Tiba-tiba, udara politik nasional dipenuhi bunyi peringatan—yang meraung-raung seperti bunyi knalpot brong yang mengiringi setiap musim kampanye Pemilihan Umum— akan hilangnya demokrasi. Raungan akan kematian demokrasi ini dipicu oleh majunya Calon Presiden Prabowo Subianto yang berpasangan dengan Gibran Rakabuming Raka, sebagai Calon Wakil Presiden. Keduanya dengan hukuman etik yang mengiringinya dianggap sebagai ancaman demokrasi. Prabowo Subianto terkait kasus peculikan aktivis 1998 dan Gibran Rakabuming Raka, terkait perubahan syarat usia Calon Presiden dan Wakil Presiden yang melibatkan Paman Gibran.
Kompas pun merayakan jerit kegemparan itu setidaknya dengan menurunkan Tajuk Rencana Kompas berjudul ”Menyelamatkan Demokrasi” (5/1/2024), Opini Sukidi: ”Demokrasi di Ujung Kematian” (Kompas, 4/1/2024) dan “Memperkuat Demokrasi Kita” oleh Wijayanto, 18 Januari 2024, karena menganggap adanya perilaku antidemokrasi yang bisa membuat demokrasi mati di Indonesia sehingga masyarakat sipil perlu diperkuat.
Selain itu digambarkan juga bahwa hantu Orde Baru sedang bergentayangan seakan lupa bahwa situasi sudah jauh berbeda. Tidak seperti yang digambarkan Penyair Wiji Thukul dalam puisinya yang legendaris Peringatan, yang syair penutupnya menjadi seruan perlawanan terhadap Tirani Jenderal Soeharto: “Hanya ada satu kata: Lawan!” Saat ini setidaknya ada demokrasi. Partai-Partai bisa didirikan lebih bebas. Lembaga-lembaga penguat demokrasi dan hak-hak rakyat didirikan. Demontrasi bukan kriminal yang bisa dituduh subversib dan komunis tapi sudah menjadi hak dan cara demokratis rakyat dalam mengemukakan pendapat yang dilindungi Undang-Undang.
Jadi, rakyat sudah berani mengeluh. Bisa mengeluh di Komnas HAM, di Ombudsman, Komnas Perempuan, dan lain-lain bahkan di jalanan dan depan Istana Presiden. Itu artinya sudah tidak gawat situasi negara karena ada saluran untuk berbagai keluhan rakyat . Omongan penguasa pun sudah boleh dibantah bahkan sesuka hati atau sak udele dhewe kata Orang Jawa juga boleh. Tidak perlu ilmiah dan harus memberikan solusi atau pun konstruktif. Kebenaran tidak pasti terancam selalu bisa didiskusikan dan diperdebatkan. Hampir tak ada usul yang ditolak tanpa ditimbang hanya mungkin diabaikan karena berbagai alasan tapi usulan yang baik tentu juga diterima. Juga hampir tak ada suara dibungkam dan kritik dilarang tanpa alasan atau pun seseorang gampang dituduh subversif dan mengganggu keamanan sehingga bisa dilenyapkan begitu saja seperti jaman Orde Baru. Semua itu jelas sudah berubah apalagi bila kita ingat kata-kata bijak dari Herakleitos, filsuf Yunani abad ke-4 SM bahwa segala sesuatu mengalir dan berubah.
Justru yang kita keluhkan adalah demokrasi yang berjalan di era reformasi ini hanyalah demokrasi formal prosedural yang hanya menguntungkan kaum elit; yang membuat: yang kaya makin kaya dan yang miskin makin miskin. Itulah yang ditolak Bung Karno dalam konsepsi Socio Demokrasi. Bagi Bung Karno, demokrasi politik harus juga diimbangi demokrasi ekonomi. Sementara itu kita bisa melihat bahwa uanglah yang berkuasa dalam demokrasi kita saat ini dan kondisi ini sudah berjalan selama pemilu-pemilu era reformasi yang selalu diterpa “money politics”.
Apakah jerit kegemparan akan matinya demokrasi ini semata-mata karena hukuman etik yang ditimpakan pada Prabowo Subianto berkaitan dengan kasus penculikan? Padahal kita bisa melihat bahwa Prabowo Subianto telah menempuh jalan panjang, yaitu jalan demokrasi, mendirikan Partai, bahkan menjadi Calon Wakil Presiden Megawati Soekarnoputri pada Pemilu 2009, jalan Pemilihan Umum, yaitu meyakinkan rakyat yang tidak percaya menjadi percaya. Langkah seperti ini dalam menggapai kuasa haruslah dihormati oleh setiap orang yang mengaku demokrat; terlebih Pemilu 2024 bukan Pemilu Orde Baru yang bisa disetel semaunya oleh penguasa.
Atau apakah jerit kegemparan ini sebenarnya mewakili akan hilangnya privelege di bidang ekonomi yang selama ini dinikmati akibat dari program Hilirisasi yang hendak dilanjutkan Prabowo-Gibran? Selama ini diketahui bahwa ekonomi nasional yang berjalan secara ekstraktif masih dianggap sebagai kelanjutan ekonomi kolonial yang tidak menguntungkan Indonesia. Hilirisasi dianggap sebagai jawaban dan jalan keluar dari penindasan ekonomi penjajahan tersebut yang mengakibatkan orang-orang yang selama ini diuntungkan dengan model ekonomi ekstraktif itu menjerit menggemparkan udara politik Indonesia:
“Pelanggar HAM! Pelanggar Etika! Politik Dinasti! Makzulkan!”
Penulis : A.J Susmana


