Manado, Berdikari Online – Eksploitasi Sumber Daya Alam (SDA) berbasis Industri Manufaktur/Pertambangan bukan hal baru di Indonesia bahkan Sulawesi Utara.
Proses pertambangan di Indonesia juga sangat Ironis; pasalnya selalu menjadikan rakyat sebagai alat awal dalam menstimuluskan ketakutan mereka.
Warisan Belanda sering disebut sebagai Politik Devide et Impera (Politik Pecah belah) selalu menjadi alat mujarab bagi para penguasa menggandeng para cukong baik dari tingkat Nasional hingga pada tingkat Daerah.
Cara sederhana yang masih langgeng guna memecah belah rakyat yaitu dengan dalih seolah-olah membantu rakyat, bahkan terkesan menjadi superhero adalah mencipta kelompok pada tingkatan bawah guna menjalankan pertambangan konvensional.
Pertambangan konvensional akan dengan luar biasa dipadati oleh para pekerja lokal yang pada prinsipnya mengalami banyak kekurangan baik dari segi Sumber Daya Manusia bahkan sarana dan prestasi yang digunakan. Hal ini jelas akan merembes pada multi sektor yang sifatnya horizontal mulai dari saling cemburu; sebab ada yang berhasil dan tidak, bahkan tak tanggung-tanggung keterbatasan tersebut dapat membuat penambang meregang nyawa.
Kerusakan lingkungan juga selalu menjadi isu ketika dikelola oleh penambang rakyat. Semua itu akan dijadikan perusahaan sebagai kesempatan guna memposisikan diri mereka seolah sebagai penyelamat bahkan layaknya superhero.
Dengan dasar tersebut, pertambangan tak diserahkan lagi kepada masyarakat melainkan diserahkan kepada perusahaan atau koorporasi dengan segala jaminan sosial yang mereka janjikan disertai janji peran pemerintah meyakinkan rakyat dengan jalur pajak yang mereka kalkulasi sendiri.
Hal-hal ini hampir terjadi di semua pertambangan khususnya pertambangan Emas di Sulawesi Utara. Tidak ada satu perusahaan yang berdiri tanpa ada hal demikian yang dicipta. Jalur ninja yang dibuat selalu sama. Rakyat selalu dijadikan korban dimulai sejak awal mengetahui akan Sumber Daya Alam mereka. Terlebih dengan memporak-porandakan melalui jalur awal yaitu tambang rakyat.
Kenihilan ini sangat jelas bahwa dalam prinsipnya keberpihakan tidak pernah berada pada rakyat. Prinsip Berdiri Di Kaki Sendiri jelas tak akan pernah tercipta pasalnya Berdiri Di Kaki Sendiri sifatnya bukanlah top down (atas-ke bawah), melainkan sebaliknya. Artinya bukan penyeragaman agenda dari Nasional yang harus dibuat melainkan Pemerintah berperan mengelola dari tingkat bawah dengan jalur koperasi hingga pada tingkatan atas yaitu terciptanya Industri berskala Nasional.
Memperkuat argumen ini adalah masih adanya bukti konkret perseteruan antara penambang Rakyat dan Perusahaan. Sementara itu Pemerintah seolah memilih jalan tengah: mempersilahkan semua bertarung guna memenuhi legalitas. Secara jelas rakyat akan sulit menang menghadapi korporasi yang memiliki semua sumber daya.
Jalan Ninja yang dibuat oleh korporasi bercokol dengan pemerintah atau disebut Oligarkis jelas akan menjauh dari prinsip kita dalam berbangsa dan bernegara sebagaimana satu cita dasar mencipta Kemandirian Ekonomi yang berdasar pada Pancasila dan UUD 1945 Pasal 33.
(Alvian)

