Pasca Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka dilantik dan Kabinet Merah Putih dibentuk, Presiden Prabowo membuat kebijakan yang mengejutkan semua pihak, terutama dalam jajaran kementerian, badan, lembaga dan seluruh pemerintah daerah se-Indonesia. Kebijakan yang mengejutkan itu adalah Surat Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 pada 22 Januari 2025 tentang kebijakan pemerintah untuk melakukan efisiensi anggaran tahun 2025.
Ada beberapa tujuan dari Inpres tersebut yaitu mengurangi pemborosan anggaran, meningkatkan efektivitas belanja negara, menopang pertumbuhan ekonomi, menciptakan efisiensi tanpa mengganggu kepentingan masyarakat. Menurut Presiden Prabowo, yang menjadi sasaran dari Inpres tersebut adalah kementerian/lembaga, transfer ke daerah, belanja non-prioritas, belanja honorarium, dan kegiatan pendukung yang tidak memiliki out put yang terukur. Presiden Prabowo mengarahkan dengan tegas bahwa seluruh kementerian dan lembaga serta para kepala daerah melakukan review sesuai tugas, fungsi, dan kewenangan masing-masing, memfokuskan alokasi anggaran belanja pada target kinerja pelayanan publik, lebih selektif dalam memberikan hibah langsung, dan membatasi belanja seremonial, studi banding, dan perjalanan dinas.
Menyusul Instruksi tersebut, melalui Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, dilakukan pemangkasan anggaran APBN sebesar RP 306,69 triliun dari total belanja negara 2025 sebesar Rp3.621,3 triliun. Rinciannya terdiri dari anggaran belanja K/L sebesar Rp 256,1 triliun, dan TKD sebesar RP 50,59 triliun.
Pasca kebijakan itu dilakukan, beragam reaksi pro dan kontra bermunculan dari berbagai pihak terutama masyarakat dan pemerintah di daerah. Mayoritas merasa kebijakan pemangkasan atau efisiensi anggaran tersebut akan membawa kerugian besar bagi daerah lantaran para kepala daerah tidak mampu berbuat banyak untuk menjalankan program- program pembangunan sesuai janji-janji kampanye yang telah disampaikan kepada masyarakat lantaran anggaran APBN yang seharusnya menjadi daya dongkrak roda pembangunan dipangkas sangat besar sehingga menghilangkan begitu banyak usulan program yang telah direncanakan.
Bagi daerah- daerah yang PAD dan APBDnya tinggi mungkin saja masih bisa bergerak maju, namun bagi daerah-daerah miskin yang PAD dan APBD-nya rendah, seperti Papua, Papua Barat, NTT Maluku, dan lain- lain yang adalah provinsi termiskin bakal ngos-ngosan dalam menjalankan programnya. Bahkan terancam macet total. Kondisi ini, saat ini, sedang dirasakan: para kepala daerah sudah tidak berdaya dalam bekerja melaksanakan janji-janji kampanyenya kecuali melaksanakan program-program pusat di daerah yang bersumber dari APBN pusat melalui berbagai kementerian.
Menghadapi situasi sulit ini, sejumlah elemen bangsa kemudian memprotes kebijakan Presiden tersebut dalam sebuah aksi yang dinamai Aksi Indonesia Gelap. Mereka meminta agar kebijakan Presiden ini ditinjau kembali atau dibatalkan karena akan memicu krisis ekonomi karena macetnya pembangunan di daerah-daerah yang berdampak pada kemiskinan yang terus melonjak. Namun, Presiden Prabowo yang menerima kritikan dan protes sebagai bagian integral dari proses demokrasi tersebut tetap tegas nan santun tidak mengamini tuntutan para demonstran. Prabowo mengaku optimis kebijakannya sudah tepat dan ia yakin akan membawa kemaslahatan bagi seluruh rakyat di masa depan. Tentunya melalui efisiensi anggran sebesar 306 Triliun yang difokuskan untuk investasi di berbagai bidang, ia sangat yakin Indonesia akan berkembang maju menjadi bangsa yang modern dan kuat ekonominya di masa depan.
