Eva Sundari : Pelan-Pelan Para Mafia Itu Akan Tersingkir

Di bawah pemerintahan Jokowi, isu mafia cukup menguat. Mereka ada di mana-mana dan menggurita. Bahkan masuk dalam lingkaran kekuasaan.

Di bawah pemerintahan Jokowi pun, ada banyak pejabat politik yang punya konflik kepentingan (conflict of interest). Malahan, baru-baru Menko Maritim Rizal Ramli sampai mengeluarkan istilah baru: Dwi-fungsi Pepeng, yaitu orang yang merangkap sebagai pejabat politik sekaligus pengusaha.

Tetapi, kalau kita mau berpikir historis sedikit, bukankah itu bukan fenomena baru. Dulu kita mengenal istilah kapitalis birokrat (kabir) dan komprador. Dua istilah itu lebih relevan. Dan kalau mau jujur, kabir dan komprador itu hanya buah dari struktur ekonomi kita yang terbelakang dan bergantung pada asing.

Untuk melihat persoalan ini lebih jauh, Hendri Kurniawan dari Berdikari Online telah mewancarai Eva Kusuma Sundari. Politisi PDI Perjuangan ini baru saja dilantik menjadi Anggota DPR menggantikan posisi Pramono Anung. Sebelum ini dia menjadi Staf Khusus di Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). Berikut petikan wawancaranya:

Dalam penglihatan kami, pemerintahan Jokowi banyak diganggu oleh kegaduhan yang disulut oleh banyaknya pejabat negara yang punya konflik kepentingan. Ada banyak contoh. Sebut saja kasus terbaru: dua orang anggota keluarga Wapres Jusuf Kalla terungkap pernah bertemu dengan bos Freeport James R Moffett. Juga terkuaknya bekas petinggi Freeport yang kini bekerja di kantor Staf Presiden. Belum lagi kasus Pelindo II yang menyeret Wakil Presiden dan Menteri BUMN. Bagaimana menurut Mbak Eva?

Saya percaya praktek-praktek semacam itu praktek lama sejak Orde Baru dimana KKN masih mendominasi sistem politik. Jika saat ini muncul ke permukaan, karena Presiden bukan bagian dari sistem masa lalu dan tidak menyukai praktek-praktek semacam itu. Dengan adanya ledakan informasi sehingga mendukung keterbukaan, semua praktek-praktek yang sifatnya di bawah karpet pada keluar termasuk aktor-aktornya. Pelan-pelan mereka akan tersingkir.

Nah, sebelum ini Mbak Eva bilang di sejumlah media bahwa Presiden Jokowi dikelilingi Mafia dengan beragam kepentingan. Yaa, kita bisa menyebut mafia itu adalah para kapitalis birokrat (Kabir) dan komprador. Apakah itu ada keterkaitannya?

Sebenarnya Presiden sendiri yang menyatakan bahwa ternyata banyak urusan publik dan ekonomi dalam kendali mafia. Dalam urusan distribusi beras yang melumpuhkan Bulog. Bu Susi lapor mafia kapal ikan dan garam. Demikian juga kelangkaan bawang, kedelai, dan lain-lain. Ini menggenapi pengalamanku di DPR yang urus mafia hukum, mafia pertanahan, dan lain-lain. Mafia tumbuh karena konspirasi birokrat yang menghasilkan kebijakan-kebijakan (misalnya impor dan pertanahan) yang memberi peluang mafia untuk praktek-praktek monopoli, oligopoli, dan lain-lain.

Dalam pandangan Mbak Eva, apakah kelompok kepentingan di sekeliling Presiden itu cukup signifikan dalam mengganggu kerja-kerja pemerintah dan mendesaknya keluar dari rel Trisakti dan Nawacita?

Karena platformnya jelas, yaitu nawacita, plus Komitmen Presiden terhadap integritas juga kuat, maka para kabir ini kecele karena dikiranya presiden Jokowi seperti yang sudah-sudah yang punya konflik kepentingan pribadi, jadi bagian dari sistem yang korup karena ada motif rente. Alhamdulillah Jokowi dan keluarga tidak ikut bisnis APBN sehingga sistem terpaksa menjadi lebih akuntabel. Dampaknya, proses pembangunan bergerak lamban, kecepatan rendah, tidak bisa mengimbangi kecepatan presiden. Sistem dalam proses penyesuaian diri mencari equilibrium baru, birokrasi mencari ritme. Semoga segera beres sehingga bergerak optimal, dan bisa mengimbangi presiden yang action oriented dan minim talking.

Menurut Mbak Eva, bagaimana bisa Presiden Jokowi dikelilingi banyak Kabir dan komprador? Bukankah dia dulu getol bicara bahwa pemerintahannya menolak model “bagi-bagi kekuasaan”. Bisa dijelaskan?

Kemenangan PDI Perjuangan dan Jokowi tidak bersifat mutlak, sehingga harus power sharing, apalagi DPR yang dikuasai Koalisi Merah Putih (KMP) yang oposan. Tahun pertama ini ibaratnya menata fondasi dan di sini kita bisa melihat kelihaian Jokowi mengendarai ombak dimana kekuatan terkonsolidasi dan mulai mengerucut di tangan Presiden. PAN bergabung, PPP merapat demikian pula sebagian Partai Golkar. PKS menempuh jalan ‘cooperative’ dan seterusnya. Di internal Pemerintahan juga demikian, Jokowi makin pede memberhentikan menteri-menteri yang dari parpol pendukung dan menggunakan penilaian berbasis kinerja.

Dulu, ketika menghadapi para kabir dan komprador di pemerintahannya, Bung Karno aktif menggelorakan gerakan “retooling” aparatur negara. Tujuannya adalah mengganti semua aparatus pemerintahan yang tidak sejalan dengan politik pemerintah. Apakah itu relevan dilakukan juga oleh Presiden Jokowi saat ini?

Retooling yang dilakukan Jokowi adalah dengan memperbaiki sistem. Pengunduran diri Dirjen pajak dan perhubungan merupakan pertanda bagus bahwa sistem sudah berjalan. Ini praktek baru dalam politik yang menggembirakan. Semoga Budaya tahu diri yang tumbuh dalam administrasi Jokowi ini makin menguat di masa yang akan datang.

Terkait persoalan Freeport. Ini kan masih terjadi tarik-menarik di tubuh pemerintahan. Padahal, ada desakan kuat dari rakyat agar kontrak Freeport tidak diperpanjang dan saatnya kekayaan alam di Papua dikelola oleh bangsa sendiri. Jokowi sendiri mengatakan tidak ada pembicaraan soal perpanjangan kontrak sebelum 2019. Apa pendapat Mbak Eva terkait kontrak Freeport ini?

Jokowi cerdik, tidak mau masuk dalam jebakan mafia tambang dan taktik mengulur waktu ini terbukti efektif. Dengan adanya ledakan informasi membantu situasi menjadi benderang dan para serigala-serigala/hiu kelihatan dan terpaksa masuk  proses pembersihan. Satu-satu diselintiki terlempar dari system. Bahkan orang sekaliber Moffet mundur dr jabatannya.

yang saya khawatir adalah dukungan dari penegakkan hukum. Kemandirian sistem pengadilan tidak menjamin integritas dan Akuntabilitas. Putusan terakhir tentang pembakaran hutan yang bebas dengan pertimbangan hukum yang tidak logis cukup merisaukan. Reformasi tidak berjalan di MA, para hakim masih membuat putusan yang tidak pro keadilan. Ironis dan mengganggu upaya peningkatan kualitas demokrasi menuju level substantif. ()

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid