Indonesia dan Dunia (Semacam Momentum Dekolonisasi 2.0)

Yah, kami insyaf akan pertanggungan jawab kami terhadap masa-depan semua bangsa, dan kami dengan gembira menerima pertanggung-jawab itu. Bangsa saya berjanji pada diri sendiri untuk bekerja mencapai suatu dunia yang lebih baik, suatu dunia yang bebas dari sengketa dan ketegangan, suatu dunia dimana anak-anak dapat tumbuh dengan bangga dan bebas, suatu dunia dimana keadilan dan kesejahteraan berlaku untuk semua orang.

(Sukarno, Membangun Dunia Kembali/To Build The World a New)

Ketika Indonesia menghadapi Pemilu serentak 2024, dunia sedang menghadapi perubahan yang cepat dan ancaman perang. Permusuhan antara kekuatan lama (AS dan Barat umumnya) dengan “kekuatan baru” (terutama dipelopori oleh China dan Rusia) ditandai dengan gesekan-gesekan yang semakin terbuka dan bahkan menjurus ke arah Perang Dunia III yang sangat mungkin melibatkan persenjataan nuklir.

Berhubung pada bulan April 2021 lalu topik serupa ini sudah pernah ditulis di Berdikari Online (Judul: Menuju Hegemoni Baru atau Tata Dunia Multipolar?), maka di sini penulis hanya akan menggarisbawahi beberapa hal dengan sedikit penambahan.

Pertama, Konflik Rusia-Ukraina penting dibaca dalam kerangka momentum perubahan tata dunia. Tata dunia yang ada sekarang adalah produk dari Perang Dunia II. Demikian juga tata dunia sebelum Perang Dunia II adalah produk dari Perang Dunia I. Saat ini perang dalam skala terbesar sejak Perang Dunia II pecah di Eropa (Ukraina) dan juga mengancam Asia Pasifik lewat isu Taiwan. Perang sudah menjadi pola dalam sejarah reformasi kapitalisme internasional. Hal yang perlu diperiksa lebih lanjut adalah apakah sifat perang kali ini (akan) sama dengan dengan perang-perang sebelumnya yang hakekatnya merupakan “perang imperialis”, ataukah ada perbedaan prinsipil. Penulis berpendapat ada perbedaan cukup prinsipil pada yang terjadi sekarang.

Pengalaman sejarah mengajarkan bahwa kapitalisme-imperialisme menjadikan perang sebagai solusi atas krisis yang mereka alami. Perang Dunia I menghasilkan pembagian ulang atas tanah jajahan dengan dominasi Inggris Raya. Perang Dunia II memperbaharui hubungan penjajahan menjadi, apa yang disebut Bung Karno, neokolonial dengan dominasi Amerika Serikat. Perang mengaktifkan industri-industri yang lesu, terutama industri yang berhubungan dengan kebutuhan perang. Perang dapat menaklukkan teritori baru untuk mendapatkan kekayaan alam dan tenaga kerja murah. Perang dapat mendorong lahirnya temuan-temuan baru di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi.

Dalam konteks Rusia-Ukraina sekarang, memang AS diuntungkan karena terus memasok persenjataan dan bantuan yang dihitung sebagai utang—yang kelak harus dibayar oleh rakyat Ukraina. Namun pasokan persenjataan ini lebih merupakan pasokan stok yang tersedia ketimbang produksi baru. Perusahaan Blackstone milik Hunter Biden (anak Presiden Joe Biden) sudah menguasai jutaan hektar lahan di Ukraina. Artinya terdapat kepentingan imperialisme dalam kasus ini.

Tapi di konteks ini terdapat kompleksitas masalah tersendiri, karena (1) posisi negara-negara Eropa yang tersandera sebagai vasal AS di tengah kepentingan mereka sendiri yang harus diselamatkan. Sanksi yang dijatuhkan terhadap Rusia menjadi backfire bagi Eropa sendiri. Eropa yang sempat menjadi pusat kolonialisme sebelum PD II, dan menjadi kepanjangan tangan imperialisme AS pasca itu, malah sekarang berada di bawah tekanan adikuasa AS. (2) Rusia, meski dengan kekuatan militer di atas rata-rata negara lain, tidak bisa ditempatkan sebagai negara imperialis, karena tidak memiliki daerah koloni, sehingga tidak melakukan ekspansi kapital untuk mengambil bahan baku dan buruh murah dari negeri lain. Di luar industri militer dan migas, perkembangan industri Rusia masih di bawah rata-rata negara Barat.