Di sisi lain, bagi pihak-pihak yang pro dengan kebijakan efisiensi anggaran menilai kebijakan Prabowo sudah tepat (positif). Pertama, dengan adanya efisiensi anggaran, pemerintah daerah yang selama ini menggunakan anggaran sangat boros bahkan tidak tepat sasaran didorong lebih memperketat anggaran untuk fokus pada kegiatan atau program yang benar-benar mendesak dibutuhkan rakyat. Kebiasaan lama memakai anggaran yang tidak efektif dan efisien dikurangi atau dihilangkan dan diubah dengan pola baru efisiensi untuk pembangunan yang lebih tepat dan terukur. Dengan kata lain, kebijakan ini membongkar kebiasaan lama yang sering atau sudah terbiasa memboroskan anggaran dengan banyak membuat kegiatan namun output-nya rendah bahkan tujuan dan target serta sasarannya tidak tercapai.
Kedua, kebijakan ini dapat menekan atau mengunci perilaku korupsi yang selama ini tumbuh subur di berbagai daerah. Bukan barang baru lagi bahwa selama ini angka korupsi APBD dan APBN di daerah sangat subur nan tinggi lantaran adanya anggaran yang sangat besar ke daerah. Ini sangat menggoda dan menggiurkan semua aparatur Pemda dan terutama para kepala daerah untuk bermain mencuri anggaran dengan beragam modus program dan kegiatan. Nah, kebijakan pemangkasan anggaran besar-besaran ini dapat menekan laju korupsi karena para kepala daerah akan tedorong melakukan kegiatan sesuai dengan anggaran yang terbatas. Mereka terdorong untuk bekerja lebih keras menjalankan beberapa program dan kegiatan yang terukur, efektif dan efisien.
Ketiga, efisiensi anggaran ini memberikan ruang yang luas bagi para kepala daerah untuk berinovasi, berkreasi dalam bekerja untuk memfokuskan program atau kegiatan atau proyek-proyek pemerintah yang selama ini macet atau mangkrak. Daripada mendesain program baru yang sangat banyak membutuhkan anggaran, lebih baik mereka melanjutkan program atau proyek proyek yang mangkrak dengan dana yang ada. Dengan demikian proyek-proyek yang sejatinya telah menggunakan anggaran APBD dan APBN terbit dapat tercapai asas manfaatnya bagi masyarakatnya.
Keempat, kebijakan efisiensi anggaran ini tidak memberikan ruang yang luas bagi kepala daerah untuk bersantai-santai atau tidur lelap, tetapi memicu dan memacu energi dan waktu mereka untuk bekerja lebih keras; melakukan koordinasi dan komunikasi baik dengan semua kementerian dan lembaga di Jakarta dan juga para investor dalam negeri maupun luar negeri sesuai ketentuan undang-undang untuk meloby program dan anggaran pusat yang bisa diturunkan ke daerah sesuai potensi-potensi investasi di daerah tersebut.
Dalam konteks ini, kita patut belajar dari Gubernur NTT, Melky Laka Lena yang melakukan gerakan jemput bola. Sebagai salah satu pemimpin provinsi termiskin di Indonesia, ia membawa 20 bupati dan walikotanya menemui seluruh kementerian dan lembaga untuk membangun komunikasi intensif terkait semua program dan anggaran untuk NTT. Ia bersama rombongan bupati dan walikota juga menemui sejumlah investor untuk berinvestasi di NTT guna mendukung kemajuan NTT yang memiliki beragam potensi. Fakta ini menjadi sebuah contoh yang patut untuk diberi apresiasi dan ditiru. Efisiensi tidak boleh meninabobokan kepala daerah tapi harus bergerak maju.
Efisiensi bukanlah sebuah kebijakan untuk mengubur harapan dan mimpi rakyat, tetapi efisensi adalah suplemen atau nutrisi segar ( multi vitamin) untuk mendongkrak energi besar kemandirian daerah; untuk bekerja lebih keras mengoptimalkan sumber daya manusia dan sumber daya alam di daerah. Efisiensi bukanlah hantu yang menakutkan dan mengkhawatirkan tetapi memberikan spirit kerja keras sesuai semangat otonomi daerah.
Efisiensi tidak boleh dilihat sebagai upaya Presiden Prabowo mematikan inovasi dan kreasi para kepala daerah tetapi sebaliknya bekerja lebih keras mewujudkan kemandirian daerah. Optimisme Presiden Prabowo tentunya telah didasarkan pada kajian dan pertimbangan matang karena sebagai Presiden tentunya mempunyai strategi bagaimana memajukan ekonomi Indonesia menuju kemandirian .

