Pada 25 Mei 2025, Perdana Menteri Republik Rakyat Tiongkok, Li Qiang, menginjakkan kaki di Jakarta dalam kunjungan kenegaraan yang penuh simbol dan kepentingan. Disambut langsung oleh Presiden Prabowo Subianto, kunjungan ini bukan sekadar seremoni diplomatik. Dalam pertemuan bilateral yang dihelat di Istana, 12 nota kesepahaman strategis diteken—mencakup sektor energi, digital, keuangan, maritim, pengobatan tradisional, hingga pertahanan. Semuanya dikemas dalam semangat kerja sama, tetapi menyimpan potensi tarik-menarik kepentingan antara kedaulatan nasional dan pengaruh kekuatan asing.
Dalam pidatonya, Li Qiang menegaskan pentingnya membangun kepercayaan politik yang lebih dalam antara Indonesia dan Tiongkok. Ia menyuarakan narasi kerja sama menghadapi risiko global, memperingati 75 tahun hubungan diplomatik kedua negara, sekaligus mengenang semangat Konferensi Asia-Afrika yang pernah menyerukan solidaritas negara-negara Selatan menghadapi dominasi Utara. Namun, realitas dunia pasca-pandemi dan di tengah perang dagang AS–Tiongkok, membuat kerja sama semacam ini tak lagi bebas nilai.
Rivalitas Global : Jalan Indonesia di Ujung Pisau
Kunjungan Li Qiang berlangsung dalam konteks geopolitik yang genting. Amerika Serikat di bawah Presiden Donald Trump, yang terpilih kembali dengan agenda proteksionisme agresif, telah memberlakukan tarif tinggi pada produk-produk dari China dan negara-negara ASEAN, termasuk Indonesia. Ketegangan antara Washington dan Beijing tak hanya berlangsung di ranah ekonomi, tetapi juga merembet ke teknologi, militer, bahkan pengaruh ideologis.
Di tengah tekanan ini, Tiongkok semakin agresif memperkuat pengaruhnya di kawasan. Indonesia, sebagai negara poros Asia Tenggara dan kekuatan ekonomi terbesar di ASEAN, menjadi sasaran penting bagi ekspansi pengaruh China. Jalur diplomasi, investasi, hingga kerja sama teknologi dan militer menjadi instrumen untuk memperdalam kehadiran Beijing di kawasan. Dan dengan Li Qiang datang membawa paket kerja sama besar, jelas bahwa China melihat Indonesia sebagai medan strategis untuk menyeimbangkan dominasi AS.
Di tengah tarik-menarik dua kekuatan global ini, Indonesia berusaha memainkan peran strategis yang disebut sebagai “hedging”—bukan memilih salah satu kutub, tetapi memanfaatkan hubungan dengan keduanya demi kepentingan nasional. Presiden Prabowo, seperti pendahulunya, Jokowi, mewarisi strategi luar negeri nonblok yang fleksibel. Namun, di era rivalitas tajam seperti sekarang, fleksibilitas ini menuntut kewaspadaan tinggi.
Di satu sisi, kerja sama dengan China membuka peluang besar: investasi dalam infrastruktur, transfer teknologi, bantuan pertahanan, dan peningkatan kapasitas industri nasional. Namun di sisi lain, terlalu dalam bergantung pada Beijing membawa risiko kehilangan ruang kedaulatan, terutama jika proyek-proyek strategis diserahkan tanpa cukup pengawasan, transparansi, atau evaluasi dampak jangka panjangnya.
Risiko Ketergantungan: Belajar dari Masa Lalu
Sejarah memberi kita pelajaran. Ketika IMF datang pasca-krisis moneter 1998, Indonesia menyerahkan terlalu banyak atas nama penyelamatan ekonomi. Privatisasi aset strategis seperti Indosat, liberalisasi sektor keuangan, dan pemangkasan subsidi menjadi contoh bagaimana tekanan global bisa mengikis kedaulatan ekonomi kita. Kini, meski tidak dalam situasi krisis, pengaruh asing dalam bentuk lain—lewat investasi dan diplomasi ekonomi—dapat membawa risiko serupa jika tidak disikapi dengan prinsip kehati-hatian nasional.
