telah berubah menjadi komoditas yang dikendalikan oleh algoritma, bukan sekadar alat bantu gerak.

Karl Marx, dalam Capital Vol. II, menjelaskan bahwa transportasi adalah bagian penting dari sirkulasi kapital. Meskipun tidak menghasilkan barang baru, layanan memindahkan barang dan orang dari produsen ke konsumen membentuk nilai ekonomi. Tenaga kerja di sektor ini—dari sopir truk hingga pengemudi ojek online—menambah nilai melalui jasa yang mereka berikan. Artinya, transportasi itu sendiri adalah komoditas, dan buruh transportasi adalah produsen nilai.

Dalam ekonomi digital, komodifikasi ini naik ke level baru. Platform seperti Gojek dan Grab tidak hanya menjual layanan antar-jemput. Mereka mengkomodifikasi mobilitas, waktu, ruang, bahkan data pengguna dan perilaku pengemudi. Sementara pengemudi disebut “mitra”, kenyataannya mereka berada di bawah kontrol algoritma: bergantung pada rating, lokasi, dan sistem penilaian otomatis untuk mendapatkan pesanan—tanpa jaminan kerja, upah layak, atau perlindungan sosial.

Fenomena ini telah dianalisis oleh para pemikir Marxis kontemporer sebagai bagian dari apa yang disebut kapitalisme logistik—sistem di manadi akumulasi nilai diperoleh bukan hanya dari produksi barang, tetapi dari percepatan sirkulasi. Jasper Bernes, misalnya, menyebut bahwa sistem ini beroperasi dengan “menghapus ruang-nekan melalui waktu” (annihilation of space by time), mengejar efisiensi logistik sambil menekan ongkos kerja dan menyingkirkan hak-hak buruh.

Kondisi buruh ojol mencerminkan itu secara langsung. Mereka harus bekerja lebih lama demi insentif yang semakin berkurang, menanggung risiko jalanan, dan bersaing satu sama lain di bawah sistem yang tidak transparan. Dalam banyak kasus, platform justru menjadi pemilik nilai terbesar, tanpa perlu memiliki kendaraan, membayar asuransi, atau menggaji pekerja.

Di berbagai negara, termasuk Indonesia, para pengemudi mulai melawan. Mogok, demonstrasi, petisi digital, hingga tuntutan pengakuan sebagai pekerja formal muncul sebagai respons terhadap eksploitasi terselubung ini. Pertarungan ini bukan sekadar soal tarif atau bonus, tapi menyentuh akar persoalan: siapa yang mengontrol nilai dalam sistem ekonomi digital ini?

Jika kita hendak membangun sistem transportasi yang adil, maka pendekatannya harus melampaui sekadar regulasi teknis. Kita perlu:

Mengakui dan melindungi buruh transportasi sebagai pekerja dengan hak sosial.

Mendorong model kepemilikan kolektif atau koperasi digital.

Menata ulang tata ruang kota agar mobilitas tidak lagi menjadi sumber komodifikasi dan eksploitasi.

Transportasi adalah nadi kehidupan modern. Namun di tangan sistem yang hanya mengejar akumulasi, ia berubah menjadi mesin ekstraksi nilai. Bacaan Marxis mengingatkan kita bahwa di balik layanan cepat dan murah, selalu ada buruh yang bekerja lebih keras dari yang kita bayangkan—dan saatnya mereka didengar.

Agung Nugroho, Penulis Merupakan Pengamat Dan Peneliti Sosial, Jakarta Institut

[post-views]