Dengan masalah tersebut di atas, penulis menilai perang di Ukraina dan ketegangan di selat Taiwan sekarang merupakan perang imperialis (dipimpin AS) untuk mempertahankan dominasinya. Potensi Tiongkok sebagai negara super power baru membawa watak yang berbeda dibandingkan AS terdahulu, sehingga membuka peluang bagi independsi negeri-negeri Selatan (Global South).

Kedua, beradunya kekuatan militer ini didahului/paralel dengan beradunya kekuatan ekonomi. Dedolarisasi adalah fenomena kejatuhan dominasi AS paling luas yang bisa dilihat sebagai suatu kejadian ekonomi berskala dunia. Dedolarisasi pertanda berakhirnya sistem berdasarkan kesepakatan Washington Consensus yang berlaku sejak berkahirnya PD II.

Pada saat yang sama pengaruh Tiongkok/China semakin menguat, termasuk lewat proyek pembiayaan infrastruktur Belt and Road Inisiative (BRI) di Asia, Afrika dan Amerika Latin bahkan beberapa negara Eropa. Sampai tahun 2022 lalu terdapat 149 negara yang sudah menandatangani proyek ini bersama pemerintah Tiongkok. Sebagian kalangan membandingkan BRI dengan proyek Marshall Plan yang dilakukan AS di Eropa pasca Perang Dunia II. Ada beberapa perbedaan mendasar penulis jelaskan pada catatan kaki.[1]

Perbedaan penting dari ekspansi kapital Barat dengan Tiongkok saat ini, sebagaimana diungkap Michael Hudson, adalah ekspansi kapital Tiongkok bertolak dari basis industrialiasi dan modernisasi yang kuat (produktif menghasilkan nilai tambah). Sedangkan ekspansi neoliberal yang dimulai pada beberapa dekade lalu bertolak dari kapital finansial AS yang berwatak parasitisme (mengumpulkan kekayaan dari bunga dan sewa). Perbedaan ini tergambar pada perbandingan kontribusi PDB dari masing-masing negara: industri manufaktur Tiongkok memberi sumbangan terbesar pada PDB sebesar 28 persen. Sementara di AS industri manufaktur hanya berkontribusi 10-12 persen, dan sektor keuangan, asuransi serta real estate berkontribusi di atas 20 persen.

Tata dunia berbasis neoliberalisme sudah berakhir. Sebagian besar negeri-negeri di dunia sedang mendiskusikan bentuk tatanan baru, hukum-hukum baru, institusi-institusi baru, dan mekanisme-mekanisme baru. Pusat geo-ekonomi dunia juga berpindah dari Amerika-Eropa ke Asia-Pasifik.

Ketiga, dalam hal ideologi-politik, terjadi kebangkitan kembali nasionalisme sebagai suatu ideologi dengan beragam tendensinya. Seorang pakar geopolitik yang sedang populer, John Mearsheimer, mengatakan sekarang nasionalisme tampil sebagai ideologi yang paling kuat di dunia, saat ideologi liberalisme sedang bermasalah.

Sementara seorang filosuf dan pemimpin politik Rusia di masa lalu pernah mengkategorikan nasionalisme menjadi dua, yaitu; 1) nasionalisme di negeri terjajah/tertindas yang bersifat progresif dan; 2) nasionalisme di negeri industri maju (penjajah/penindas) yang bersifat reaksioner.

Apakah pengkategorian di atas masih relevan atau tidak untuk keadaan sekarang, bisa didiskusikan lebih lanjut. Seorang filsuf—yang juga sedang beken, Yuval Noah Harari, mengakui nasionalisme memiliki sisi penerang bagi peradaban manusia, atau tidak identik dengan keterbelakangan sebagaimana penglihatan kaum globalis. Tapi tetap perlu kecermatan.

