“Inklusif belum tentu aksesibel”

Melihat Program Inklusivitas Digital Pada Bidang Pendidikan Di Wilayah Indonesia Timur

Saya adalah seorang Penyandang disabilitas fisik sejak 02 September 2020, sekaligus aktivis disabilitas di Kota Kupang Provinsi Nusa Tenggara Timur, di dalam tulisan ini saya ingin sedikit menulis tentang program inklusivitas digital pada pendidikan serta implementasinya di wilayah Indonesia timur Khususnya di Nusa Tenggara Timur.

Arti dari kata Inklusi

Pendekatan untuk memastikan semua orang tanpa diskriminasi dapat berpartisipasi secara penuh dalam masyarakat. sifatnya prinsipil dan menyeluruh.

Arti dari kata Inklusif

Sifat atau karakter suatu sistem/lingkungan yang menerima keberagaman dan terbuka bagi kelompok rentan. Contohnya sekolah inklusif, layanan inklusif gender dan minoritas.

Arti dari kata Aksesibilitas.

Prinsip teknis dan praktis untuk memastikan penyandang disabilitas dapat mengakses dan menggunakan layanan atau lingkungan secara mandiri. Tanpa aksesibilitas, inklusi hanya menjadi simbolik.

Dan pertanyaan yang sering timbul: Apakah inklusi hanya merujuk pada disabilitas? Tidak. Inklusi pada dasarnya adalah pendekatan atau prinsip yang memastikan semua orang, tanpa diskriminasi, mendapatkan akses setara terhadap hak, peluang, dan partisipasi. Ini mencakup semua kelompok rentan, termasuk perempuan, anak-anak, lansia, kelompok miskin, minoritas, dan tentu saja penyandang disabilitas.

Namun, secara historis dan dalam banyak konteks kebijakan (terutama pendidikan), istilah inklusi sering kali dilekatkan secara khusus pada isu disabilitas. Misalnya, “pendidikan inklusif” banyak digunakan untuk menyebut sistem pendidikan yang memasukkan anak disabilitas ke sekolah umum dengan dukungan yang sesuai.

Pertanyaan lanjutannya, Apakah inklusif berarti otomatis ramah disabilitas? Belum tentu. Sebuah sistem bisa mengklaim inklusif, karena membuka ruang bagi banyak kelompok marginal, namun belum tentu aksesibel atau ramah bagi penyandang disabilitas.

Contoh yang bisa saya berikan :

  • Sebuah forum diskusi publik mungkin terbuka untuk perempuan dan minoritas agama (inklusif secara sosial), namun tidak menyediakan juru bahasa isyarat atau akses fisik untuk Pengguna kursi roda.
  • Platform belajar daring bisa ramah untuk anak-anak miskin (gratis), tapi tidak kompatibel dengan screen reader bagi tunanetra.

Dengan kata lain, tidak semua yang “inklusif” otomatis “aksesibel” atau “ramah disabilitas”. Dibutuhkan kesadaran khusus terhadap aksesibilitas, yaitu prinsip teknis dan praktis agar lingkungan atau sistem benar-benar bisa digunakan oleh semua, termasuk mereka yang punya hambatan sensorik, mobilitas, atau intelektual. Perlu di ketahui bahwa :

  • Inklusi adalah prinsip menyeluruh untuk memastikan tidak ada yang ditinggalkan.
  • Inklusif adalah karakter suatu sistem atau lingkungan yang terbuka terhadap keberagaman.
  • Inklusi yang sejati harus bersifat inklusif sekaligus aksesibel. Tidak ada inklusi tanpa keterlibatan nyata penyandang disabilitas.
  • Tapi inklusif belum tentu aksesibel atau ramah difabel jika tidak secara eksplisit memasukkan kebutuhan penyandang disabilitas ke dalam desainnya. Banyak sistem yang mengklaim inklusif, tetapi:
  • Tidak aksesibel bagi pengguna kursi roda
  • Tidak menyediakan juru bahasa isyarat
  • Tidak kompatibel dengan screen reader

Inklusi bukan sekadar jargon dalam dokumen kebijakan, ia adalah cermin dari bagaimana masyarakat memperlakukan yang paling rentan di antara mereka. Dalam konteks pendidikan dan teknologi, inklusivitas menuntut keberanian untuk merombak sistem yang tidak setara, dan menggantinya dengan ruang-ruang pembelajaran yang bisa diakses dan dirasakan manfaatnya oleh semua anak, termasuk mereka yang hidup dengan disabilitas.