China, meski menyuarakan semangat solidaritas Selatan, tetaplah kekuatan besar dengan agenda geopolitik. Di banyak negara Afrika dan Asia Tengah, proyek-proyek Belt and Road Initiative (BRI) menyisakan jejak utang, menghilangkan kendali atas pelabuhan dan infrastruktur strategis, serta menciptakan gangguan sosial akibat eksploitasi sumber daya oleh perusahaan-perusahaan Tiongkok. Indonesia mesti belajar dari pengalaman ini. Kita tak boleh menjadi pelabuhan investasi yang hanya menerima, tanpa memperkuat kapasitas domestik.
Apa yang dipertaruhkan dalam model kerjasama dengan China ini? Kemandirian nasional. Itulah taruhannya.
Dalam dokumen kesepakatan yang diteken selama kunjungan Li Qiang, terselip kerja sama di bidang energi dan maritim. Dua sektor ini bukan sekadar sektor ekonomi; keduanya merupakan urat nadi kedaulatan negara. Energi menentukan kemampuan bangsa untuk berdiri di atas kaki sendiri, sementara maritim—terutama dalam konteks konflik Laut China Selatan—adalah soal batas dan martabat.
Jika tidak diatur dengan prinsip transparansi dan akuntabilitas publik, kerja sama ini bisa menjadi kuda Troya: memperdalam penetrasi asing atas sumber daya strategis. Dalam konteks militer, misalnya, kerja sama pertahanan harus diletakkan dalam kerangka memperkuat kemampuan nasional, bukan membuat Indonesia tergantung pada sistem senjata atau pelatihan dari satu negara besar.
Dalam situasi seperti ini, kontrol publik menjadi kunci. Masyarakat sipil, kampus, media alternatif, dan gerakan rakyat perlu mengawasi arah diplomasi dan kerja sama internasional yang dijalankan negara. Semangat “Berdikari”—yang diwariskan oleh Bung Karno dan didengungkan kembali oleh Presiden Prabowo—harus menjadi dasar evaluasi setiap langkah kebijakan luar negeri dan ekonomi.
Kerja sama boleh, tetapi harus setara. Investasi asing boleh, tetapi tidak boleh menjadikan bangsa ini penonton di tanahnya sendiri. Diplomasi global harus membuka ruang penguatan kapasitas dalam negeri—bukan menjadi pintu masuk penetrasi pengaruh kekuatan hegemonik.
Jalan Tengah yang Tegak
Indonesia berada di persimpangan geopolitik yang menentukan. Di satu sisi ada kekuatan ekonomi China yang menawarkan kerja sama masif, di sisi lain ada tekanan Amerika Serikat yang kembali menegaskan proteksionismenya. Dalam situasi ini, kita tak boleh goyah.
Strategi “hedging” yang dijalankan Indonesia harus ditopang oleh peta jalan kemandirian strategis. Bukan sekadar mencari keuntungan jangka pendek, tetapi membangun ketahanan jangka panjang. Diplomasi harus disertai kontrol rakyat. Kerja sama harus ditimbang dengan neraca kepentingan nasional. Dan yang paling penting, Indonesia harus percaya pada kekuatannya sendiri.
Karena sebagaimana sejarah membuktikan, bangsa yang tak berdaulat dalam menentukan arah ekonominya, akan selalu menjadi sasaran dalam pertarungan antar kekuatan besar. “Bangsa yang tidak percaya kepada kekuatan dirinya sebagai suatu bangsa, tidak dapat berdiri sebagai suatu bangsa yang merdeka,” seru Bung Karno.
Kini, saatnya kita menggemakan kembali sumpah kemerdekaan itu : Berdikari! Berdiri di atas kaki sendiri. Dengan kepala tegak. Di hadapan siapa pun.