Dalam keadaan sekarang, misalnya, “nasionalisme” di Amerika Serikat juga tumbuh. Bukan hanya seperti diekspresikan Donald Trump dengan slogan “Make America Great Again”, melainkan juga dengan ketidak-relaan elit-intinya untuk menerima kenyataan akhir hegemoni mereka atas dunia. Jadi semangat nasionalisme AS sekarang bukan seperti yang dituliskan Thomas Jefferson dan kawan-kawannya dalam dokumen sejarah Deklarasi Kemerdekaan (Declaration of Independent) Amerika dari Kerajaan Inggris tahun 1776, melainkan semangat nasionalisme yang imperialistik dari kapitalisme finansial yang sakit-sakitan. Dari sinilah bibit-bibit fasisme mendapatkan lahan untuk tumbuh subur. Seperti kata Bung Karno, fasisme adalah kapitalisme yang sedang sakit-sakitan. Bangkitnya nasionalisme ultra-kanan di Ukraina, dengan pandangannya yang merendahkan terhadap peradaban Timur (khususnya terhadap Rusia), mungkin bisa dijelaskan dengan pemahaman tadi. Menurut beberapa sumber akademis (termasuk dokumen CIA yang di-declassified), nasionalisme Ukraina ini sudah lama disemai oleh intelejen Inggris dan Amerika Serikat sejak masa Perang Dingin untuk melemahkan Soviet.

Di belahan dunia lain, kebangkitan nasionalisme di Asia, Afrika dan Hispanik/Amerika Latin, mengandung perbedaan dengan yang dialami oleh bangsa-bangsa Asia dan Afrika pasca Perang Dunia II. Saat ini dunia tidak memiliki ideologi tandingan yang cukup berpengaruh sebagaimana marxisme sesudah PD II. Keberadaan ideologi tandingan tersebut pada zaman itu telah memberikan warna dan karakter tersendiri (umumnya progresif-demokratis) terhadap gagasan nasionalisme dan perjuangan anti-kolonialisme yang bangkit. Nasionalisme yang sekarang lebih dominan sebagai nasionalisme bagi kepentingan oligarki negara masing-masing, belum menjadi “nasionalisme milik rakyat” dengan sedikit pengecualian (yaitu Amerika Latin).

Keempat, Rusia dan Tiongkok (mungkin juga negara lainnya) sudah sampai pada kesimpulan bahwa tata dunia baru yang multipolar tidak terelakkan. Mau diterima atau tidak, tata dunia baru ini sudah bertransformasi menjadi kenyataan. Keinginan sekitar 20 negara lain bergabung dalam barisan BRICS tentu akan semakin memperkuat dan memperkaya, meski sekaligus membawa tantangan tersendiri bagi BRICS.

Karakteristik dari negara-negara yang bergabung dan akan bergabung dalam BRICS ini menyiratkan adanya suatu kesepakatan untuk saling menghormati ragam perkembangan peradaban di masing-masing negara dengan sistem sosial, ekonomi dan politiknya. Ini berbeda dari pendekatan Barat yang hegemonik dengan standar sistem ekonomi, sistem politik dan sistem nilai liberalnya.

Kelima, Esensi dari perubahan tata dunia yang sedang berlangsung sekarang ini adalah suatu bentuk dekolonisasi yang baru—ketika negara bangsa-negara bangsa (mengutip seorang ekonom geopolitik, Radhika Derain) menguji kembali kedaulatannya (reexemine sovereignty) terutama dengan melepaskan sisa-sisa belenggu kapitalisme finansial AS. Proses dekolonisasi ini akan berjalan seiring dengan menurunnya kemampuan ekonomi AS yang menurut Hudson bersandar pada Finance, Insurance, and Real Estate (FIRE – Keuangan, Asuransi, dan Real Estate). Sekalipun masih terdapat hubungan-hubungan ekonomi seperti pasar ekspor, kebutuhan impor bahan baku industri, dan terutama utang luar negeri dalam bentuk USD, kedaulatan negeri-negeri Global South bisa diperjuangkan secara bersama-sama pada level internasional. Tantangannya adalah bagaimana Indonesia memanfaatkan momentum ini untuk melepaskan ikatan-ikatan hukum (perjanjian atau kesepakatan/kerjasama) internasional yang merugikan.