Ketika kita bicara tentang inklusi, kita sesungguhnya sedang berbicara tentang martabat. Tentang bagaimana sebuah sistem, baik pendidikan, sosial, maupun digital, dapat merangkul semua orang, tak terkecuali mereka yang selama ini sering kali dipinggirkan. Inklusi bukan sekadar memberi ruang, melainkan memastikan bahwa ruang itu bisa diakses, dimaknai, dan digunakan sepenuhnya oleh siapa pun, termasuk orang dengan disabilitas.

Di wilayah Indonesia Timur, tantangan gagasan besar tentang inklusivitas digital menghadapi kenyataan yang kompleks, begitu nyata. Keterbatasan infrastruktur, minimnya perangkat bantu dan perangkat adaptif, rendahnya literasi digital, jaringan internet, kurangnya pelatihan bagi guru dan orang tua, konten digital yang belum ramah disabilitas hingga ketimpangan sosial-ekonomi, menjadi tembok-tembok tinggi, serta  yang membatasi akses anak-anak disabilitas terhadap pendidikan digital yang bermakna. Ketimpangan ini bukan hanya soal teknis, tapi soal keadilan. Karena di era ketika hampir semua aspek kehidupan terhubung dengan dunia digital, ketertinggalan akses berarti keterpinggiran yang lebih dalam. Namun, di balik semua tantangan itu, terbuka pula peluang besar, khususnya ketika pendekatan yang digunakan bersifat berbasis komunitas, melibatkan keluarga dan masyarakat, serta mengedepankan nilai-nilai lokal.

Sekolah rakyat misalnya, telah menunjukkan potensi sebagai ruang alternatif yang terbuka dan partisipatif. Jika ditopang dengan rintisan transformasi digital yang inklusif, dengan konten adaptif, pelatihan bagi guru dan orang tua, serta infrastruktur yang memadai, maka anak-anak disabilitas di wilayah timur Indonesia pun bisa menjadi bagian aktif dari masa depan digital Indonesia.

Sekolah rakyat sebagai inisiatif berbasis komunitas telah membuktikan bahwa pendekatan inklusif bisa lahir dari bawah, dari masyarakat itu sendiri. Jika sekolah rakyat mendapat dukungan berupa penguatan digital yang inklusif, dari perangkat bantu hingga pelatihan bagi pendidik, maka ia bisa menjadi ruang transformasi sosial yang nyata bagi anak-anak disabilitas di wilayah timur Indonesia.

Maka, inklusivitas digital bukan hanya soal menyediakan perangkat dan jaringan. Ia adalah soal kemauan kolektif untuk memastikan tidak ada satu anak pun yang tertinggal karena kondisi tubuh, tempat tinggal, atau status sosialnya. Tanpa intervensi yang terarah, berpihak, dan lintas sektor, rintisan digital di Indonesia Timur hanya akan menjangkau sebagian kecil anak disabilitas, dan justru memperlebar kesenjangan yang ingin kita tutup. Transformasi digital seharusnya bukan sekadar perpindahan dari analog ke daring. Ia harus menjadi jalan menuju keadilan sosial. Inklusivitas digital bukan hanya tentang membuka akses internet, melainkan membuka masa depan. Dan masa depan yang baik adalah masa depan yang tidak meninggalkan siapa pun di belakang.

Terima Kasih.

Prima Bahren

[post-views]