DPR: Pemerintah Seharusnya Tidak Ladeni Permintaan Freeport

Ketua Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI Kardaya Warnika menilai, ribut-ribut soal Freeport saat ini bermula dari tidak ditaatinya aturan Undang-Undang (UU). Dalam hal ini, UU nomor 4 tahun 2009 tentang mineral dan batubara.

Menurut dia, merujuk pada aturan tersebut, perpanjangan kontrak hanya bisa dilakukan setelah pemegang Kontrak Karya (KK) dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) melakukan penyesuaian dengan kehendak UU Minerba.

Penyesuaian dimaksud meliputi kejelasan royalti, luas wilayah, konten lokal, keharusan membangun smelter, kewajiban divestasi, dan lain sebagainya.

“Di situ dikatakan, semua harus menyesuaikan paling lama satu tahun. Berarti batasnya 2010,” ujar Kardaya dalam diskusi bertajuk “Dramaturgi Freeport”, di Jakarta, Sabtu (5/12/2015).

Masalahnya, ungkap politisi partai Gerindra ini, pihak Freeport Indonesia tidak melaksanakan amanat aturan tersebut. Perusahaan asal Amerika Serikat itu berdalih, mereka dilindungi oleh Kontrak Karya, bukan hukum (UU). Akhirnya, hingga batas waktu yang ditentukan Freeport belum memenuhi kewajibannya.

Kardaya pun mempertanyakan kalau sekarang ini ada proses renegosiasi dengan Freeport. Menurut dia, jika merujuk ke UU Minerba, istilah negosiasi tidak ada.

Dalam UU Minerba, rezim kontrak karya (KK) sudah berubah menjadi rezim izin usaha pertambangan khusus (IUPK). Dan rezim IUPK tidak mengenal istilah renegosiasi.

“Sistem izin (IUPK) beda dengan kontrak. Kontrak bisa negosiasi. Sedangkan izin tidak bias. Freeport harus bisa menerima syarat pemerintah tanpa negosiasi lagi,” jelasnya.

Masalahnya sekarang ini, ujar Kardaya, pemerintah sudah terlanjur meladeni permohonan Freeport untuk meminta perpanjangan operasi di Indonesia. Ini terbukti dengan surat Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said tertangal 7 Oktober 2015.

Dalam surat tersebut, Sudirman Said menyakinkan bahwa pemerintah akan memperpanjang kontrak Freeport. Padahal, jika merujuk ke aturan, pengajuan perpanjangan dilakukan paling cepat 2 tahun menjelang berakhirnya kontrak.

“Dia (PTFI) mengajukan perpanjangan boleh enggak? Silakan saja. Ibaratnya loket kereta api dibuka jam 6, orang antre jam 3, jam 4 boleh saja. Tetapi, menurut saya, loketnya tidak dibuka,” tegasnya.

Karena itu, Kardaya mendesak Sudirman Said segera mencabut suratnya tersebut. Dia khawatir Freeport mempergunakan surat tersebut sebagai dasar perpanjangan kontrak.

“Lebih baik dicabut supaya tidak berdampak pada polemik. Kami, Komisi VII DPR meminta itu agar tidak ada interpretasi lain karena surat itu bahasanya pasti diperpanjang,” ujar Kardaya.

Dia juga meminta Menteri ESDM tersebut tidak mendahului kebijakan Presiden terkait diperpanjang atau tidaknya kontrak Freeport.

Risal Kurnia

[post-views]