Puluhan perwakilan petani Tanjung Medang melakukan dialog dengan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI. Pertemuan diantara kedua belah pihak berlangsung di ruang press room DPD RI, siang tadi (13/6).
Ferry FX Tinggogoy, Wakil Ketua Komite I DPD RI, membuka pertemuan ini. Ia memperkenalkan 8 anggota DPD yang menerima perwakilan petani. Kedelapan anggota DPD itu adalah: Abdul Azis (Sumsel), Hj. Mulyana Isham (Sulbar), Anang Prihantono (Lampung) Ferry FS Tinggogoy (Sulut), Jack Ospara (Maluku), Aidil Fitrisyah (Sumsel), dan Percha Leanputri (Sumsel).
Seusai para anggota DPD memperkenalkan dirinya, jurubicara Front Pemerintahan Rakyat Miskin (FPRM), Eka Subakti, mulai menjelaskan kronologis kasus dan tuntutan para petani.
Menurut Eka Subakti, ada tiga tuntutan pokok para petani Tanjung Medang yang diperjuangkan hingga ke Jakarta, yaitu: persoalan perampasan tanah ulayak, kriminalisasi dua orang aktivis petani, dan dugaan korupsi yang dilakukan oleh Kepala Desa Tanjung Medang.
Junaedi, seorang tokoh petani Tanjung Medang, menjelaskan bahwa tanah ulayak tersebut sudah dimiliki secara kolektif oleh masyarakat desa sejak dulu. “Pada tahun 1972, pemerintahan desa (kerio) menerbitkan surat keterangan pancung alas no.140/TG/1972,” kata Junaedi menjelaskan.
Jadi, dengan berbekal pada surat tersebut, masyarakat memiliki hak secara sah untuk mempergunakan tanah ulayak tersebut. Akan tetapi, pada tahun 2006, tanah ulayak tersebut tiba-tiba dikuasai oleh seorang pengusaha.
Suatu ketika, kata Junaedi, ada informasi beredar bahwa tanah tersebut sudah dibeli oleh pengusaha yang bernama Burhan. Namun, dalam pengakuan seluruh masyarakat tanjung medang, mereka merasa tidak pernah melakukan pelimpahan hak penguasaan tanah itu kepada siapapun.
“Katanya, itu dilimpahkan oleh masyarakat. Tetapi mereka tidak pernah memperlihatkan bukti siapa masyarakat yang sudah melakukan pelimpahan itu. Karena masyarakat memang tidak pernah melakukan itu,” ujar Junaedi.
Pada tahun 2006, ketika masyarakat hendak mengolah lahan tersebut, tanah itu dinyatakan sudah dikuasai oleh orang bernama Gede Wardana. Beberapa tahun kemudian, tanah itu beralih lagi ke tangan Burhan.
Kasus ini kemudian berujung pada penangkapan dua orang petani, Junaedi dan Kosim, karena dianggap membabat tanaman sawit milik pengusaha di atas lahan tersebut. Junaidi dan Kosim mendekam selama 4 bulan di penjara Polda Sumsel. Namun, berkat perjuangan gigih masyarakat, keduanya berhasil bebas melalui vonis bebas PN Muara Enim pada bulan April lalu.
Respon Anggota DPD
Menanggapi pelaporan petani itu, Anang Prihantono, anggota DPD asal lampung, mencoba mengajukan solusi penyelesaian.
Menurut anggota DPD yang bekas aktivis petani ini, ada baiknya petani menelusuri kembali mengenai pengalihan kepemilikan lahan itu di Badan Pertanahan Nasional (BPN). “Apakah itu dilakukan oleh tokoh adat atau pihak lain,” katanya.
Namun usulan itu sudah dilakukan oleh para petani. Menurut Eka Subakti, pihaknya sudah berusaha meminta secara baik-baik kepada BPN, tetapi lembaga pertanahan itu tidak mau memberikan datanya kepada petani.
Sementara itu, Jack Ospara, anggota DPD asal Maluku, berusaha menceritakan asal-usul hak ulayat dalam sejarah hukum pertanahan di Indonesia.
Untuk mengetahui status tanah ulayak, menurut senator asal Maluku ini, silahkan memeriksa apakah marga pemilik tanah itu masih ada atau sudah tidak ada. Kalau sudah tidak ada, maka tanah ulayak tersebut dimiliki oleh desa.
“Kalau sudah dimiliki desa, maka kepala desa berhak untuk mengeluarkan Surat Keterangan Tanah (SKT) dan bahkan hak untuk bisa menjual,” katanya.
Jack Ospara juga mengusulkan agar petani segera mengusut siapa pelaku pelimpahan ha katas tanah ulayak itu. “Selama masyarakat desa tidak pernah mengalihkan hak atas lahan tersebut, maka lahan tersebut bisa diolah oleh warga,” katanya.
Sementara Aidil Fitrisyah, anggota DPD asal Sumsel, menganggap bahwa kepala desa punya kewenangan penuh untuk menerbitkan SKT. “Kalau Kepala Desa menerbitkan SKT, maka sudah tidak bisa digugat,” katanya.
Pendapat politisi asal Sumsel itu diamini oleh sesama politisi asal Sumsel, Percha Leanputri. Anggota termuda ini juga hanya berbicara soal bukti-bukti siapa yang menerbitkan SKT dan data-data tentang kepemilikan ulayat.
Janjikan Surat Rekomendasi
Dalam pertemuan yang berlangsung selama satu jam itu, DPD bersepakat untuk menerbitkan surat rekomendasi yang nantinya dapat dipergunakan sebagai pengantar oleh petani untuk mendapatkan kemudahan mengakses informasi di BPN.
“Ini adalah sebuah surat kepada BPN. Mereka harus menjelaskan kenapa mereka bisa menerbitkan SKT. Dari situ, kita akan menelusuri seluk-beluk pengalihan tanah ulayak itu,” kata Abdul Azis, anggota DPD asal Sumsel.
Surat rekomendais itu dijanjikan akan segera diberikan kepada petani begitu pertemuan itu selesai dilakukan.