Penilaian:

Indonesia dengan politik luar negeri bebas-aktif tampaknya sudah cukup maju dalam beberapa hal (seperti terhadap masalah komoditi kelapa sawit yang ditolak Eropa, melawan larangan penjualan bahan mentah [hilirisasi], dan melakukan dedolarisasi dalam kesepakatan perdagangan dengan sejumlah negara), tapi masih butuh keberanian lebih untuk menegosiasikan seluruh kepentingan kita di tingkat internasional dan berdiri sebagai bangsa besar.

Contohnya: Indonesia belum berani mengajukan diri untuk secara resmi bergabung dalam BRICS. Padahal bergabungnya Indonesia dapat memperkuat diplomasi kita di kancah internasional, sekaligus memperat kerjasama dengan kekuatan-kekuatan baru dunia (Global South). Indonesia belum berani membeli minyak dari Rusia sekalipun ditawarkan dengan harga murah. India yang berani melakukan ini malah mendapatkan keuntungan tambahan dengan menjual kembali minyak tersebut ke Eropa dengan harga lebih tinggi. Di sini lah tampak kebodohan/ketidakberdayaan Eropa, mensanksi/mengembargo minyak Rusia, tapi membeli minyak yang sama dari tangan berbeda dengan harga lebih tinggi. Indonesia juga belum bisa mengelak dari tekanan untuk tidak membeli pesawat tempur Rusia (Su-35) dan berbalik membeli Rafale dari Prancis/Mirage bekas dari Qatar.

Kebenaran atas pernyataan dan contoh-contoh di atas mungkin bisa jadi salah, jadi bisa diuji lebih lanjut. Tapi nuansa kecanggungan dan “ketanggungan” sikap kita sangat tampak. Hemat penulis, politik bebas aktif ‘hanyalah’ suatu pola kerja atau taktik yang tidak boleh sekejap pun melepaskan tujuan bernegara dalam konteks hubungan luar negeri seperti yang disebutkan dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945, khususnya pada bagian: ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial,.

Kalimat dalam Pembukaan UUD ’45 di atas sebenarnya adalah rumusan tata dunia yang seharusnya menjadi dasar dari kebijakan luar negeri. Pada bagian “kemerdekaan dan perdamaian abadi” bisa terartikulasi dalam sikap politik luar negeri, misalnya terhadap persoalan Palestina dan Ukraina. Tapi aspek keadilan sosial, seperti seruan untuk pola hubungan ekonomi yang lebih adil, nyaris tidak pernah didengar. Ketika dunia bergerak mengupayakan suatu tatanan yang lebih adil, Indonesia—atas nama politik luar negeri bebas aktif, memilih sikap “netral” dan membiarkan kesempatan baik berlalu. Menurut penulis ini suatu kekeliruan. Kita tidak perlu merusak hubungan dengan Barat, karena pada dasarnya kita bangsa yang menyukai harmoni dan perdamaian, tapi pendirian di atas kedaulatan tidak boleh digantikan karena menyangkut hak hidup rakyat banyak.

DOMINGGUS OKTAVIANUSSekretaris Jenderal Partai Rakyat Adil Makmur (PRIMA)


[1] Pertama, Marshall Plan bermuatan agenda ideologi politik untuk menghadang Uni Soviet sesuai Doktrin Truman. Sementara BRI lebih inklusif untuk negara manapun, dan tidak ditujukan untuk menghadang negara manapun. Kedua, bantuan Mashall Plan disertai ketentuan-ketentuan yang membebani Eropa seperti kewajiban menurunkan tarif impor, membeli produk AS, dan penggunaan sistem clearing AS dalam keuangannya. Sementara BRI dilakukan berdasarkan kebutuhan dan kesepakatan masing-masing negeri.

Leave a Response